Desa Bubohu atau lebih dikenal dengan Desa Bongo Kecamatan Batudaa Pantai, Kabupaten Gorontalo merupakan sebuah desa yang terletak di pesisir teluk tomini. Berbatasan langsung dengan wilayah Kelurahan Tanjung Kramat Kota Gorontalo. Desa yang berpenduduk lebih kurang dari 3.200 jiwa atau 850 kk yang menyebar di 5 (lima) dusun, dusun timur, dusun tengah, dusun barat, dusun tenilo dan dusun wapalo pada tahun 2004 di tetapkan oleh Pemerintah Provinsi Gorontalo sebagai Desa Wisata Religius dengan pesona wisata budayanya yang spektakuler. Selain memiliki keunikan budaya, Desa Bubohu memiiki aset pariwisata alam dan religius lainnya.
Mayoritas penduduk desa ini adalah nelayan dan perantau, kecuali dusun Tenilo dan Wapalosebagian besar penduduknya adalah petani dan penambang batu alam. Masyarakat nelayan desa ini menjadi nelayan pemburu ikan tuna sampai Molibagu Bolaang Mongondow, Bitung, Maluku, Sorong, Flores, Majene, Sulawesi Barat dan sebagian pulau-pulau di Sulawesi Tengah, juga wilayah-wilayah lain di Provinsi Gorontalo seperti Kabupaten Gorontalo Utara, Kabupaten Boalemo, Kabupaten Pohuwato, Kabupaten Bone Bolango menjadi daerah buruan mereka secara turun-temurun bahkan banyak yang sudah menetap jadi penduduk daerah itu.Sebelum abad 17, Desa Bubohu yang ada pada saat itu adalah kawasan pemukiman yang homogen dan religius, yang wilayahnya terbagi dua, yaitu :
– Wilayah dataran tinggi, bernama Tapa Modelo (sekarang menjadi dusun Tenilo dan Dusun Wapalo)
– Wilayah Dataran rendah, bernama Tapa Huota atau Huwata (sekarang menjadi dusun timur, dusun tengah dan dusun barat)
– Wilayah Dataran rendah, bernama Tapa Huota atau Huwata (sekarang menjadi dusun timur, dusun tengah dan dusun barat)
Pada umumnya penduduk saat itu, sumber mata pencariannya adalah bertani. Selain bertani masyarakatnya mempunyai adat dan kebudayaan yang sangat tinggi yang berlandaskan pada ajaran agama islam sebagai acuan dalam berkehidupan dan bermasyarakat. Pusat kegiatan keagamaan dan kebudayaan serta kegiatan lainnya di lakukan di Tudulio (dataran tinggi). Peran tokoh agama, tokoh adat dan tokoh masyarakat sangat berpengaruh di masyarakat dan satu tokoh yang menjadi panutan dan berpengaruh pada saat itu bernama Hilalumo Amay.
Pada tahun 1750, seorang raja gorontalo dari Tamalate (Raja Ternate) mengunjungi Tapa Modelo, mengadakan pertemuan / perundingan dengan tokoh agama, tokoh adat dan tokoh masyarakat untuk merumuskan kepemerintahan dan perluasan wilayah kekuasaan dan untuk delegasi Tapa Modelo dipimpin oleh Hilalumo Amay. Dalam perundingan tersebut, menghasilkan :
Tapa Modelo dan Tapa Huota menjadi bagian dari kerajaan gorontalo, dengan nama Bubohu. Hilalumo Amay sebagai pemimpin (Raja)
Wilayah kekuasaan meliputi wilayah pantai, dengan batas – batas sebagai berikut :
Sebelah barat berbatasan dengan Tanjung Olimeala (sekarang batas antara Kecamatan Biluhu dengan Kecamatan Paguyaman Pantai Kabupaten Boalemo)
Sebelah Timur berbatasan dengan Hulupilo / Huntingo (terletak di Kelurahan Pohe, Kota Gorontalo).
Sebagai bukti dari keberhasilan perundingan antara Raja Tamalate dan Bubohu, mereka tandai dengan menanam kelapa (Bongo), dimana kelapa tersebut sudah disiapkan oleh Raja Tamalate sebelum perundingan, dan areal penanaman di Tudulio, dekat dengan tempat pertemuan / perundingan mereka. (Sekarang areal tersebut masih ada, walaupun pohon-pohon kelapa yang ditanam sudah mati).
Kemudian sejak Gorontalo dikuasai oleh Belanda pada tahun 1873 sampai dengan tahun 1886 dan dengan dilkeluarkannya Beslit Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 17 April 1889 (Staadblad No. 250 Tahun 1889) tentang Retrukturisasai kekuasaan dengan menghapuskan kekuasaan, keputusan Raja-raja sudah sangat berpengaruh pada pemerintahan bubohu semua bukti sejarah dirusak dan diambil oleh Belanda sampai dengan rumah-rumah penduduk yang ada di Tudulio dan sekitarnya diperintahkan Belanda dibongkar sampai dengan tiangnya (Woh Hi). Sejak saat itu pula penduduk dari Bubohu sudah mulai berpindah-pindah tempat dan mereka menyebar keseluruh wilayah Gorontalo, diantaranya ke Isimu, Bongomeme, M olopatodu, Uabanga (Bone Pantai), Tapa dan Pesisir Pantai bagian Barat Gorontalo.
Bersamaan dengan dikeluarkannya Beslit tersebut diatas maka Bubohu dibagi menjadi dua wilayah, yakni dari Buotanga sampai dengan Tanjung Olimealo masuk pada Onder Afdeling Limboto dan dariBuotanga sampai dengan Hulupilo masuk pada Onder Afdeling Gorontalo.
Kemudian pada Tahun 1925 terjadi perubahan Pemerintahan Kolonial Belanda berdasarkan Lembaran Negara No. 262/1925 dari Biluhu sampai dengan Huonga masuk pada Onder Afdeling Gorontalo dibawah Kepemerintahan Distrik Batudaa dan dari Ayuhulalo (Sekarang Desa Kayubulan) sampai dengan Bubohu (Bongo) masuk pada Onder Afdeling Gorontalo dibawah kepemerintahanDistrik Kota Gorontalo.
Tahun 1902, Bubohu menjadi satu kampung yakni kampung Bubohu dan dipimpin oleh seorang kepala kampung dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
– Utara berbatasan dengan Kelurahan Tenilo / Kelurahan Buliide
– Selatan berbatasan dengan Teluk Tomini
– Timur berbatasan dengan Kelurahan Pohe (Dudetumo)
– Barat berbatasan dengan Tanjung Pangatiboni
– Selatan berbatasan dengan Teluk Tomini
– Timur berbatasan dengan Kelurahan Pohe (Dudetumo)
– Barat berbatasan dengan Tanjung Pangatiboni
Kemudian pada tahun 1937 Kampung Bubohu berubah nama menjadi Kampung Bongo, tetapi tetap bergelar Ti Bobohu. Dasar pertimbangan yang diambil oleh tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat pada saat itu adalah kelapa yang ditanam yang menjadi tanda dan bukti sejarah pertemuan / perundingan antara Raja Talamate dengan Hilalumo Amay sudah di budayakan oleh penduduk secara turun-temurun sehingga berpuluh tahun kemudian Kampung Bubohu telah menjadi hamparan tumbuhan kelapa yang sangat luas dan pada masa itu perekonomian dan penghidupan masyarakat sangat tergantung dari hasil tanaman kelapa tersebut, disamping hasil pertanian yang lain.
Faktor inilah yang diambil dan menjadi landasan tokoh adat, tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk menetapkan nama kampung menjadi Kampung Bongo. Dan sampai tahun 1959 Kampung Bongo masih tetap tergabung dengan distrik Kota Gorontalo. Setelah dikeluarkanya Undang-undang No. 29/1959 Tentang pembentukan Daerah Tingkat II Se – Sulawesi, Kampung Bongo telah menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Daerah tingkat II Gorontalo pada tahun 1960 dan namanya tetap Desa Bongo sampai dengan sekarang.
Bagi wisatawan yang ingin menyaksikan Wisata Budaya Walima, sebaiknya berkunjung pada saat perayaan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW, atau pada setiap tanggal 12 Rabiul Awal. Jarak tempuh ke Desa Wisata Religius Bubohu dari Bandara Jalaluddin hanya memakan waktu hampir 2 jam. Jarak dari ibukota Provinsi Gorontalo dapat di tempuh dengan waktu lebih kurang 20 menit dengan menggunakan kenderaan roda dua dan roda empat. Jalan berliku – liku serta menanjak di lereng bukit akan menemani perjalanan Anda. Pengunjung juga dapat menyaksikan pemandangan alam Teluk Tomini yang terhampar luas.
Rencana pengembangan Desa Bongo menjadi desa wisata religi mendapat tanggapan positif dari pemerintah daerah Provinsi Gorontalo. Pemprov sangat mendukung program ini karena menuntut peran serta langsung dari masyarakat. Harapan kedepan, adat istiadat walima di desa bongo ini dijadikan icon pariwisata Provinsi Gorontalo, sehingga gorontalo lebih dikenal lagi, bukan saja pada skala lokal melainkan sampai pada tingkat internasional.
Desa Wisata Religius Bubohu, menyimpan banyak sejarah dan terkenal dengan wisata budayanya. Untuk mendukung program pemerintah provinsi gorontalo dalam bidang pariwisa, maka di Desa Bubohu ini telah dibangun beberapa aset pariwisata sebagai daya tarik pengunjung, baik domestik maupun mancanegara, di antaranya :
– Masjid Walima Emas yang terletak di puncak bukit. Dengan kubah masjid berbentuk Walima yang terang dan bersinar ketika menjelang malam.
– Kalender Islam atau Kalender Hijriah terbesar di dunia yang terdapat di Masjid Walima Emas.
– Kolam Miem, Sebuah kolam dengan air pegunungan alami, yang dingin dan sejuk. Kolam yang terletak di puncak bukit dan bersebalahan dengan Masjid Walima Emas.
– Kolam renang santri gratis dengan air mancur tanpa mesin.
– Pesona Gunung Tidur, pas buat pengunjung yang punya hobby out bond.
– Pantai Dulanga dengan pesona alamnya yang eksotik.
– Cendera Mata khas Desa Wisata Religius Bubohu, yakni kue kolombengi khas walima dan sarung putih walima yang telah dikemas secara profesional.
– Pasar Subuh, Pasar tradisional di Desa Bubohu, yang sampai saat ini sebagian pedagang dan pembelinya masih menggunakan sistem barter atau metode pertukaran barang dengan barang.
– Kalender Islam atau Kalender Hijriah terbesar di dunia yang terdapat di Masjid Walima Emas.
– Kolam Miem, Sebuah kolam dengan air pegunungan alami, yang dingin dan sejuk. Kolam yang terletak di puncak bukit dan bersebalahan dengan Masjid Walima Emas.
– Kolam renang santri gratis dengan air mancur tanpa mesin.
– Pesona Gunung Tidur, pas buat pengunjung yang punya hobby out bond.
– Pantai Dulanga dengan pesona alamnya yang eksotik.
– Cendera Mata khas Desa Wisata Religius Bubohu, yakni kue kolombengi khas walima dan sarung putih walima yang telah dikemas secara profesional.
– Pasar Subuh, Pasar tradisional di Desa Bubohu, yang sampai saat ini sebagian pedagang dan pembelinya masih menggunakan sistem barter atau metode pertukaran barang dengan barang.
Seluruh aset pariwisata di Desa Wisata Religius ini di kelola oleh PKBM Yotama yang berobsesi menjadikan Desa Bongo menjadi Desa Wisata Religius. Sejak tahun 1997 PKBM Yotama telah merintis pembangunan, mulai dari marketing walima, pembangunan masjid walima emas di atas bukit, penanggalan hijriyah terbesar di dunia. Dan ke depan akan dibangun istana bagi para penghafal Al-Qur’an, juga menyulap rumah-rumah warga menjadi kamar hotel sekelas bintang lima serta restoran termegah di Indonesia.