Mengiringi kasus konflik antara Polri dan KPK yang berujung pada kriminalisasi Pimpinan KPK, publik di Indonesia dialihkan perhatiannya dengan pemberitaan-pemberitaan tentang begal motor. Setelah pemberitaan seputar begal mulai mereda, tiba-tiba media melakukan zoom-in pada isu 16 orang WNI yang diopinikan melakukan perjalanan ke Suriah melalui Turki untuk bergabung dengan Islamic State Iraq & Syam (ISIS). Tak perlu waktu lama, isu ISIS bergulir cepat di tengah isu-isu ketidakstabilan ekonomi, politik, dan hukum di tanah air yang tengah dihadapi pemerintahan Jokowi-JK. Seberbahaya apakah ISIS dan simpatisannya bagi Republik Indonesia dibandingkan dengan melemahnya penegakan korupsi, kenaikan nilai kurs Dollar terhadap Rupiah, dan isu-isu politik lainnya?
Bagi penulis, saat ini, ISIS tak terlalu membahayakan eksistensi Republik Indonesia dan rakyat Indonesia. Ada beberapa alasan kenapa penulis menyimpulkan saat ini ISIS tidak terlalu bahaya bagi Indonesia. Pertama, jumlah pendukung dan simpatisan ISIS di Indonesia sangatlah kecil. Tak mencapai angka 10.000 orang di seluruh Indonesia. Angka 10.000 memang besar jika disandingkan dengan angka 100. Namun dengan asumsi bahwa total pendukung ISIS itu mencapai 10.000 orang, sekalipun mereka berkumpul menjadi satu, kekuatan mereka masih kalah jauh dari anggota Jakmania, Aremania, atau Bobotoh Bandung yang menonton sepakbola di stadion.
Alasan kedua, para pendukung ISIS tidak termotivasi untuk menciptakan kegaduhan di wilayah Indonesia. Mereka lebih termotivasi ber-hijrah ke tanah khilafah yang dikuasai ISIS (sebagian wilayah Suriah dan Irak) untuk hidup di bawah naungan Khalifah dan berjihad di sana. Menurut informasi yang dikutip dari Kompas, diperkirakan sekitar 514 warga negara Indonesia (WNI) sudah hijrah dan bergabung dengan ISIS. Dari jumlah tersebut, empat di antaranya tewas dalam peperangan yang terjadi di wilayah Irak. Singkatnya, yang diinginkan mereka adalah peperangan di tanah khilafah, bukan di wilayah Indonesia. Karakteristik pendukung ISIS berbeda dengan kelompok-kelompok yang melakukan operasi peledakan bom di sejumlah tempat di Indonesia.
Alasan ketiga, kemampuan dan kelengkapan berperang para pendukung ISIS yang masih di Indonesia masih sangat minim. Penulis memiliki beberapa teman yang merupakan pendukung fanatic ISIS. Penulis cukup mengenal mereka. Diantara mereka ada mahasiswa, karyawan swasta, dan akademisi. Mereka yang penulis kenal tak memiliki kemampuan berperang atau pengalaman berjihad di wilayah konflik di Indonesia.
Alasan keempat, ideologi ISIS banyak ditentang kalangan umat Islam, khususnya di Indonesia. Jangankan kaum moderat atau ormas-ormas Islam mainstream seperti Muhammadiyah dan NU, di kalangan kaum muslim radikal atau garis keras, ISIS sangat dikecam dan dimusuhi. Anggota organisasi Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) yang dianggap paling radikal oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang dipimpin oleh ustadz Abu Bakar Ba’asyir pun enggan ber-baiat kepada ISIS saat amir-nya diisukan melakukan baiat. Bahkan mereka lebih memilih keluar dari JAT daripada harus berbaiat dengan ISIS yang dianggap sebagai kelompok takfiri dan khawarij. Diantara mereka yang keluar justru anak-anak ustadz Abu Bakar Ba’asyir sendiri.
Alasan kelima, secara global, ISIS juga dikecam oleh seluruh ormas Islam internasional, baik yang moderat maupun yang radikal. Bahkan Al Qaedah yang pernah disebut sebagai organisasi teroris paling radikal mengecam cara-cara kejam ISIS dalam berperang mengatasnamakan Allah.
Alasan keenam, sejauh ini track record pendukung ISIS di Indonesia pasca dideklarasikannya Daulah Islam, tak ada yang membahayakan. Aksi terbesar yang mereka lakukan hanya membuat aksi demonstrasi di Car Free Day Bundaran Hotel Indonesia (HI) pada tanggal 06/03/2014 pagi (setahun silam) dengan membagi-bagikan pamflet dan pin kepada warga.
Alasan keenam, sejauh ini track record pendukung ISIS di Indonesia pasca dideklarasikannya Daulah Islam, tak ada yang membahayakan. Aksi terbesar yang mereka lakukan hanya membuat aksi demonstrasi di Car Free Day Bundaran Hotel Indonesia (HI) pada tanggal 06/03/2014 pagi (setahun silam) dengan membagi-bagikan pamflet dan pin kepada warga.
Dari kesimpulan dan beberapa alasan yang penulis kemukakan itu, menjadi pertanyaan besar bagi penulis kenapa pemerintah (dan media tentu saja) pada hari ini mengesankan ISIS sebagai sebuah organisasi yang seolah sangat berbahaya seperti hendak menghancurkan Republik Indonesia dalam waktu yang cepat secara sistematis? Bagi penulis tak masuk akal. Kecuali kalau kita menyimpulkan ISIS berbahaya bagi Indonesia jika Indonesia tengah berperang terbuka dengan mereka, atau berbatas wilayah konflik secara langsung dengan mereka. Faktanya tidak sama sekali.
Lalu mengapa isu ISIS ini mengemuka di media pada hari ini? Kalau boleh penulis berprasangka buruk, ini merupakan cara pemerintah mengurangi tekanan public dan rakyat terhadap mereka dengan pengalihan isu yang menjadi ‘musuh bersama’ bagi rakyat Indonesia sehingga diharapkan dapat mengurangi tensi. Wallahu a’lam.