Terseretnya nama Maharani Suciyono, seorang mahasiswi Universitas Moestopo Beragama dalam pusaran kasus suap impor daging sapi menuai kecaman dari berbagai pihak. Terlebih Maharani diduga menerima uang 10 juta rupiah sebagai imbalan atas ‘jasa’nya menemani tersangka Ahmad Fathonah di sebuah kamar hotel, Le Meredian. Sejumlah tulisan yang intinya mengecam ulah Maharani yang dianggap mencemarkan status mahasiswa beredar di mana-mana, tak terkecuali di Kompasiana.
Tak berlebihan memang. Selama ini mahasiswa dikenal sebagai agent of change yang memelopori sejumlah pergerakan politik di tanah air. Lahirnya Budi Utomo yang disebut sebagai tonggak kebangkitan nasional tak dapat dilepaskan dari peran mahasiswa STOVIA. Lahirnya Orde Baru dan Orde Reformasi pun tak dapat dipisahkan dari perjuangan kaum mahasiswa yang penuh tetesan darah dan cucuran keringat. Dari kalangan mahasiswa itu pula pernah terlahir nama aktivis kondang semisal Soe Hok Gie dan Arief Rachman Hakim.
Lha kalau dulu mahasiswa dikenal akan idealisme dan nasionalismenya, bukankah wajar tatkala ada oknum yang mencemarkan status mahasiswa lewat perilakunya sebagai ‘ayam kampus’, dihujat habis-habisan? Segala bentuk hujatan terhadap Maharani mungkin dapat dibenarkan bila kita hanya menggunakan perspektif satu arah. Selama ini kita hanya menyalahkan Pekerja Seks Komersil (PSK) sebagai sampah masyarakat. Mereka mendapat sanksi sosial yang demikian berat. Sebaliknya, pria hidung belang yang gemar menggunakan jasa PSK seringkali tidak mendapatkan sanksi yang sebanding. Perbuatan pria hidung belang tersebut seakan dapat dengan mudah termaafkan oleh masyarakat sekitar. Contoh nyata hal ini adalah bagaimana seorang Ariel yang mendekam di jeruji besi gara-gara kasus video pornonya dengan Cut Tari dan Luna Maya, setelah bebas justru makin melejit karirnya! Sungguh aneh tatkala sebagian kaum Hawa secara tidak langsung menyematkan julukan kepada Maharani sebagai aib bagi wanita, tapi di sisi lain tidak sedikit pun memberikan sanksi sosial kepada seorang Ariel yang jelas-jelas melecehkan wanita!
Dalam kasus Maharani yang seakan menyingkap fenomena ‘ayam kampus’ dewasa ini, lagi-lagi terkesan kita hanya menghakimi salah satu pihak. Bila kita berpikir fair, keberadaan ‘ayam kampus’ tentu tak dapat dipisahkan dari maraknya ‘om-om girang’ yang berlatar belakang pendidikan tinggi pula. Siapa sih yang menjadi langganan ‘ayam kampus’? Tentu saja bukan (maaf) tukang ojek atau sopir. Langganan mereka tentunya oknum pejabat, anggota dewan, pengusaha, atau semisalnya yang memiliki ‘selera tinggi’. Dengan demikian, kasus Maharani hendaknya dipandang sebagai puncak dari fenomena degradasi moral dalam dunia intelektual. Baik ‘om-om girang berdasi’ maupun ‘ayam kampus’ sebagai penjaja seks, harus ditempatkan dalam posisi yang sama rendah. Menjadi PR bersama semua pihak terkait, mengapa tingginya tingkat intelektualitas tidak selalu linear dengan tingkat moralitasnya?
Selanjutnya, hujatan membabi buta terhadap pribadi Maharani tak dapat dibenarkan karena yang diajarkan agama adalah membenci perbuatan maksiatnya, bukan orangnya. Memang di dalam hadis banyak dijelaskan tentang ancaman berat bagi para wanita yang sekadar “berpakaian tapi telanjang”. Bila sekadar mengobral aurat saja ancamannya begitu berat, apalagi yang jelas-jelas menjajakan keindahan tubuhnya buat dinikmati. Akan tetapi penting untuk diingat, dalam hadis lain juga dikisahkan tentang seorang pelacur yang masuk surga gara-gara memberi minum seekor anjing yang tengah kehausan. Dengan demikian, kewajiban kita adalah membenci dan menjauhi perbuatan maksiat yang diharamkan agama. Sementara terhadap pelaku maksiat, kita tidak perlu memberikan stigma sebagai sampah masyarakat, apalagi calon penghuni neraka. Kecuali terhadap orang atau kelompok yang memang jelas-jelas dijamin masuk neraka berdasarkan dalil-dalil yang qath’i. Siapa tahu, yang sekarang berbuat maksiat, besok ia bertaubat. Siapa tahu sosok yang kita kenal sebagai pelaku maksiat, ternyata ia memiliki satu amalan yang membuatnya diampuni Allah SWT. Tugas kita hanyalah menyeru kepada mereka agar kembali ke jalan yang benar, dengan jalan menjelaskan segala kemaksiatan yang diperbuatnya. Bukan dengan cara menyerang dan menghujat personality-nya.
Akhirul kalam, tulisan ini bukan sebagai pembenaran, apalagi pembelaan terhadap perilaku seorang Maharani Suciyono yang dianggap menampar dunia mahasiswa tanah air. Tulisan ini hanya sebagai ajakan agar kita sama-sama bersikap adil dalam menilai sesuatu. Itu saja.