Skip to main content

Perjuangan Menyusun Kata-kata


“Memang aneh,” tulis Paul Auster, “menghabiskan hidup dengan duduk sendiri di suatu ruangan sepi dengan pena di tangan, jam demi jam, hari demi hari, tahun demi tahun, berjuang meletakkan kata-kata di atas secarik kertas.” Auster barangkali baru menyadari keanehan itu ketika sebuah pertanyaan sederhana diajukan padanya: mengapa menulis?
Kesadaran akan keanehan itu dituangkan Auster dalam salah satu esai yang terhimpun dalam buku berjudul Burn This Book. Dalam antologi yang disunting oleh Toni Morrison ini kita dapat membaca aneka pandangan dan pengalaman 11 penulis tentang ‘menyusun kata-kata’. Buku ini terbit pada 2009, tapi isinya tak lekang oleh waktu. Esai-esai Gordimer, Rushdie, Pamuk, dan penulis lainnya melapangkan perspektif, memantik inspirasi, dan menguatkan semangat.
Franz Kafka pernah mengatakan, sebuah buku ditulis sebagai kampak untuk memecahkan lautan beku di dalam diri kita. Novelis, yang duduk sendirian bersama kalimat-kalimatnya, senantiasa belajar dari setiap kalimat baru yang ia tulis untuk menulis kalimat berikutnya. Novelis berbicara bukan untuk orang lain, kata Russell Banks, melainkan untuk dirinya sendiri dan menulis semata-mata untuk menembus apa yang masih menjadi misteri baginya, secara moral atau metafisikal ataupun sosial.
Lantaran itulah, kata Banks (Notes on Literature and Engagement), dalam hampir 300 tahun sejarah sastra Amerika, teramat sedikit novel yang menjadi kekuatan penting bagi perubahan sosial. Barangkali, novel Amerika yang paling dikenal mempengaruhi masyarakat adalah Uncle Tom’s Cabin (1852). Karya Harriet Beecher Stowe ini membuat berpikir betapa menyakitkan perbudakan. “Inikah wanita kecil yang telah memicu perang besar?” tanya Abraham Lincoln tatkala Stowe diperkenalkan kepadanya di Gedung Putih.
Bila menulis hanya untuk diri sendiri, atau seperti guyonan Jorge Luis Borges yang menulis untuk teman-temannya, mengapa banyak despot merasa terganggu? Kata Toni Morrison, yang menjadi editor kumpulan esai berjudul Burn This Book ini, rezim-rezim otoriter, para diktator dan despot seringkali—namun tidak selalu—bodoh. Tapi tidak satupun dari mereka cukup bodoh untuk memberi ruang kebebasan kepada penulis pembangkang untuk mempublikasikan penilaian mereka atau mengikuti naluri kreatif mereka.
Para despot tahu, kata Morrison, bahwa memberi ruang kebebasan sama halnya dengan menciptakan jebakan bagi diri mereka. Mereka tidak cukup bodoh untuk membatalkan kendali mereka (jahat ataupun busuk) terhadap media.
Kendati begitu, kata Nadine Gordimer, penulis tetap harus menyatakan apa yang ia saksikan tentang “apa yang sebenarnya terjadi”. Di belahan bumi manapun senantiasa ada orang-orang yang memilih menjadi saksi dan tanpa rasa takut mengisahkannya kepada dunia, seperti Wole Soyinka di Afrika dan Alexander Sholzenetsyn di Uni Soviet.
Di tengah penindasan, “sastra telah dan tetap menjadi alat bagi manusia untuk menemukan kembali diri mereka.” Gordimer tak sepakat dengan Sartre ketika ia mengatakan ada saatnya seorang penulis harus berhenti menulis dan bertindak semata-mata melalui cara lain karena frustrasi atas konflik tak terpecahkan antara penderitaan karena ketidakadilan di dunia dengan pengetahuan bahwa cara terbaik yang ia tahu untuk dilakukan adalah menulis. “Seorang penulis harus terus menggunakan hak untuk berbicara perihal kesukaran,” kata Gordimer.
Andai saja, dan mungkin saja memang demikian, Auster merasa seperti David Grossman tatkala berbicara ihwal kesukaran. Dalam Writing in the Dark, Grossman menulis, “Ada kalanya saat aku bekerja.. aku berpikir: Sekarang, saat ini, duduk pula penulis-penulis lain, yang tak kukenal, di Damaskus dan Teheran, di Kigali atau Dublin, di Israel dan di Palestina, di Chechnya dan di Sudan, di New York dan di Kongo… yang, seperti aku, terlibat dalam kerja penciptaan yang asing dan mengherankan, di dalam realitas yang mengandung begitu banyak kekerasan dan keterasingan, ketakacuhan dan kekurangan. Aku memiliki sekutu jauh yang tidak mengenalku, dan bersama-sama kami merajut jejaring tanpa bentuk ini, merajut kekuatan untuk mengubah dunia dan menciptakan dunia, kekuatan untuk memberikan kata-kata kepada yang diam.”
Di saat seperti ini, penulis di manapun akan merasa dirinya berdiri di atas konflik antara posisi penulis dan posisi negara-bangsa—sebuah tema yang dieksplorasi oleh Salman Rushdie dalam Notes on Writing and the Nation. Nasionalisme telah mengkorupsi penulis, kata Rushdie. Nasionalisme adalah ‘revolusi melawan sejarah’ yang berusaha menutup apa yang tidak bisa lagi ditutup. Nasionalisme memagari apa yang seharusnya tanpa tapal batas. Tulisan yang bagus, kata Rushdie, mengasumsikan bangsa yang tanpa tapal batas. Ia meyakini, “Penulis yang melayani tapal batas telah menjadi (sekedar) pengawal tapal batas.”
Ketika jutaan orang yang menghadapi ancaman atas eksistensinya, nilai-nilainya, kebebasannya, dan identitasnya sebagai manusia, penulis menjadi saksi sekaligus berjuang menemukan dirinya kembali di tengah segala kesukaran. Hampir setiap orang menghadapi ancamannya sendiri. Setiap diri kita merasa betapa ‘situasi’ uniknya bisa berubah cepat menjadi jebakan yang merampas kebebasannya, rasa ‘pomah’ di negerinya sendiri, bahasa pribadinya, kehendak bebasnya.
Menjadi tugas sejati novelis, kata John Updike, untuk mendramatisasi mula-mula bagi dirinya sendiri dan akhirnya bagi yang lain tentang apa artinya menjadi manusia di zaman kita dan di sepanjang masa, apa maknanya menjadi manusia di tempat kita dan di setiap tempat. “Kita selalu bergantung kepada tukang cerita untuk menceritakan pada kita apa maknanya menjadi manusia.”
Dan mengapa kata yang terpilih untuk menunaikan tugas itu? Barangkali karena kekuatan biusnya yang memabukkan. Seperti tutur Nadine Gordimer, memiliki kata sama artinya dengan kekuasaan tertinggi, prestise, kekaguman, tapi terkadang bisa menjadi rayuan berbahaya.
Di dalam Burn This Book, kita memperoleh sajian 11 esai yang menawan dari penulis yang menghadirkan pikiran dengan cara demikian beragam. Gordimer, Rushdie, Updike, Banks, Pamuk, Auster, Park, Grossman, Prose, Iyer, dan Morrison mengayakan pengertian kita tentang menulis dan menjadi manusia. Membaca kitab ringkas ini menjadikan kita yakin pada apa yang dikatakan oleh Morrison bahwa “hidup dan karya seorang penulis bukanlah berkah bagi kemanusiaan, melainkan kemestian baginya.” Atau dalam kata Auster, “Karena engkau harus melakukannya, karena engkau tak punya pilihan.”
Antologi esai ini memang tipis, tapi jangan berpikir bahwa ia kehilangan kekuatannya untuk mengingatkan kita bagaimana menjadi manusia. 

Popular posts from this blog

Ngewe ABG SMU yang Super Seksi

Cerita Seks Ngawek Hot Bangat yang akan kuceritakan di Bergairah.org ini adalah pengalamanku ngentot cewek sma bispak tapi aku akui toketnya gede banget dan amoi banget memeknya. Berawal dari aku yang dapat tender gede, aku dan temanku akhirnya ingin sedikit bersenang-senang dan mencoba fantasi seks baru dengan cewek-cewek abg belia. Akhirnya setelah tanya kesana kemari, ketemu juga dengan yang namanya Novi dan Lisa. 2 cewek ini masih sma kelas 3, tapi mereka sangat liar sekali. Baru kelas 3 sma aja udah jadi lonte perek dan cewek bispak. Apalagi nanti kalo dah gede ya ? memeknya soak kali ye   . Ahh tapi saya ga pernah mikirin itu, yang penting memeknya bisa digoyang saat ini dan bisa muasin kontol saya. Udah itu aja yang penting. Untuk urusan lainnya bukan urusan saya   . Aku segera mengambil HP-ku dan menelpon Andi, temanku itu. “Di.., OK deh gue jemput lu ya besok.. Mumpung cewek gue sedang nggak ada” “Gitu donk.. Bebas ni ye.. Emangnya satpam lu kemana?” “Ke Sura

RPP MULOK PERTANIAN KELAS IX

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yang bermuatan lokal (MuLok) untuk menanamkan pengetahuan tentang arti penting kesetimbangan lingkungan dengan memanfaatkan prinsip-prinsip Pertanian Organik diantaranya Budidaya Tanaman dengan Menggunakan Pupuk Organik. Naskah berikut saya sadur dari presentasi seorang guru SLTP di sebuah web (mohon maaf, karena filenya sudah cukup lama saya tidak sempat menyimpan alamat webnya). "Arti Penting Pertanian Organik", itu dia phrase (rangkaian) kata kuncinya. Berikut merupakan contoh Mulok Bidang Pertanian untuk SLTP. RINCIAN MINGGU EFEKTIF                                                 Mata Pelajaran       : Muatan Lokal Pertanian                                                 Satuan Pendidikan : SMP                                                 Kelas/Semester       : IX/II                                                 Tahun Pelajaran    : 2011/2012  1.        Jumlah Minggu Efektif No Bulan Banyaknya Minggu

Kisah cinta antara Nurfitria Sekarwilis Kusumawardhani Gobel dengan Timur Imam Nugroho

Kisah cinta antara Nurfitria Sekarwilis Kusumawardhani Gobel atau yang akrab disapa dengan Annie dengan Timur Imam Nugroho atau Imung, sangatlah panjang. Mereka mengawali perkenalan mereka sejak lima tahun, di Australia. Saat itu keduanya sedang menimba ilmu di Australia. Timur merupakan kakak kelas dari Anni, dari situ keduanya saling mengenal satu sama lain, dan akhirnya memutuskan untuk pacaran. “Kita awalnya saling berkenalan, lalu memutuskan untuk kenal lebih dekat sudah sejak 5 tahun lalu,” ungkap Annie, saat diwawancarai Gorontalo Post, di rumah adat Dulohupa, Jumat (23/9). Anni mengatakan selama 5 tahun masa perkenalan tentunya mereka sudah banyak mengenal kekurangan dan kelebihan masing-masing, sehingga mereka selalu berusaha untuk saling melengkapi. Lima tahun merupakan waktu yang sangat cukup, hingga akhirnya keduanya saling memutuskan untuk melangsungkan pernikahan pada tanggal 17 September 2016, di Kalibata, Jakarta. Annie merupakan lulusan dari RMIT University, Bachelo