KOTA Makassar dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir tidak pernah sepi dari gegap gempita pesta rakyat dalam implementasi demokrasi, yaitu pemilihan umum. Pemilihan Gubernur (Pilgub) baru saja usai yang akan diikuti oleh pemilihan wali kota (pilwali).
Rentetan pesta demokrasi tersebut merupakan membuat kehidupan keseharian masyarakat Makassar disibukkan dengan semua hal yang berkaitan dengan pesta demokrasi tersebut.
Kini, masyarakat Makassar berada dalam hiruk pikuk proses pilwali. Kota Makassar dipenuhi dengan hamparan senyuman manis dan optimisme yang tergambar pada wajah yang terpampang di baliho, poster, dan berbagai macam alat peraga yang dipasang tim sukses. Belum lagi slot iklan di media massa yang terus saja meningkat; diperdengarkan dan diperlihatkan setiap harinya dengan harapan angka popularitas dan elektabilitas ikut terderek naik sesuai dengan target yang telah ditetapkan.
Elektabilitas Lambat
Angka popularitas dan elektabilitas bakal calon walikota memang secara (sangat) perlahan terus naik. Tetapi sampai sekarang belum ada yang menembus angka elektabilitas 30%.
Hasil olah data pada survei yang dilakukan pada 21-29 Maret 2013 yang dilakukan Galigo Survey Institute (GSI) dengan melibatkan 600 responden dengan margin error 3%, menyatakan bahwa Supomo Guntur berada pada garda terdepan dengan popularitas 87,5% dengan elektabilitas 21,3%.
Bakal calon lain pada urutan 2, Rusdin Abdullah,dengan 84,08% pada angka popularitas dan 17,59% angka elektabilitas; dan Idris Manggabarani yang berada pada urutan tiga dengan popularitas 72,01% dengan elektabilitas 10,34%.
Di urutan keempat, Adil Patu dengan popularitas 70,28% dengan elektabilitas 8,54%. Selanjutnya adalah Danny Pamanto dengan popularitas 68,53% dengan elektabilitas 5,79%. Dengan menyisakan waktu kurang lebih 6 bulan lagi, maka kisaran angka tersebut bisa dikatakan sangat lambat. Hal ini tentunya berimplikasi kepada semua bakal calon yang harus semakin berjibaku mengeluarkan strategi ampuhnya untuk merayu pemilih potensial pada pilwakot Makassar nanti.
Golput apatis: pragmatis plus mistrust
Salah satu motif yang paling rasional dalam menjelaskan hal di atas adalah pemilih potensial di kota Makassar relatif masih lelah dengan segala hal yang berkaitan dengan pemilihan langsung seusai pilgub kemarin. Apalagi Makassar menjadi “area pertempuran” yang paling sengit pada waktu itu.
Sehingga sekarang ini, bisa dikatakan warga Makassar berada dalam masa pemulihan (recovery). Tetapi ada sisi lain yang diungkap dari hasil olah data pada survei ini, bisa jadi merupakan satu dari sekian banyak penjelasan mengapa angka elektabilitas para bakal calon walikota tersebut bergerak lambat.
Hasil olah data tersebut menggambarkan sikap apatis pada pemilih potensial yang tidak bisa dikatakan sedikit. Kisaran angka 18,8% golput apatis dari total angka 22,4% pemilih potensial yang secara tegas menyatakan tidak akan memilih (golput); tentunya dengan motif lain, seperti golput karena perbedaan prinsip/ideologi. Apatis atau sikap acuh tak acuh, sikap masa bodoh dan sejenisnya terhadap sesuatu yang seharusnya menjadi haknya; dalam ilmu Psikologi; adalah satu bagian dari sikap stress.
Kekecewaan, kemuakan, dan kejengahan menjadi indikator terpenting dari sikap apatis ini. Tanggapan responden yang menyatakan akan mengambil sikap golput dengan motif apatis sebagian besar didorong oleh informasi yang berkonotasi negatif yang terus saja diterima, yang kemudian membentuk opini akan kesia-siaan dalam keikutsertaan dalam pemilu yang berujung kepada keputusan untuk mengambil sikap yang berbanding lurus dengan hal tersebut, yaitu golput.
Ciri khas masyarakat perkotaan yang relatif mudah mengakses berita/ informasi tentunya memberikan banyak muatan dalam menimbang ketika mengambil putusan akan sikap politik; dan apabila mengacu kepada pemberitaan media massa beberapa waktu terakhir ini, maka sikap apatisme tersebut bisa dikatakan berada dalam wilayah permakluman atau kewajaran.
Banyaknya pejabat politik, elit politik yang tertangkap sebagai seorang koruptor, penyuap dan skandal kriminal lainnya membuat pendidikan politik yang negatif. Secara normatif maka masyarakat akan menilai bahwa hal-hal yang berbau politik adalah hal yang hitam, penuh intrik, jahat, saling menjatuhkan satu sama lain.
Bila mengacu kepada sistem demokrasi yang menempatkan masyarakat pada salah satu pilar utama, maka sikap apatis terhadap politik ini akan menjadi problem besar. Hal lain yang mendorong sikap apatis adalah pragmatisme. Pragmatis bila dioperasionalkan akan tergambar dalam ungkapan “apa sih untungnya buat gue?”
Pemilih potensial yang memilih sikap golput apatis dalam cakupan ini merasa kepentingannya tidak diakomodir, tidak dilibatkan dan lain sebagainya; dan kalaupun diakomodir dalam rencana program kerja sang bakal calon walikota, maka yang lahir kemudian adalah sikap mistrust (ketidakpercayaan). Semua janji-janji yang terus didengungkan dianggap angin lalu dan hanya sebatas lip service.
Kerja tim semua bakal calon walikota Makassar diprediksi akan memasuki tahapan baru. Tahapan tersebut tidak lagi sebatas menggali potensi positif yang akan di-blow up di media massa untuk memberikan pencitraan positif kepada sang bakal calon wali kota yang didukungnya untuk mendongkrak angka elektabilitas; tetapi terlebih lagi kepada mencari sisi kelemahan rival-rivalnya.
Hal ini akan merangkum negative campaign bahkan sampai kepada black campaign sang rival. Hal ini hampir terjadi pada semua pemilihan umum dalam berbagai segmennya di Indonesia. Gejala-gejala pada saat ini mulai terasa dengan pemberitaan beberapa bakal calon walikota meski belum semassif pada saat pilgub sulsel kemarin. Dan apabila perkiraan ini menjadi realitas, maka warga Makassar akan dibombardir dengan sederet pemberitaan yang terkadang akan membuat “boring” dan mungkin sedikit memuakkan. Hal ini bisa jadi menderek angka golput lebih meningkat lagi.
Di sisi lain, pemberitaan yang semakin kaya tersebut akan menambah bekal dalam memilah dan memilih bakal pemimpin kota yang kita cintai ini. Dengan berpegang kepada ungkapan populer “tak ada gading yang tak retak” dan optimisme akan adanya perubahan ke arah yang semakin baik, sembari berdo’a akan semakin membaiknya pula perilaku politik para pelakonnya; maka layaklah jika salah satu bakal calon walikota akan menjadi pilihan kita nantinya, terlepas dari semua realitas politik yang terjadi sekarang ini.
Dengan begitu, tingginya angka golput yang menghantui setiap penyelenggaraan pemilu bisa ditekan dan kita sebagai bagian dari masyarakat yang menjadi pilar utama demokrasi bisa menjalankan hak politik secara optimal.Wallaahu A’lam.
Rentetan pesta demokrasi tersebut merupakan membuat kehidupan keseharian masyarakat Makassar disibukkan dengan semua hal yang berkaitan dengan pesta demokrasi tersebut.
Kini, masyarakat Makassar berada dalam hiruk pikuk proses pilwali. Kota Makassar dipenuhi dengan hamparan senyuman manis dan optimisme yang tergambar pada wajah yang terpampang di baliho, poster, dan berbagai macam alat peraga yang dipasang tim sukses. Belum lagi slot iklan di media massa yang terus saja meningkat; diperdengarkan dan diperlihatkan setiap harinya dengan harapan angka popularitas dan elektabilitas ikut terderek naik sesuai dengan target yang telah ditetapkan.
Elektabilitas Lambat
Angka popularitas dan elektabilitas bakal calon walikota memang secara (sangat) perlahan terus naik. Tetapi sampai sekarang belum ada yang menembus angka elektabilitas 30%.
Hasil olah data pada survei yang dilakukan pada 21-29 Maret 2013 yang dilakukan Galigo Survey Institute (GSI) dengan melibatkan 600 responden dengan margin error 3%, menyatakan bahwa Supomo Guntur berada pada garda terdepan dengan popularitas 87,5% dengan elektabilitas 21,3%.
Bakal calon lain pada urutan 2, Rusdin Abdullah,dengan 84,08% pada angka popularitas dan 17,59% angka elektabilitas; dan Idris Manggabarani yang berada pada urutan tiga dengan popularitas 72,01% dengan elektabilitas 10,34%.
Di urutan keempat, Adil Patu dengan popularitas 70,28% dengan elektabilitas 8,54%. Selanjutnya adalah Danny Pamanto dengan popularitas 68,53% dengan elektabilitas 5,79%. Dengan menyisakan waktu kurang lebih 6 bulan lagi, maka kisaran angka tersebut bisa dikatakan sangat lambat. Hal ini tentunya berimplikasi kepada semua bakal calon yang harus semakin berjibaku mengeluarkan strategi ampuhnya untuk merayu pemilih potensial pada pilwakot Makassar nanti.
Golput apatis: pragmatis plus mistrust
Salah satu motif yang paling rasional dalam menjelaskan hal di atas adalah pemilih potensial di kota Makassar relatif masih lelah dengan segala hal yang berkaitan dengan pemilihan langsung seusai pilgub kemarin. Apalagi Makassar menjadi “area pertempuran” yang paling sengit pada waktu itu.
Sehingga sekarang ini, bisa dikatakan warga Makassar berada dalam masa pemulihan (recovery). Tetapi ada sisi lain yang diungkap dari hasil olah data pada survei ini, bisa jadi merupakan satu dari sekian banyak penjelasan mengapa angka elektabilitas para bakal calon walikota tersebut bergerak lambat.
Hasil olah data tersebut menggambarkan sikap apatis pada pemilih potensial yang tidak bisa dikatakan sedikit. Kisaran angka 18,8% golput apatis dari total angka 22,4% pemilih potensial yang secara tegas menyatakan tidak akan memilih (golput); tentunya dengan motif lain, seperti golput karena perbedaan prinsip/ideologi. Apatis atau sikap acuh tak acuh, sikap masa bodoh dan sejenisnya terhadap sesuatu yang seharusnya menjadi haknya; dalam ilmu Psikologi; adalah satu bagian dari sikap stress.
Kekecewaan, kemuakan, dan kejengahan menjadi indikator terpenting dari sikap apatis ini. Tanggapan responden yang menyatakan akan mengambil sikap golput dengan motif apatis sebagian besar didorong oleh informasi yang berkonotasi negatif yang terus saja diterima, yang kemudian membentuk opini akan kesia-siaan dalam keikutsertaan dalam pemilu yang berujung kepada keputusan untuk mengambil sikap yang berbanding lurus dengan hal tersebut, yaitu golput.
Ciri khas masyarakat perkotaan yang relatif mudah mengakses berita/ informasi tentunya memberikan banyak muatan dalam menimbang ketika mengambil putusan akan sikap politik; dan apabila mengacu kepada pemberitaan media massa beberapa waktu terakhir ini, maka sikap apatisme tersebut bisa dikatakan berada dalam wilayah permakluman atau kewajaran.
Banyaknya pejabat politik, elit politik yang tertangkap sebagai seorang koruptor, penyuap dan skandal kriminal lainnya membuat pendidikan politik yang negatif. Secara normatif maka masyarakat akan menilai bahwa hal-hal yang berbau politik adalah hal yang hitam, penuh intrik, jahat, saling menjatuhkan satu sama lain.
Bila mengacu kepada sistem demokrasi yang menempatkan masyarakat pada salah satu pilar utama, maka sikap apatis terhadap politik ini akan menjadi problem besar. Hal lain yang mendorong sikap apatis adalah pragmatisme. Pragmatis bila dioperasionalkan akan tergambar dalam ungkapan “apa sih untungnya buat gue?”
Pemilih potensial yang memilih sikap golput apatis dalam cakupan ini merasa kepentingannya tidak diakomodir, tidak dilibatkan dan lain sebagainya; dan kalaupun diakomodir dalam rencana program kerja sang bakal calon walikota, maka yang lahir kemudian adalah sikap mistrust (ketidakpercayaan). Semua janji-janji yang terus didengungkan dianggap angin lalu dan hanya sebatas lip service.
Kerja tim semua bakal calon walikota Makassar diprediksi akan memasuki tahapan baru. Tahapan tersebut tidak lagi sebatas menggali potensi positif yang akan di-blow up di media massa untuk memberikan pencitraan positif kepada sang bakal calon wali kota yang didukungnya untuk mendongkrak angka elektabilitas; tetapi terlebih lagi kepada mencari sisi kelemahan rival-rivalnya.
Hal ini akan merangkum negative campaign bahkan sampai kepada black campaign sang rival. Hal ini hampir terjadi pada semua pemilihan umum dalam berbagai segmennya di Indonesia. Gejala-gejala pada saat ini mulai terasa dengan pemberitaan beberapa bakal calon walikota meski belum semassif pada saat pilgub sulsel kemarin. Dan apabila perkiraan ini menjadi realitas, maka warga Makassar akan dibombardir dengan sederet pemberitaan yang terkadang akan membuat “boring” dan mungkin sedikit memuakkan. Hal ini bisa jadi menderek angka golput lebih meningkat lagi.
Di sisi lain, pemberitaan yang semakin kaya tersebut akan menambah bekal dalam memilah dan memilih bakal pemimpin kota yang kita cintai ini. Dengan berpegang kepada ungkapan populer “tak ada gading yang tak retak” dan optimisme akan adanya perubahan ke arah yang semakin baik, sembari berdo’a akan semakin membaiknya pula perilaku politik para pelakonnya; maka layaklah jika salah satu bakal calon walikota akan menjadi pilihan kita nantinya, terlepas dari semua realitas politik yang terjadi sekarang ini.
Dengan begitu, tingginya angka golput yang menghantui setiap penyelenggaraan pemilu bisa ditekan dan kita sebagai bagian dari masyarakat yang menjadi pilar utama demokrasi bisa menjalankan hak politik secara optimal.Wallaahu A’lam.