ndonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan per 13 Mei 2013 ditemukan sedikitnya ada 57 terpidana korupsi yang belum dieksekusi atau diduga belum dieksekusi pihak kejaksaan meskipun sudah ada putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht).
"Dari 57 terpidana korupsi tersebut, 23 koruptor belum dieksekusi karena telah melarikan diri atau masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Sedangkan lebih dari 34 orang terpidana korupsi lainnya belum dieksekusi karena sejumlah alasan," kata Koordinator ICW bidang Hukum dan Peradilan Emerson Yunto dalam pertemuannya dengan sejumlah pejabat kejaksaan agung di Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Selasa (14/5/2013).
Sebanyak 57 terpidana yang belum dieksekusi tersebut tersebar di 12 wilayah hukum Kejaksaan Tinggi. Tercatat terpidana korupsi yang paling banyak belum atau diduga belum dieksekusi berada di lingkungan Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah sebanyak 22 terpidana.
"Masuk kelompok besar lainnya adalah Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta enam terpidana, Kejaksaan Tinggi Riau lima terpidana, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dua terpidana," ungkapnya.
Emerson mencontohkan belum dijebloskannya koruptor ke penjara adalah Bupati Kepulauan Aru Teddy Tengko, terpidana kasus korupsidana APBD Aru senilai Rp 42 miliar. Pada 12 Desember 2012 lalu misalnya, sekelompok orang pendukung Teddy Tengko, berhasil membatalkan eksekusi Kejaksaan di Bandara Soekarno Hatta.
Pihak Kepolisian di sekitar bandara yang seharusnya mendukung upaya kejaksaan justru terkesan berpihak kepada sang Bupati sehingga proses eksekusi gagal dilakukan.
"Hingga kini terpidana korupsi selama 4 tahun penjara belum mendekam di penjara dan karena diangkat kembali masih menjabat sebagai Bupati Kepulauan Aru," terangnya.
Sedangkan contoh terpidana korupsi yang melarikan diri antara lain dilakukan oleh Satono Mantan Bupati Lampung Timur, Sumita Tobing mantan Direktur TVRI, Samadikun Hartono kasus BLBI, Sudjiono Timan (BPUI), Djoko S Tjandra kasus Bank Bali, Adelin Lis, Nader Taher dan Syarief Abdullah.
Dari pemantauan ICW selain karena alasan pelaku melarikan diri, terdapat sejumlah alasan yang dikemukan oleh pihak Kejaksaan berkaitan dengan tertundanya pelaksanaan eksekusi para terpidanakorupsi seperti belum diterima salinan putusan, menunggu putusan peninjauan kembali, koordinasi dengan pihak internal dan eksternal, pertimbangan kemanusiaan, dan pertimbangan kondisi situasi politik serta keamanan di tingkat lokal maupun ada upaya pihak tertentu yang menghalang-halangi proses eksekusi terhadap koruptor.
"Proses eksekusi koruptor yang tertunda atau lambat justru membuka peluang bagi koruptor untuk melarikan diri atau mengajukan peninjauan kembali. Dari kasus korupsi yang diamati oleh Koalisi, eksekusi umumnya baru dilakukan 1 sampai 4 tahun setelah vonis untuk koruptor telah berkekuatan hukum tetap. Padahal jika terjalin kerja sama dan koordinasi yang baik dari Kejaksaan dengan institusi yang lain seperti Mahkamah Agung dan Kepolisian, setidaknya 14 hari setelah berkekuatan hukum tetap, koruptor bisa segera dieksekusi," ungkapnya.
Menyikapi hal tersebut, Wakil Jaksa Agung Darmono mengungkapkan 57 kasus yang sudah berkekuatan hukum tetap tetapi belum dieksekusi akan menjadi catatan bagi Kejaksaan Agung.
"Saya pastikan kami akan segera melakukan kroscek, perkara itu sejauh mana, sudah dieksekusi atau belum. Nanti bapak Jampidsus segera melakukan pengecekan di lapangan, data di kejaksaan agung maupun daerah," terangnya.
Bila dieksekusi tentunya kejaksaan akan menyampaikan informasi kepada publik melalui media yang ada seperti email atau website kejaksaan supaya masyarakat tahu. Sedangkan perkara yang belum dieksekusi menjadi kewajiban kejaksaan untuk segera ditindaklanjuti.
"Saya akan semaksimal mungkin terhadap perkara yang belum dieksekusi, kami cari sebabnya apa, apa tidak ditemukan, meninggal dan lain sebagainya," ucap Darmono.
57 kasus ini akan menjadi pekerjaan rumah bagi kejaksaan, seluruh jajaranya akan segera memastikan tentang tindak lanjutnya.
"Dalam waktu satu bulan mudah-mudahan akan ada jawaban statusnya. Dalam artian mana yang sudah dieksekusi, mana yang belum dalam satu bulan data-data kita peroleh, karena kita harus kroscek ke lapangan, ke daerah perkara ini tidak semua oleh Kejagung dan hasilnya akan kita sampaikan pada publik," paparnya.