Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah mengaku tidak kaget saat mendengar puluhan buruh pabrik kuali di Tangerang, disekap dan disiksa selama berhari-hari oleh majikannya.
Sebab menurutnya, selama ini pemerintah secara tidak langsung juga mendukung adanya praktik perbudakan tersebut, yakni dengan membuat berbagai kebijakan yang tidak pro kepada kepentingan buruh.
"Yang terjadi di Tangerang tidak mengagetkan, karena sistem ketenagakerjaan masih membuka peluang itu, dan tidak mengandung prinsip-prinsip iternasional yang mengadopsi hak asasi manusia," kata dia di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (10/5/2013).
DPR selaku lembaga pembuat undang-undang (UU), menurut Anis, juga masih terlalu berpihak kepada pemilik modal atau perusahaan. Sehingga kepentingan maupun hak-hak buruh seringkali terabaikan.
"Sampai hari ini keberpihakanya ke pemilik modal. Yang dominan di industrial kan kepentingan ekonomi. Itu yang selama ini diprioritaskan agar kebijakan-kebijakan tidak merugikan pemilik modal," tegasya.
Pemilik modal, sambung Anis, sah-sah saja menginginkan produksi barang secara besar-besaran, asalkan juga memperhatikan hak buruh.
Namun faktanya keuntungan pemilik modal berbanding terbalik dengan kesejahteraan para pekerjanya. "Contohnya perusahaan menerapkan outsourcing itu," tambahnya.
Anis berharap agar pemerintah dan DPR segera melakukan perubahan atau pengkajian ulang terhadap UU Ketenagakerjaan agar lebih berpihak kepada kepentingan para pekerja, bukan berpihak ke perusahaan.
"Revisi UU Ketanagkerjaan bagaimana benar-benar mengkonsolidasikan itu dengan buruh. Ini momentum besar. Kalau tidak dimanfaatkan ini menjadi watak negara kita yang hanya reaktif tapi tidak menjadikan momentum untuk memperbaiki," tandasnya.
(lam)
Sebab menurutnya, selama ini pemerintah secara tidak langsung juga mendukung adanya praktik perbudakan tersebut, yakni dengan membuat berbagai kebijakan yang tidak pro kepada kepentingan buruh.
"Yang terjadi di Tangerang tidak mengagetkan, karena sistem ketenagakerjaan masih membuka peluang itu, dan tidak mengandung prinsip-prinsip iternasional yang mengadopsi hak asasi manusia," kata dia di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (10/5/2013).
DPR selaku lembaga pembuat undang-undang (UU), menurut Anis, juga masih terlalu berpihak kepada pemilik modal atau perusahaan. Sehingga kepentingan maupun hak-hak buruh seringkali terabaikan.
"Sampai hari ini keberpihakanya ke pemilik modal. Yang dominan di industrial kan kepentingan ekonomi. Itu yang selama ini diprioritaskan agar kebijakan-kebijakan tidak merugikan pemilik modal," tegasya.
Pemilik modal, sambung Anis, sah-sah saja menginginkan produksi barang secara besar-besaran, asalkan juga memperhatikan hak buruh.
Namun faktanya keuntungan pemilik modal berbanding terbalik dengan kesejahteraan para pekerjanya. "Contohnya perusahaan menerapkan outsourcing itu," tambahnya.
Anis berharap agar pemerintah dan DPR segera melakukan perubahan atau pengkajian ulang terhadap UU Ketenagakerjaan agar lebih berpihak kepada kepentingan para pekerja, bukan berpihak ke perusahaan.
"Revisi UU Ketanagkerjaan bagaimana benar-benar mengkonsolidasikan itu dengan buruh. Ini momentum besar. Kalau tidak dimanfaatkan ini menjadi watak negara kita yang hanya reaktif tapi tidak menjadikan momentum untuk memperbaiki," tandasnya.
(lam)