Lagi, layar kaca dan headline koran-koran nasional dipenuhi dengan berita jatuhnya pesawat. Tentu tak hanya publik di tanah air yang memelototi berita tentang terceburnya pesawat Lion Air ke laut pada Sabtu kemarin, lantaran lokasi kecelakaan berada di Bali, sebuah pulau yang selama ini menjadi jujukan para turis manca negara.
Tak salah kiranya bila kemudian salah seorang anggota Komisi Perhubungan melontarkan statement insiden ini mencoreng wajah Indonesia di mata dunia internasional, meski Lion Air bukanlah maskapai nasional. Toh belakangan, lokasi jatuhnya pesawat menjadi destinasi wisata baru yang ditawarkan di Pulau Dewata.
Menilik jargon low cost carrier yang diusung sejumlah maskapai penerbangan di Tanah Air guna meraup sebanyak mungkin calon penumpang dan menangguk sebesar mungkin keuntungan, kiranya berita pesawat tergelincir di landasan pacu, jatuh, tercebur ke laut atau menabrak gunung akan terus bermunculan.
Tak perlu banyak analisis ilmiah disertai data-data berupa angka untuk mendukung kesimpulan di atas. Sebuah cerita dari Kota Pahlawan tentang tukang becak dan penumpangnya, yang selama ini sering dijadikan bahan guyonan, bisa dijadikan sebuah bahan renungan dibalik berjatuhannya burung-burung besi di langit nusantara.
Begini ceritanya. Syahdan, seorang ibu-ibu yang membawa barang belanjaan dari pasar minta diantarkan ke rumahnya oleh abang tukang becak. Sebelum tugas dilaksanakan, seperti biasa, terjadi tawar menawar harga antara calon penumpang dan pengayuh becak.
“Limang ewu buk (Lima ribu rupiah saja, Bu),” sebut abang tukang becak. “Wah larang tenan cak (wah mahal amat), wong cedek wae (kan dekat). Sewu wae (seribu saja),” jawab sang calon penumpang dengan nada ketus.
Tak mau terlibat perdebatan panjang yang melelahkan dan pastinya tak akan mengubah hasil akhir, sang abang becak pun dengan terpaksa menyepakati harga tersebut. Dengan wajah bersungut-sungut, becak pun dikayuh. Namun, karena rasa kesal ongkos mengantar terlalu murah, tukang becak pun membawa kendaraannya asal-asalan dan berkecepatan tinggi.
Begitu sampai di tikungan tak jauh dari lokasi keberangkatan, grubyak, becak pun terjungkal dan penumpang beserta isinya berhamburan. “Waduh, piye toh cak, kok ngawur ngowo becak’e. (Waduh, bagaimana sih, kok tidak hati-hati),” sembur si ibu sembari membetulkan bajunya yang berantakan setelah terjatuh.
“Lha, mbayar sewu kok pingin selamet, Bu. (Lha, bayar cuma seribu kok mau selamat),” jawab abang tukang becak dengan entengnya.
Begitulah, lagi-lagi harga memang tidak pernah bohong.
Memang publik menuntut maskapai penerbangan menawarkan harga murah dengan pelayanan lumayan. Namun, dalih ini tidak serta merta menggugurkan kewajiban mengantar penumpang selamat sampai tujuan. Faktor keamanan dan kenyamanan harus senantiasa dikedepankan.
Tak dapat dipungkiri adanya fakta bahwa banyak pilot dipaksa bekerja melebihi jam terbang, kemudian pesawat baru mendarat langsung diterbangkan kembali ke rute lain, karena kurangnya armada. Lalu, ban pesawat pun dibiarkan aus dengan alasan menekan ongkos operasional.
Dalam kaitan ini, pemerintah selaku regulator dunia penerbangan harus bertindak tegas menindak maskapai mana pun yang melanggar aturan, apalagi yang armadanya berjatuhan. Tanpa adanya ketegasan, pelanggaran akan terus bermunculan di mana-mana dan lagi-lagi korbannya adalah rakyat.
Jangan sampai insiden pesawat jatuh hanya dijadikan sequel drama yang menampilkan kisah-kisah dramatis evakuasi penumpang selamat, kemudian pemanggilan pihak maskapai oleh DPR untuk memberikan penjelasan, pengumuman hasil investigasi oleh KNKT, lalu diakhiri dengan penyerahan santunan kepada para korban. Sudah saatnya seremonial semacam ini diakhiri, publik butuh bukti bahwa pemerintah bisa tegas dengan menjatuhkan sanksi.
Tapi lagi-lagi mengandalkan pemerintah dan wakil rakyat saja tak akan banyak membuahkan hasil. Aksi nyata yang bisa dilakukan adalah memboikot maskapai penerbangan yang sering kecelakaan karena mengabaikan aturan. Bila tidak melakukan gerakan semacam itu, sampai kapan kita akan terus dibuat was-was atas ancaman jatuhnya si burung besi.