Entah apa yang salah dengan negeri ini! Ketika bangsa kita dihadapkan pada persoalan akut perihal anomali para pejabat, bersamaan dengan itu satu-persatu problem sosial bermunculan. Seakan tidak pernah habis, negeri ini terus saja digoncang peroblem pelik. Jika bukan bencana alam, datang dari arah lain berupa krisis sosial yang akut dan memilukan. Nampaknya, krisis multi aspek di negeri ini menjadi bom waktu yang setiap saat siap meledak.
Belum selesai pemberitaan tentang tragedi penyerangan kelompok bertopeng ke Lembaga Permasyarakatan (LP) Cebongan, Sleman yang merenggut empat nyawa tahanan setempat (23/3/2013). Sekarang publik disuguhi “tontonan baru” terkait peristiwa aksi anarkistis di Palopo, Sulawesi Selatan. Pasalnya, ratusan massa diketahui mengamuk dan membakar gedung-gedung perkantoran. Akibatnya, sejumlah gedung kepemerintahan menjadi sasaran amuk massa. Diantaranya, gedung Komisi Pemilihan Umum daerah (KPUD) setempat. Tak ketinggalan pula gedung Balaikota atau kantor wali kota rusak cukup parah. Ruangan Badan Kepegawaian Daerah (BKD), Satpol PP, dan Biro Hukum dibuat hangus terbakar.
Berdasarkan isu yang merebak, peristiwa memilukan tersebut ditenggarai kekecewaan massa atas pelaksanaan pemilihan wali kota (Pilwakot) setempat. Terlepas dari benar atau tidaknya, penulis rasa poin tersebut tidaklah begitu menarik untuk dicari tahu kebenarannya. Karena bagi penulis, persoalan di Palopo bukan sekadar persoalan dunia politik. Melainkan lebih mengarah pada persoalan mendasar perihal kesigapan negara dalam menyikapi setiap problem sosial yang melanda elemen masyarakat. Karena walau bagaimanapun, dua peristiwa anarkistis yang terjadi di LP Cebongan dan Palopo, Sulsel memberi indikasi kuat atas kian gentingnya kondisi bangsa. Terancamnya kesatuan, menggeliatnya konflik sosial, hingga pada amburadulnya peran negara dalam mengakomodir kebutuhan rakyat. Khususnya dalam bidang kesejahteraan dan keamanan.
Di satu sisi, ketika pesta rakyat menjadi suatu ajang konsep pelaksanaan demokrasi sebagai jembatan meletakkan kekuatan dominasi rakyat dalam struktural kenegaraan. Bersaman dengan itu, tak jarang posisi rakyat dijadikan objek vital kaum politisi, dimana keberadaan mereka kerapkali dibangun oleh sempalan-sempalan janji dan omong kosong belaka. Kehadiran partai politik sebagai salah satu media kekuatan rakyat kian jauh tak terlihat. Itu terjadi karena parpol-parpol yang sekarang hadir dihadapan kita tidak benar-benar mengakar dari rakyat. Melainkan lebih didasarkan pada kepentingan kelompok.
Pada sisi yang lain, eksistensi pemerintah yang sejatinya berperan memperjuangkan kepentingan dan hak rakyat nampaknya perlu dipertanyakan. Itu terjadi lantaran kian tarancamnya kondisi rakyat di bawah bayang-bayang konfrontasi sosial yang dari waktu ke waktu kian akut dan menakutkan. Kondisi demikian tentu jauh berseberangan dengan fungsi negara itu sendiri, di mana kita tahu kehadiran negara tidak lain adalah melaksanakan ketertiban untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat (negara sebagai stabilisator).
Sampai di sini, maka merupakan satu keniscayaan jika dalam demokrasi yang kita anuti selama ini terus saja digoncang berbagai persoalan akut, utamanya perihal polarisasi sosial yang kian hari keberadaanya kian akut. Kesadaran sosial yang tidak disertai oleh kuatnya sistem kenegaraan berubah menjadi suatu realitas menakutkan. Kompetisi kaum elit dan kaum kapital menjadi tontonan menarik hingga menuai banyak pasang mata. Bersamaan dengan itu, masyarakat menjadi bulan-bulanan. Bagaikan mesin, keberadaannya dimenfaatkan dan dieksploitasi oleh kekuatan-kekuatn para pejabat dan pelaku politik yang buta akan jabatan. Dihasut, diadu domba, bahkan digiring dengan iming-iming janji selangit. Namun setelah tujuannya tergapai, sekilat mungkin mereka menjauh dari jangkauan rakyat. Dan janji pun tinggal janji, sedangkan rakyat gelisah menanti.
Adalah merupakan kaharusan bagi pemerintah selaku aparatur negara untuk selalu menanamkan kepekaan mendalam, memberi perhatian lebih terhadap segenab lapisan rakyat. Jangan menutup diri, apalagi menutup mata. Lebih-lebih kita tahu, demokrasi merupakan satu wahana sistem kepemerintahan yang dalam dataran implementasinya menempatkan rakyat sebagai prioritas utama melebihi segala-galanya, sekalipun itu harus berhadapan dengan wewenang sang penguasa tertinggi. Presiden hanya kuli bagi rakyat, dan anggota dewa pun juga merupakan pelayan rakyat. Demokrasi adalah ajang dimana rakyat memiliki dominasi dan kekuasaan. Karenanya, dalam kondisi apapun rakyat harus diutamakan. Jangan sampai hak dan kepemilikan mereka diabaikan. Apalagi hingga dikebirikan.
Konsep dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat rasanya perlu dipertegas kembali. Jangan hanya sebatas baground belaka, namun perlu diintegrasikan pada dataran realitas sosial agar subtansi dan tujuannya tidak mengambang. Dewasa sekarang, rakyat terjepit dalam kondisi amat mengkhawatirkan, bukan saja perihal perekonomian mereka yang belum membaik. Melainkan lebih dikarenakan rasa keaamanan dan kenyamanan mereka yang kian terancam. Nampaknya, kesenjangan sosial dinegeri tidak saja mengakibatkan kemiskinan harta, namun terus menjalar hingga menyentuh pada sisi moral dan etika. Miskin identitas diri dan miskin kesadaran sebagai warga negara berbangsa.
Jika para pejabat harus bergelut dengan krisis identitas selaku wakil rakyat, maka lain halnya dengan rakyat. Rendahnya mutu kesejahteraan hidup yang diberikan negara mengharuskan masyarakat bergulat dengan himpitan kebutuhan hidup yang kian hari kian mencekik. Tidaklah berlebihan rasanya jika banyak orang mengatakan negeri ini adalah surga bagi kaum berduit, dan neraka bagi masyarakat bawah. Lantaran sulitnya mereka mendapati jaminan keselamatan diri, kesehatan, kenyamanan, ketentraman, lebih-lebih ketenangan.
Apalah artinya didirikannya NKRI Jika pada nyatanya polemik sosial tumbuh berkembang mewarnai bangsa. Sampai kapan bangsa ini menemukan kesejahteraan jika pada usianya yang sudah lebih setengah abad ini tetap saja digeluti oleh hegemoni kaum kapital, serta semakin menggemanya aksi anarkis disetiap sudut kota dan pedesaan. Jika bangsa kita terus saja dihadapkan pada situasi semacam ini, bukan tidak mungkin bila pada saat tertentu kepercayaan rakyat terhadap aparat negara akan memudar. Sampai disini, Saya mulai khawatir puisi romatika tentang demokrasi adalah isapan jempol semata. Tapi semoga saja tidak!
Belum selesai pemberitaan tentang tragedi penyerangan kelompok bertopeng ke Lembaga Permasyarakatan (LP) Cebongan, Sleman yang merenggut empat nyawa tahanan setempat (23/3/2013). Sekarang publik disuguhi “tontonan baru” terkait peristiwa aksi anarkistis di Palopo, Sulawesi Selatan. Pasalnya, ratusan massa diketahui mengamuk dan membakar gedung-gedung perkantoran. Akibatnya, sejumlah gedung kepemerintahan menjadi sasaran amuk massa. Diantaranya, gedung Komisi Pemilihan Umum daerah (KPUD) setempat. Tak ketinggalan pula gedung Balaikota atau kantor wali kota rusak cukup parah. Ruangan Badan Kepegawaian Daerah (BKD), Satpol PP, dan Biro Hukum dibuat hangus terbakar.
Berdasarkan isu yang merebak, peristiwa memilukan tersebut ditenggarai kekecewaan massa atas pelaksanaan pemilihan wali kota (Pilwakot) setempat. Terlepas dari benar atau tidaknya, penulis rasa poin tersebut tidaklah begitu menarik untuk dicari tahu kebenarannya. Karena bagi penulis, persoalan di Palopo bukan sekadar persoalan dunia politik. Melainkan lebih mengarah pada persoalan mendasar perihal kesigapan negara dalam menyikapi setiap problem sosial yang melanda elemen masyarakat. Karena walau bagaimanapun, dua peristiwa anarkistis yang terjadi di LP Cebongan dan Palopo, Sulsel memberi indikasi kuat atas kian gentingnya kondisi bangsa. Terancamnya kesatuan, menggeliatnya konflik sosial, hingga pada amburadulnya peran negara dalam mengakomodir kebutuhan rakyat. Khususnya dalam bidang kesejahteraan dan keamanan.
Di satu sisi, ketika pesta rakyat menjadi suatu ajang konsep pelaksanaan demokrasi sebagai jembatan meletakkan kekuatan dominasi rakyat dalam struktural kenegaraan. Bersaman dengan itu, tak jarang posisi rakyat dijadikan objek vital kaum politisi, dimana keberadaan mereka kerapkali dibangun oleh sempalan-sempalan janji dan omong kosong belaka. Kehadiran partai politik sebagai salah satu media kekuatan rakyat kian jauh tak terlihat. Itu terjadi karena parpol-parpol yang sekarang hadir dihadapan kita tidak benar-benar mengakar dari rakyat. Melainkan lebih didasarkan pada kepentingan kelompok.
Pada sisi yang lain, eksistensi pemerintah yang sejatinya berperan memperjuangkan kepentingan dan hak rakyat nampaknya perlu dipertanyakan. Itu terjadi lantaran kian tarancamnya kondisi rakyat di bawah bayang-bayang konfrontasi sosial yang dari waktu ke waktu kian akut dan menakutkan. Kondisi demikian tentu jauh berseberangan dengan fungsi negara itu sendiri, di mana kita tahu kehadiran negara tidak lain adalah melaksanakan ketertiban untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat (negara sebagai stabilisator).
Sampai di sini, maka merupakan satu keniscayaan jika dalam demokrasi yang kita anuti selama ini terus saja digoncang berbagai persoalan akut, utamanya perihal polarisasi sosial yang kian hari keberadaanya kian akut. Kesadaran sosial yang tidak disertai oleh kuatnya sistem kenegaraan berubah menjadi suatu realitas menakutkan. Kompetisi kaum elit dan kaum kapital menjadi tontonan menarik hingga menuai banyak pasang mata. Bersamaan dengan itu, masyarakat menjadi bulan-bulanan. Bagaikan mesin, keberadaannya dimenfaatkan dan dieksploitasi oleh kekuatan-kekuatn para pejabat dan pelaku politik yang buta akan jabatan. Dihasut, diadu domba, bahkan digiring dengan iming-iming janji selangit. Namun setelah tujuannya tergapai, sekilat mungkin mereka menjauh dari jangkauan rakyat. Dan janji pun tinggal janji, sedangkan rakyat gelisah menanti.
Adalah merupakan kaharusan bagi pemerintah selaku aparatur negara untuk selalu menanamkan kepekaan mendalam, memberi perhatian lebih terhadap segenab lapisan rakyat. Jangan menutup diri, apalagi menutup mata. Lebih-lebih kita tahu, demokrasi merupakan satu wahana sistem kepemerintahan yang dalam dataran implementasinya menempatkan rakyat sebagai prioritas utama melebihi segala-galanya, sekalipun itu harus berhadapan dengan wewenang sang penguasa tertinggi. Presiden hanya kuli bagi rakyat, dan anggota dewa pun juga merupakan pelayan rakyat. Demokrasi adalah ajang dimana rakyat memiliki dominasi dan kekuasaan. Karenanya, dalam kondisi apapun rakyat harus diutamakan. Jangan sampai hak dan kepemilikan mereka diabaikan. Apalagi hingga dikebirikan.
Konsep dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat rasanya perlu dipertegas kembali. Jangan hanya sebatas baground belaka, namun perlu diintegrasikan pada dataran realitas sosial agar subtansi dan tujuannya tidak mengambang. Dewasa sekarang, rakyat terjepit dalam kondisi amat mengkhawatirkan, bukan saja perihal perekonomian mereka yang belum membaik. Melainkan lebih dikarenakan rasa keaamanan dan kenyamanan mereka yang kian terancam. Nampaknya, kesenjangan sosial dinegeri tidak saja mengakibatkan kemiskinan harta, namun terus menjalar hingga menyentuh pada sisi moral dan etika. Miskin identitas diri dan miskin kesadaran sebagai warga negara berbangsa.
Jika para pejabat harus bergelut dengan krisis identitas selaku wakil rakyat, maka lain halnya dengan rakyat. Rendahnya mutu kesejahteraan hidup yang diberikan negara mengharuskan masyarakat bergulat dengan himpitan kebutuhan hidup yang kian hari kian mencekik. Tidaklah berlebihan rasanya jika banyak orang mengatakan negeri ini adalah surga bagi kaum berduit, dan neraka bagi masyarakat bawah. Lantaran sulitnya mereka mendapati jaminan keselamatan diri, kesehatan, kenyamanan, ketentraman, lebih-lebih ketenangan.
Apalah artinya didirikannya NKRI Jika pada nyatanya polemik sosial tumbuh berkembang mewarnai bangsa. Sampai kapan bangsa ini menemukan kesejahteraan jika pada usianya yang sudah lebih setengah abad ini tetap saja digeluti oleh hegemoni kaum kapital, serta semakin menggemanya aksi anarkis disetiap sudut kota dan pedesaan. Jika bangsa kita terus saja dihadapkan pada situasi semacam ini, bukan tidak mungkin bila pada saat tertentu kepercayaan rakyat terhadap aparat negara akan memudar. Sampai disini, Saya mulai khawatir puisi romatika tentang demokrasi adalah isapan jempol semata. Tapi semoga saja tidak!