Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Armida Salsiah Alisjahbana
Penerapan anggaran responsif jender masih terkendala rendahnya komitmen dan kapasitas pemimpin, baik di level nasional maupun daerah. Padahal, amanat itu telah ditetapkan melalui Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Jender dalam Pembangunan Nasional.
Di level kementerian, seturut data Kementerian Keuangan, pada 2010 hanya 12 dari 34 kementerian yang memiliki pagu anggaran responsif jender (ARJ). Pada 2013, jumlahnya meningkat menjadi 19 kementerian. ARJ adalah anggaran yang mengakomodasi keadilan bagi perempuan dan laki-laki dalam akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat pembangunan.
ARJ menjembatani kesenjangan status, peran, dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan. Dasar hukumnya, antara lain Inpres No 9/2000 tentang Pengarusutamaan Jender dalam Pembangunan Nasional, UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara, dan Perpres No 5/2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Armida S Alisjahbana menyampaikan, rendahnya komitmen pemimpin nyata dalam penyusunan perencanaan dan penganggaran responsif jender (PPRJ) yang dilakukan secara individual, bukan institusional. Penyusunan PPRJ diserahkan kepada satu atau dua pelaksana. Ketika mutasi, PPRJ macet.
"Perencanaan dan penganggaran responsif jender masih bersifat ad hoc," kata Armida di Jakarta, Selasa (5/3), saat peluncuran Strategi Nasional Percepatan Pengarusutamaan Jender melalui Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender.
Kapasitas sumber daya manusia, lanjut Armida, terutama di daerah, turut menjadi masalah. Kompetensi pelaksana PPRJ di satuan kerja pemerintah daerah (SKPD) kurang memadai. Ini terlihat pada ketidakjelasan tautan antara kegiatan dan indikator keluaran (output) serta dampak (outcome). Dalam beberapa kasus, analisis jender dan penyusunan PPRJ masih dilakukan pihak ketiga (fasilitator/konsultan). Skala prioritas nasional dan daerah juga belum terlihat, misalnya kesenjangan partisipasi pendidikan yang tajam antara laki-laki dan perempuan tidak menjadi pertimbangan penyusunan PPRG.
Untuk itu, penguatan dasar hukum pelaksanaan PPRJ diupayakan. Surat keputusan atau edaran gubernur bisa dijadikan sumber hukum penguat di daerah. Dalam jangka panjang, dibutuhkan peraturan daerah. "Penguatan kapasitas dilakukan dengan pelatihan terus-menerus tentang analisis jender dan ARJ," ujar Armida.
Selain itu, penyediaan data dan informasi terpilah yang menggambarkan status laki-laki dan perempuan di pelbagai bidang terus diperbarui. Ini untuk memudahkan intervensi program berbasis ARJ.
Sekretaris Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sri Danti mengatakan, PPRJ diharapkan melembaga. "Karena itu, kerja sama lintas sektor terus dikembangkan dan harus dikoordinasi dengan baik," katanya.
Stranas Percepatan Pengarusutamaan Jender melalui PPRJ ditandatangani empat menteri, yaitu Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Armida S Alisjahbana, Menteri Keuangan Agus DW Martowardojo, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda A Sari.
Di level kementerian, seturut data Kementerian Keuangan, pada 2010 hanya 12 dari 34 kementerian yang memiliki pagu anggaran responsif jender (ARJ). Pada 2013, jumlahnya meningkat menjadi 19 kementerian. ARJ adalah anggaran yang mengakomodasi keadilan bagi perempuan dan laki-laki dalam akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat pembangunan.
ARJ menjembatani kesenjangan status, peran, dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan. Dasar hukumnya, antara lain Inpres No 9/2000 tentang Pengarusutamaan Jender dalam Pembangunan Nasional, UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara, dan Perpres No 5/2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Armida S Alisjahbana menyampaikan, rendahnya komitmen pemimpin nyata dalam penyusunan perencanaan dan penganggaran responsif jender (PPRJ) yang dilakukan secara individual, bukan institusional. Penyusunan PPRJ diserahkan kepada satu atau dua pelaksana. Ketika mutasi, PPRJ macet.
"Perencanaan dan penganggaran responsif jender masih bersifat ad hoc," kata Armida di Jakarta, Selasa (5/3), saat peluncuran Strategi Nasional Percepatan Pengarusutamaan Jender melalui Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender.
Kapasitas sumber daya manusia, lanjut Armida, terutama di daerah, turut menjadi masalah. Kompetensi pelaksana PPRJ di satuan kerja pemerintah daerah (SKPD) kurang memadai. Ini terlihat pada ketidakjelasan tautan antara kegiatan dan indikator keluaran (output) serta dampak (outcome). Dalam beberapa kasus, analisis jender dan penyusunan PPRJ masih dilakukan pihak ketiga (fasilitator/konsultan). Skala prioritas nasional dan daerah juga belum terlihat, misalnya kesenjangan partisipasi pendidikan yang tajam antara laki-laki dan perempuan tidak menjadi pertimbangan penyusunan PPRG.
Untuk itu, penguatan dasar hukum pelaksanaan PPRJ diupayakan. Surat keputusan atau edaran gubernur bisa dijadikan sumber hukum penguat di daerah. Dalam jangka panjang, dibutuhkan peraturan daerah. "Penguatan kapasitas dilakukan dengan pelatihan terus-menerus tentang analisis jender dan ARJ," ujar Armida.
Selain itu, penyediaan data dan informasi terpilah yang menggambarkan status laki-laki dan perempuan di pelbagai bidang terus diperbarui. Ini untuk memudahkan intervensi program berbasis ARJ.
Sekretaris Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sri Danti mengatakan, PPRJ diharapkan melembaga. "Karena itu, kerja sama lintas sektor terus dikembangkan dan harus dikoordinasi dengan baik," katanya.
Stranas Percepatan Pengarusutamaan Jender melalui PPRJ ditandatangani empat menteri, yaitu Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Armida S Alisjahbana, Menteri Keuangan Agus DW Martowardojo, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda A Sari.