Mungkin nilai akademik di atas rata-rata. Karena saking cerdasnya sehingga tidak terima kalau tiba-tiba kita dibilang bodoh oleh seseorang. Namun begitu dangkalkah hati kita sehingga arti kecerdasan cukup dituang dalam coretan angka dalam selembar nilai akademik? Tentu Anda setuju bila tak hanya sesederhana itu. Cerdas punya cakupan yang lebih luas, yakni saat kita mampu meletakan jiwa, hati, nurani, dan otak pada tempat yang tepat dan sanggup mengoptimalkan fungsi kontrol semuanya pada gerak jasmani. Maka saat itu sulit rasanya kita untuk berbuat bodoh, tolol, dan ceroboh dalam kapasitas kita sebagai mahluk yang berakal dan cerdas.
Lewat buku ini penulis menyajikan kelakuan aku, kamu, dan dia. Kelakuan-kelakuan yang sebenarnya tak perlu dilakukan andai saja sedikit lebih cerdas. Ironisnya kita malah kelihatanya suka mengerami ke-bodoh-an ini sampai ‘menetas’ dalam perilaku yang membudaya pada keseharian tingkah kita.
Meskipun semua tema dan kisah dalam buku ini disampaikan dengan bahasa ala popcorn yang renyah dan ringan namun nilai filosofi dan kritik yang “diselundupkan” penulis tetap dalam dan tajam. Sehingga penulis berhasil menghantam tapi tak menyakitkan. Menelanjangi tapi tak menertawakan.
“The Chemistry of Rogohan: Rogoh Ngak Ya…?” adalah bentuk ke-bodoh-an pertama. Kalau aku bukan orang bodoh, tentu aku yang manusia, yang berhati dan berakal tidak begitu saja mau kalah telak dengan benda mati. Nyatanya, imanku luntur oleh rayuan benda dipangkal pahaku. Ia terus bergetar, merayu-rayu otakku untuk membela nafsu dan memukul nurani lalu menugaskan tangan untuk merogohnya, segera mengambilnya. Ya, dengan pura-pura tetap menyimak khutbah jum’at yang terus mengalir dari depan itu, dari atas mimbar itu, yang menyuarakan keimanan sebagai landasan keimanan, kuraba-raba HP BB-ku, kurogoh habis-habisan, kubuka BBM yang masuk, SMS yang nangkring, e-mail yang ngendon, dan tentu tak lupa ngecek akun twiter dan facebook, dong. Aku betul dilibas habis oleh benda mati bernama BB meski sedang di dalam masjid untuk salat Jum’at sekali pun. Sekali lagi, kalau bukan karena bodoh, karena apa lagi…? (hal.7-13).
“Gara-Gara Tak Ada Lampu di Otakku” adalah bentuk kebodohan berikunya. Bagaimana mungkin bisa kita dibilang tidak bodoh kalau tetap nekad melangkah di tengah gulita hutan tanpa lampu? Yakin, kalau tidak tersesat ya tergelincir! Dan kemunkinan itu akan lebih menyakitkan bila kita membiarkan lampu di otak kita padam. Perlu dicatat, satu-satunya musuh serius yang paling sering mampu memadamkan lampu di otak kita adalah emosi. Ini berarti wajib bagi kita menyelamatkan lampu itu dari ancaman emosional yang mampu memadamkan.
Saat emosi membunuh lampu itu, otak seketika gelap, tak lagi bisa berpikir dengan jernih, utuh dan positif. Tak ada kebaikan yang mempu masuk ke otak, sehingga serta-merta semua indera kita dikomando oleh hawa nafsu. Akibatnya kita tak lagi bisa membedakan hitam dan putih, benar dan salah. Maka, sangat penting bagi kita semua, jika sedang diterkam emosi jangan ambil sikap keputusan apa pun. Karena, kita baru tahu keputusan itu hitam atau putih, benar atau salah setelah lampu nyala lagi. Sayang, di antara kita masih lebih banyak yang gemar melanturkan langkah kendati kita tengah berada dalam kegelapan, yang seiring nyalanya lagi lampu di otak kita, lantas kita tersadar kalau sudah melakukan kesalahan, kebodohan, yang sudah menjadi bubur! Kalau ini bukan bentuk kecerobohan akibat kebodohan, lalu akibat apa lagi..? (hal.32-36).
Sementara pada “Republik Koplak” kita akan mengetahui bahwa ke-bodoh-an saat ini juga sudah merambah ke tingkat yang lebih tinggi dan parah levelnya, yang berarti pula akan berdampak (sangat) luas. Ya, koplak atau tindakan sangat bodoh ini dipentaskan oleh sesepuh negeri ini.
Bagaimana tiap hari kita disuguhi koplak kemunafikan para politisi yang piawai bersilat lidah layaknya pendekar, yang semuanya mengaku demi kesejahteraan, demi rakyat, tapi nyatanya hanya demi memperkaya diri sendiri dan kelompok.
Ini koplak banget!
Bagaimana mungkin simbol-simbol agama direduksi, kian sering dijadikan kendaraan politik, dijadikan topeng untuk membentengi kepentingan pribadi dan golongan…(hal.123-128).
Ini koplak banget!
Bagaimana mungkin itu semua bisa dilakukan oleh orang yang cerdas. Bagaimana mungkin itu bukan karena bodoh, ceroboh…Bagaimana mungkin…?
Akan banyak lagi kisah kelalukan-kelakuan buruk aku, kamu dan dia yang tertuang dalam buku ini. Ringkasnya, buku ini mengajak kita sejenak bercermin pada jejak-jejak yang sudah lewat untuk segera beranjak ke tempat yang lebih tepat dari sebelumnya
Lewat buku ini penulis menyajikan kelakuan aku, kamu, dan dia. Kelakuan-kelakuan yang sebenarnya tak perlu dilakukan andai saja sedikit lebih cerdas. Ironisnya kita malah kelihatanya suka mengerami ke-bodoh-an ini sampai ‘menetas’ dalam perilaku yang membudaya pada keseharian tingkah kita.
Meskipun semua tema dan kisah dalam buku ini disampaikan dengan bahasa ala popcorn yang renyah dan ringan namun nilai filosofi dan kritik yang “diselundupkan” penulis tetap dalam dan tajam. Sehingga penulis berhasil menghantam tapi tak menyakitkan. Menelanjangi tapi tak menertawakan.
“The Chemistry of Rogohan: Rogoh Ngak Ya…?” adalah bentuk ke-bodoh-an pertama. Kalau aku bukan orang bodoh, tentu aku yang manusia, yang berhati dan berakal tidak begitu saja mau kalah telak dengan benda mati. Nyatanya, imanku luntur oleh rayuan benda dipangkal pahaku. Ia terus bergetar, merayu-rayu otakku untuk membela nafsu dan memukul nurani lalu menugaskan tangan untuk merogohnya, segera mengambilnya. Ya, dengan pura-pura tetap menyimak khutbah jum’at yang terus mengalir dari depan itu, dari atas mimbar itu, yang menyuarakan keimanan sebagai landasan keimanan, kuraba-raba HP BB-ku, kurogoh habis-habisan, kubuka BBM yang masuk, SMS yang nangkring, e-mail yang ngendon, dan tentu tak lupa ngecek akun twiter dan facebook, dong. Aku betul dilibas habis oleh benda mati bernama BB meski sedang di dalam masjid untuk salat Jum’at sekali pun. Sekali lagi, kalau bukan karena bodoh, karena apa lagi…? (hal.7-13).
“Gara-Gara Tak Ada Lampu di Otakku” adalah bentuk kebodohan berikunya. Bagaimana mungkin bisa kita dibilang tidak bodoh kalau tetap nekad melangkah di tengah gulita hutan tanpa lampu? Yakin, kalau tidak tersesat ya tergelincir! Dan kemunkinan itu akan lebih menyakitkan bila kita membiarkan lampu di otak kita padam. Perlu dicatat, satu-satunya musuh serius yang paling sering mampu memadamkan lampu di otak kita adalah emosi. Ini berarti wajib bagi kita menyelamatkan lampu itu dari ancaman emosional yang mampu memadamkan.
Saat emosi membunuh lampu itu, otak seketika gelap, tak lagi bisa berpikir dengan jernih, utuh dan positif. Tak ada kebaikan yang mempu masuk ke otak, sehingga serta-merta semua indera kita dikomando oleh hawa nafsu. Akibatnya kita tak lagi bisa membedakan hitam dan putih, benar dan salah. Maka, sangat penting bagi kita semua, jika sedang diterkam emosi jangan ambil sikap keputusan apa pun. Karena, kita baru tahu keputusan itu hitam atau putih, benar atau salah setelah lampu nyala lagi. Sayang, di antara kita masih lebih banyak yang gemar melanturkan langkah kendati kita tengah berada dalam kegelapan, yang seiring nyalanya lagi lampu di otak kita, lantas kita tersadar kalau sudah melakukan kesalahan, kebodohan, yang sudah menjadi bubur! Kalau ini bukan bentuk kecerobohan akibat kebodohan, lalu akibat apa lagi..? (hal.32-36).
Sementara pada “Republik Koplak” kita akan mengetahui bahwa ke-bodoh-an saat ini juga sudah merambah ke tingkat yang lebih tinggi dan parah levelnya, yang berarti pula akan berdampak (sangat) luas. Ya, koplak atau tindakan sangat bodoh ini dipentaskan oleh sesepuh negeri ini.
Bagaimana tiap hari kita disuguhi koplak kemunafikan para politisi yang piawai bersilat lidah layaknya pendekar, yang semuanya mengaku demi kesejahteraan, demi rakyat, tapi nyatanya hanya demi memperkaya diri sendiri dan kelompok.
Ini koplak banget!
Bagaimana mungkin simbol-simbol agama direduksi, kian sering dijadikan kendaraan politik, dijadikan topeng untuk membentengi kepentingan pribadi dan golongan…(hal.123-128).
Ini koplak banget!
Bagaimana mungkin itu semua bisa dilakukan oleh orang yang cerdas. Bagaimana mungkin itu bukan karena bodoh, ceroboh…Bagaimana mungkin…?
Akan banyak lagi kisah kelalukan-kelakuan buruk aku, kamu dan dia yang tertuang dalam buku ini. Ringkasnya, buku ini mengajak kita sejenak bercermin pada jejak-jejak yang sudah lewat untuk segera beranjak ke tempat yang lebih tepat dari sebelumnya