Plathyhelminthes (Cacing Pipih) dan Ciri-cirinya-
Coba carilah hewan cacing, kemudian amati bentuk tubuhnya! Jika kita
memegangnya, tubuh cacing akan terasa lunak, tak bercangkang, dan bila
cacing tersebut dipotong menjadi dua, maka akan terbentuk dua potongan
yang sama, yaitu kiri dan kanan yang disebut simetris bilateral. Cacing ini hidup sebagai parasit pada organisme lain. Hewan ini termasuk triplobastik, yaitu memiliki tiga lapisan kulit, di antaranya adalah ektoderm, yaitu lapisan luar yang akan berkembang menjadi kulit, mesoderm, yaitu lapisan tengah yang akan menjadi otot-otot dan beberapa organ tubuh, ektoderma yaitu lapisan luar yang akan menjadi usus dan alat pencernaan.
Tahukah
Anda sebenarnya cacing mempunyai berbagai bentuk dan rongga tubuh.
Cacing ini dibagi menjadi tiga kelompok. Salah satunya adalah cacing
berbentuk pipih yang sering dinamakan Plathyhelminthes (plathy = pipih, helminthes = cacing). Sesuai dengan namanya, karena Plathyhelminthes
belum mempunyai rongga tubuh (selomata) sehingga bentuknya pipih
seperti daun/pita. Di manakah kita mendapatkan cacing pipih? Cacing
pipih dapat hidup di daerah sungai yang jernih dan di balik bebatuan, di
air laut pun cacing ini juga bisa hidup.
1) Ciri-Ciri Umum Plathyhelminthes. Bentuk kepalanya segitiga dan terdapat dua bintik mata yang peka terhadap cahaya yang sering disebut oseli, panjangnya sekitar 2-3 cm. Bagian tubuhnya dibagi menjadi bagian kepala (anterior), ekor (posterior), bagian punggung (dorsal), bagian perut (ventral), dan bagian samping (lateral).
Pada
saat Anda mengambil cacing tersebut, maka tampak hewan ini mengeluarkan
lapisan lendir yang licin di bawah tubuhnya. Bagaimana gerakan
tubuhnya? Cacing tersebut akan bergerak dengan cepat ke depan di atas
lendir dengan cara menggerak-gerakkan sejumlah besar silia yang ada di
permukaan ventral. Silia ini akan hilang pada waktu dewasa dan mempunyai
alat kait untuk menempel dan alat pengisap. Apabila terapung di air,
maka akan berenang dengan gerakan tubuh yang mengombak, yang sangat
memungkinkan untuk mencari makan secara aktif. Karena mempunyai mulut,
maka makanan masuk dalam mulut di permukaan ventral menuju ke rongga
gastrovaskular yang terletak di tengah tubuhnya yang terdapat usus-usus
bercabang-cabang membentuk saluran-saluran ke seluruh tubuhnya, sehingga
usus tersebut dapat berfungsi untuk mencerna makanan sekaligus untuk
mengedarkannya. Karena cacing ini tidak mempunyai lubang anus, maka sisa makanannya keluar melalui lubang yang menjadi jalan masuknya makanan.
Sama seperti Coelenterata,
masuknya oksigen dan keluarnya karbon dioksida pada Plathyhelminthes
melalui permukaan tubuhnya. Adapun sistem sarafnya karena sudah
mempunyai kepala sehingga mempunyai sistem saraf pusat, yaitu mempunyai
ganglion otak berjumlah sepasang yang dihubungkan dengan serabut saraf
menyerupai tangga yang terbuat dari tali dan dikenal dengan sistem saraf
tangga tali.
2) Perkembangbiakan Plathyhelminthes.
Anda sudah membuktikan bahwa cacing ini ternyata mempunyai daya
regenerasi sangat tinggi, yaitu dengan cara membelah diri. Cara demikian
merupakan cara reproduksi secara aseksual. Pembelahan tubuh dimulai
dengan penggentingan di belakang faring dan memisah menjadi dua hewan.
Dapat juga apabila dari satu individu dipotong menjadi beberapa bagian,
maka setiap bagiannya akan mampu membentuk individu baru.
Selain secara aseksual, cacing ini dapat pula berkembang biak secara seksual karena hewan ini pada umumnya bersifat hemaprodit (satu individu mempunyai dua alat kelamin), tetapi akan terjadi perkawinan silang.
3) Jenis-Jenis Cacing Plathyhelminthes. Cacing ini dibagi menjadi tiga kelas, yaitu Turbellaria, Trematoda, dan Cestoda.
a) Turbellaria. Kelompok cacing Turbellaria adalah cacing yang hidup bebas dan bergerak dengan bulu getarnya, contohnya Planaria. Cacing
ini dapat digunakan sebagai indikator biologis kemurnian air. Apabila
dalam suatu perairan banyak terdapat cacing ini, berarti air tersebut
belum tercemar karena cacing ini hanya dapat hidup di air yang jernih,
sehingga apabila air tersebut tercemar maka cacing ini akan mati.
b) Trematoda.
Jenis cacing Trematoda hidup sebagai parasit pada hewan dan manusia.
Tubuhnya dilapisi dengan kutikula untuk menjaga agar tubuhnya tidak
tercerna oleh inangnya dan mempunyai alat pengisap dan alat kait untuk
melekatkan diri pada inangnya. Contoh anggota Trematoda adalah Fasciola hepatica (cacing hati). Cacing ini hidup di hati ternak kambing, biri-biri, sapi, dan kerbau.
(1) Fasciola hepatica. Bentuk dari cacing ini sama dengan cacing pipih lainnya, yaitu seperti daun.
Cacing
hati mempunyai ukuran panjang 2,5–3 cm dan lebar 1–1,5 cm. Pada bagian
depan terdapat mulut meruncing yang dikelilingi oleh alat pengisap, dan
ada sebuah alat pengisap yang terdapat di sebelah ventral sedikit di
belakang mulut, juga terdapat alat kelamin. Bagian tubuhnya ditutupi
oleh sisik kecil dari kutikula sebagai pelindung tubuhnya dan membantu
saat bergerak. Cacing ini tidak mempunyai anus dan alat ekskresinya
berupa sel api. Bagaimana daur hidup cacing ini sehingga dapat mencapai
hati makhluk hidup?
Cacing
ini bersifat hemaprodit, berkembang biak dengan cara pembuahan sendiri
atau silang, jumlah telur yang dihasilkan sekitar 500.000 butir. Karena
jumlah telurnya sangat banyak, maka akan keluar dari tubuh ternak
melalui saluran empedu atau usus bercampur kotoran. Jika ternak tersebut
mengeluarkan kotoran, maka telurnya juga akan keluar, jika berada di
tempat yang basah, maka akan menjadi larva bersilia yang disebut mirasidium. Larva tersebut akan berenang, apabila bertemu dengan siput Lymnea auricularis akan menempel pada mantel siput. Di dalam tubuh siput, silia sudah tidak berguna lagi dan berubah menjadi sporokista. Sporokista dapat menghasilkan larva lain secara partenogenesis yang disebut redia yang juga mengalami partenogensis membentuk serkaria.
Setelah
terbentuk serkaria, maka akan meninggalkan tubuh siput dan akan
berenang sehingga dapat menempel pada rumput sekitar kolam/sawah.
Apabila keadaan lingkungan tidak baik, misalnya kering maka kulitnya
akan menebal dan akan berubah menjadi metaserkaria. Pada
saat ternak makan rumput yang mengandung metaserkaria, maka sista akan
menetas di usus ternak dan akan menerobos ke dalam hati ternak dan
berkembang menjadi cacing muda, demikian seterusnya.
(2)
Schystosoma japonicum. Cacing ini sering disebut cacing darah karena
hidup di dalam pembuluh darah balik atau vena pada manusia, kucing,
babi, sapi, biri-biri, anjing, dan binatang pengerat. Banyak dijumpai di
daerah Sulawesi.
Ukuran
cacing jantan lebih besar daripada cacing betina. Tampak tubuh cacing
jantan melipat menutupi tubuh cacing betina yang lebih ramping. Jika
cacing ini menulari manusia, maka akan menyebabkan penyakit schistosomosis yang
menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat terbesar di Asia dan
Afrika. Seseorang yang menderita penyakit ini akan mengalami kerusakan
hati, kelainan jantung, limpa, ginjal, dan kantung kemih. Daur hidup
cacing ini hampir sama dengan cacing hati. Telur yang dihasilkan akan
keluar dari tubuh inang, kemudian akan ikut bersama kotoran dan menetas
di dalam air. Oleh sebab itulah hendaklah kita minum air yang telah
direbus sampai matang agar terbebas dari telur cacing ini.
(3) Clonorchis. Cacing Clonorchis hidup dalam hati manusia, daur hidupnya hampir sama dengan Fasciola,
hanya inang perantaranya adalah ikan air tawar. Untuk menghindari
penyakit ini, masaklah ikan air tawar secara sempurna karena jika
terkena penyakit ini akan menyebabkan kerusakan hati yang dapat
menyebabkan kematian.
c) Cestoda.
Cacing ini dikenal sebagai cacing pita. Seperti cacing hati, cacing
pita bersifat sebagai parasit pada hewan dan manusia, jumlahnya sekitar
1500 species. Cacing ini membentuk koloni seperti pita sehingga
panjangnya bisa mencapai 20 m atau lebih. Tubuh kita dapat dimasuki
cacing ini apabila kita memakan ikan, daging sapi, anjing, atau babi
yang tidak matang. Jenis yang terkenal adalah Taenia saginata (inangnya hewan sapi) dan Taenia solium (inangnya hewan babi). Kulit Cestoda dilapisi kitin dan bagian tubuhnya terdiri atas kepala (skoleks)
yang berukuran sekitar 1 mm, yang terdiri dari 4 alat pengisap. Bentuk
tubuhnya terdiri atas segmen-segmen yang disebut dengan proglotid. Cacing ini tidak mempunyai saluran pencernaan. Apabila memperoleh makanan akan masuk ke dalam proglotid dengan cara diserap (diabsorbsi) dan
sistem saraf tidak berkembang. Setiap proglotid mampu bernapas dan
bereproduksi. Seperti cacing yang lain, cacing ini bersifat hemaprodit.
Semakin ke arah belakang, ukuran proglotid semakin besar dan dewasa, dan
pada bagian akhir/ujung berisi telur.
Perhatikan pula daur hidup cacing pita pada Gambar 8.24!
Daur
hidup cacing pita dimulai dari terlepasnya proglotid tua yang bersama
feses akan keluar dari tubuh manusia. Tiap proglotid berisi ribuan
telur. Tiap ruas pada proglotid akan hancur sehingga telur yang telah
dibuahi akan tersebar di mana-mana. Telur akan berkembang menjadi zigot
kemudian tumbuh menjadi larva onkosfer di dalam kulit telur. Apabila
tertelan oleh babi maka akan masuk dan dicerna oleh usus. Selanjutnya,
larva tersebut akan menembus pada pembuluh darah, pembuluh limfe, dan
akhirnya akan masuk pada otot lurik. Di sinilah larva tersebut berubah
menjadi kista yang makin lama makin membesar sehingga akan terbentuk
cacing gelembung (sistiserkus). Selanjutnya, dinding sistiserkus akan tumbuh menjadi skoleks.
Apabila
seseorang makan daging babi yang belum matang, kemungkinan besar
sistiserkusnya masih hidup sehingga di dalam usus manusia sistiserkus
akan tumbuh menjadi skoleks, dan menempel pada dinding usus. Dari leher
skoleks, akan muncul proglotid yang semakin lama semakin bertambah
banyak dan ukurannya semakin bertambah panjang. Proglotid pada bagian
akhir kemudian akan meloloskan diri dan keluar bersama feses manusia,
demikian seterusnya. Contoh di atas merupakan daur hidup pada Taenia solium dengan perantara babi, contoh perantara yang lain adalah sapi dengan melalui jenis cacing Taenia saginata. Perbedaan Taenia saginata dengan Taenia solium, yaitu hanya pada skoleksnya yang tidak mempunyai kait, cacing ini juga mudah diberantas.