Suara penyiarnya merdu sekali: “Musik indie menggeliat di Kota Pempek Palembang. Komunitas musik ini menandai kiprahnya dengan memproduksi karya-karya mereka sendiri tanpa tergantung pada perusahaan rekaman. Salah satu grup band bernama Ahiikoko punya pengalaman seram. Mereka merekam singel berjudul Moksa.”
Nayah muncul di layar berita. Rias make-up mencantikkan wajah bujur telurnya. Intonasi suara mendayu-dayu itu jelas terdengar di telinga. Tak ada tekanan berlebih pada kata kerja seperti yang sering jadi titik lemah pembawa acara baru.
Adegan beralih ke potongan gambar yang di-shooting kameraman. Sumber beritanya memberi penjelasan dari tepi jalan ramai. “Rekamannya dilakukan di studio Joni di kawasan Kertapati. Waktu selesai rekaman, eh di belakang suara vokal penyanyi, ada suara lain yang membuat teman-teman merinding,” cerita Botok, pemain bas Ahiikoko, yang identitasnya terbaca melalui credit tittle dalam gambar di layar.
Lalu muncul seorang perempuan berbusana dan berdandan aneh. Sosok itu terdiri dari rok mini, hem motif kotak lengan pendek, lipstik, maskara, eye-shadow, gelang besar di pergelangan tangan kiri, kalung rantai besar juga terjuntai di leher. Semuanya senada dengan pigmen kulitnya: serba hitam. Melihat perempuan itu, aku jadi teringat malam Jumat di tengah kuburan.
Nayah berbicara di latar belakang. Hanya berupa suaranya saja. Lantaran gambar terus menyorot si perempuan hitam. “Sementara Hilda Gothik, penyanyi latar lagu itu, membenarkan pendapat Botok. Selain mereka berdua, proses rekaman melibatkan Awang pada vokal, Pandu pada gitar, Paul pada biola, dan Sitol pada drum.”
Kehitaman itu rupanya punya nama. Seram juga. “Menurut Botok, entah itu suara apa, bunyinya halus,” kata si penyiar, Nayah, lagi.
Gambar kembali menampilkan Botok. Lelaki itu tampak kurus kurang makan dan bermata sayu mungkin kurang tidur. Yang berkomentar, “Seperti lagu yang dinyanyikan ulang dengan lirik terbalik, mulai dari belakang.”
Di studio, pengarah acara memindahkan sudut pandang. Kamera bergerak leluasa di sekujur wajah Nayah.
“Cerita menyeramkan itu tak mengurungkan niat Botok dan kawan-kawan merekam lagunya. Meski mereka berlima ketakutan, tapi singel Moksa akhirnya rampung juga. Kini, lagu itu terpajang di situs pertemanan Ahiikoko.”
Siaran berakhir.
Aku mencari tali gantungan.
«««
KUKAITKAN tali itu hingga menjuntai tergantung ke palang kayu. Setelah itu kutaruh kursi di bawahnya. Sementara di ambang jendela kamarku, muncul bayangan segitiga puncak gunung yang berwarna amat kelabu. Kelabunya hatiku, lalu berubah hitam. Beban ini sungguh berat!
“Aku mengenalmu sebagai seniman. Mana karyamu? Jangan mencuri ide orang lain! Apa kau sudah gila, melanggar etika?!” suara Mas Budi terngiang di ubun-ubun. Kurator galeri itu marah-marah lantaran ulah jahilku. Aku mencuri ide lukisan Leonardo da Vinci. Kulukis senyum misterius seorang wanita.
Padahal aku membayangkan Nayah. Tapi yang tampil di kanvasku, malah sosok Monalisa.
Aku mengangkat kursi. Menggenjot tubuhku ke atasnya, lalu berdiri di sana. Kuambil tali terjuntai. Menyimpulnya seperti lasso. Kukalungi tali itu ke leher. Tali terikat membekap leherku, kuat-kuat. Mataku terpejam. Diayun bayang terakhir Nayah yang bermain di pelupuknya.
Tombol handphone kupencet. Nomor telepon Nayah tersambung. Kami berbincang saling menanyakan kabar. Sudah lama nian sejak malam Jumat itu dulu. Sebelum dia jadi bintang televisi…
Gadis itu menyimpan taman di hatinya di mana ingin ditabur bunga. Tapi matahari tak bersinar, kembangku layu sebelum berbunga. Berkerumun bintang-bintang di atas kepala.
Nayah begitu manis. Hidupku terlalu pahit…
Ia sudah kuhubungi. Si cantik berjanji datang ke rumahku membawa kamera. Sambil tak lupa bertanya, “Berita heboh apa sih?” “Ini kejutan. Bukan surprise lagi kalau sekarang aku ngomong. Kamu mau datang, ‘kan?”
“Ya, pasti! Oh, liputan pertamaku. Selalu nikmat jadi yang pertama,” bibir renyahnya menutup telepon.
Tak terbayangkan nanti jika sorot kameranya mencapai tubuhku. Kuharap dia tidak terkejut. Aku mulai bernyanyi. Tapi lirik lagunya terbalik. Nyanyiku mendesir sampai jauh. Seandainya dia tahu, bibirku inilah yang mengiringi vokal penyanyi. Melantunkan lirik terbalik itu. Entah apa jadinya…
Sudah kutulis puisi untuk Nayah. Kertasnya kutaruh di atas meja. Tulisan terakhirku mungkin.
aku ingin jadi satelit
seperti bulan kepada bumi,
hanya untukmu, Nayah
KURSI kutendang. Rohku segera tercekat seolah mencelat terbang.
Jiwaku langsung terkatung bergantung seperti melayang di awang-awang. Kesadaran terasa menjauh. Jauh tinggi, ke tempat tak kasat mata itu berada.
Sekarang ada sebuah lubang hitam. Ragaku memasukinya. Di antara langit dan bumi, aku jadi bintang. Bintang terbelah, langit pun pecah. Tak bisa keluar lagi sebab tak mungkin.