Salah seorang pemeran utama wanita dalam Epos Lagaligo yang kurang terlihat peranannya dalam pemerintahan Kedatuan Luwu adalah We Tenriabeng (Tandiabe), saudari kembar Sawerigading. Permaisuri dari Remmang ri Langi alias Hulontalangi (Raja pertama Gorontalo) alias Tamboro Langi (Tokoh sejarah suku Toraja) ini, sesungguhnya pernah tampil sebagai Datu di Luwu, mengisi kekosongan kekuasaan Pasca Batara Lattu. Kekosongan kekuasaan terjadi karena Tana Luwu ditinggal pergi oleh Sawerigading, yang bersumpah tidak akan kembali lagi ke Tana Luwu.
La Galigo di Gorontalo
Legenda Sawerigading dan kembarnya, Rawe, adalah berkait rapat dengan pembangunan beberapa negeri di kawasan ini. Mengikut legenda dari kawasan ini, Sarigade (Sawerigading), putera Raja Luwu’ dari negeri Bugis melawat kembarnya yang telah hidup berasingan dengan orangtuanya.
Sarigade datang dengan beberapa armada dan melabuh di Tanjung Bayolamilate yang terletak di negeri Padengo. Sarigade mendapat tahu bahwa kembarnya telah menikah dengan raja negeri itu yaitu Hulontalangi. Karena itu bersama-sama dengan kakak iparnya, ia setuju untuk menyerang beberapa negeri sekitar Teluk Tomini dan membagi-bagikan kawasan-kawasan itu.
Serigade memimpin pasukan berkeris sementara Hulontalangi memimpin pasukan yang menggunakan kelewang. Setelah itu, Sarigade berangkat ke negeri Cina untuk mencari seorang gadis yang cantik dikatakan mirip dengan saudara kembarnya. Setelah berjumpa, ia langsung menikahinya.
Terdapat juga kisah lain yang menceritakan tentang pertemuan Sawerigading dengan Rawe. Suatu hari, Raja Matoladula melihat seorang gadis asing di rumah Wadibuhu, pemerintah Padengo. Matoladula kemudian menikahi gadis itu dan akhirnya menyadari bahwa gadis itu adalah Rawe dari kerajaan Bugis Luwu’. Rawe kemudiannya menggelar Matoladula dengan gelar Lasandenpapang.
Menurut masyarakat Gorontalo, nenek moyang mereka bernama Hulontalangi, artinya ‘pengembara yang turun dari langit’. Tokoh ini berdiam di Gunung Tilongkabila. Kemudian dia menikah dengan salah seorang perempuan pendatang yang bernama Tilopudelo yang singgah dengan perahu ke tempat itu. Perahu tersebut berpenumpang delapan orang. Mereka inilah yang kemudian menurunkan orang Gorontalo, tepatnya yang menjadi cikal bakal masyarakat keturunan Gorontalo saat ini.
Sejarawan Gorontalo pun cenderung sepakat tentang pendapat ini karena hingga saat ini ada kata bahasa Gorontalo, yakni ‘Hulondalo’ yang bermakna ‘masyarakat, bahasa, atau wilayah Gorontalo’. Sebutan Hulontalangi kemudian berubah menjadi Hulontalo dan akhirnya menjadi Gorontalo.