Mukadimah
Tulisan ini tidak membahas seorang individu melainkan fenomena yang melanda segelintir orang, namun karena mereka berada pada level strategis maka efek yang ditimbulkan sangatlah besar. Tulisan ini merupakan salah satu evaluasi terhadap sebuah Gerakan Da’wah yang menginjak fase mihwar siyasi di Indonesia. Allohuma inna na’uzubika min annusyrika bika syai’an na’lamuhu wanastaghfiruka lima la na’lamuhu.
Salah satu Rujukan Anismisme (memuja-muja terhadap harta)
Anismisme adalah pemikiran Anis Matta dalam buku ‘Dari Qiyadah untuk Para Kader’. Salah satu artikel dalam buku itu membahas Pandangan Islam terhadap Harta, artikel ini juga disampaikan dalam ceramahnya di Riau dimana rekaman dan artikel ceramah tersebut sudah beredar di beberapa blog internet. Bab ini tidak bermaksud menghakimi sebuah pemikiran dari Anis Matta melainkan mencoba mengambil hikmah atas pemikiran yang telah menjadi legitimasi sejumlah orang untuk melakukan berbagai manuver. Artikel tersebut sudah banyak dikritisi para asatidz, diantaranya ustadz Daud Rasyid dan Farid Nu’man. Berikut ini beberapa kalimat Anis Matta yang dikritisi:
“Kalau kita melihat mobil bagus, rumah bagus, hinggap sebentar di mobil itu, sapu baik-baik lalu berdoalah … saya lewat di depan sebuah rumah besar halamannya luas. Saya usap-usap itu temboknya. Alhamdulillah rumah itu menjadi rumah saya.”
“Apabila saudara antum punya mobil, antum jangan marah padanya. Jangan tanya uangnya dari mana. Jangan tanya seperti itu. Antum pegang mobilnya, usap-usap mobilnya.”
“Saya pernah naik private jet punya Abu Rizal Bakrie waktu itu jauh sebelum era partai karena saya suka ceramah di rumahnya. … Enak juga naik private jet. Saya berdo’a juga disitu. Saya juga ingin yang seperti ini karena enak. Syurga saja kita pinta apalagi seperti ini. … Sewaktu-waktu saya naik mobil Land Cruiser punya teman saya, mobil saya Kijang, Saya bilang mobilmu lebih enak dari mobil saya. Dia bilang kenapa. Saya bilang saya pikir mobil saya itu paling enak di muka bumi, ternyata mobil bapak lebih enak.”
“Muraqib Am ditanya oleh kader … “Ustadz Hilmi anggota dewannya sudah mulai pada borju semuanya.” Di jawab oleh Ustadz Hilmi mereka tidak borju cuma menyesuaikan penampilan dengan lingkungan pergaulannya.”
“Saya punya 1 halaqah anak-anak LIPIA. Mereka dari kampung, dari pesantren semuanya. Saya tahu mereka ini membawa background, psikologi orang kampung. Saya tanya nanti setelah selesai dari LIPIA mau kemana? Mereka bilang InsyaAllah kita mau pulang kampung mengajar Bahasa Arab di Ma’had. Suatu hari saya ajak mereka, hari ini tidak ada liqa’, tapi saya tunggu kalian di Hotel Mulia. Mereka datang pakai ransel diperiksa lama oleh security. Karena penampilannya sebagai orang miskin dicurigai membawa bom. Saya lihat dari atas. Itu masalah strata, kalau antum datang pakai jas dan dasi tidak ada yang periksa antum di situ. Kira-kira 2 jam mereka saya suruh di situ, mondar-mandir di lobby. Minggu depan saya tanya apa yang antum lihat disana. Orang lalu lalang, jawab mereka. Saya tanya, apakah ada satu orang yang lalu lalang yang antum lihat yang mukanya jelek, dia bilang tidak ada. Semuanya ganteng-ganteng semuanya cantik-cantik. Jadi ada korelasi antara wajah dan kekayaan, Makin kaya seseorang makin baik wajahnya.”
“Sering-seringlah datang ke tempat-tempat mewah … Jadi antum kalau punya waktu-waktu kosong jalang-jalanlah ke mall, lihat-lihat orang kaya tidak usah belanja, lihat-lihat saja dulu, memperbaiki selera. Datang ke showroom mobil, datang ke pameran mobil, lihat-lihat pegang-pegang. … Bergaullah dengan orang kaya.”
“Orang seperti Bill Gates punya kekayaan lebih dari 500 Trilyun. Itu hampir sama dengan 1 tahun APBN Indonesia. Orang seperti George Soros itu bisa memiskinkan 200 juta penduduk Indonesia. … Maka kita perlu memahami bahwa ada tiga panggung: panggung negara, panggung civil society dan panggung pasar. Dari 3 panggung ini, pasarlah yang mempunyai mekanisme bekerja paling efektif apabila dibandingkan mekanisme negara maupun mekanisme civil society. Itu sebabnya negara mengalami reduksi pada otoritas-otoritasnya disebabkan oleh tekanan pasar. … Kita lihat daerah kekuasaan kita, dakwah ini ke depan hanya bisa menekan, menguasai, mengendalikan situasi kalau kita punya orang yang terdistribusi secara merata, memimpin negara, memimpin civil society, dan memimpin pasar.”
Tanggapan atas point di atas:
Seorang dai harus mewarnai umatnya dengan sibghatullah bukan malah terwarnai. Ketika manusia menjadikan kekayaan sebagai orientasinya maka mereka dapat menghalalkan semua cara agar kaya, membelanjakan dengan bermewah-mewah, dan memandang hina orang miskin. Harta adalah alat penunjang kehidupan dan dibutuhkan dalam perjuangan. Islam diturunkan bukan untuk mengajari mencintai harta. Hanya syetan yang mengajarkan cinta harta. Tanpa diajaripun, harta secara naluri sudah dikejar manusia. Kedatangan Al Qur’an untuk mengingatkan manusia bahwa harta dapat melalaikan manusia dari Allah dan melupakan tujuan hidupnya yang hakiki, yakni akhirat. “Apakah kamu lebih suka pada kehidupan dunia ketimbang akhirat, maka tidaklah kesenangan hidup dunia di akhirat melainkan hanya sedikit” (At Taubah: 38). “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu” (At Takaatsur: 1). Yang seharusnya diajarkan kepada manusia adalah bagaimana mendapatkan harta dengan cara yang benar, dan bagaimana mengelola harta dengan cara yang benar agar tidak berubah menjadi fitnah.
Tidak ada ayat atau hadits yang menggesa manusia untuk mengejar harta dan kenikmatan dunia, apalagi dengan mengatakan “jangan tanya darimana sumbernya”. Ucapan itu biasa muncul dari golongan ‘Ahlud Dunia’ yang menutup mata terhadap subhat dan halal-haram. Saat Abu Hurairah ra diangkat menjadi wali (gubernur), beliau memiliki tabungan harta yang banyak. Mendapatkan informasi tentang hal itu, Amirul Mukminin Khalifah Umar bin al-Khaththab ra memanggil sang Gubernur ke Ibukota Negara Khilafah, Madinah. Sesampai di Madinah al-Munawwarah, Khalifah Umar ra berkata kepada sang Gubernur: “Hai musuh Allah dan musuh Kitab-Nya! Bukankah engkau telah mencuri harta Allah?” Gubernur Abu Hurairah ra menjawab: ”Amirul Mukminin, aku bukan musuh Allah dan bukan pula musuh Kitab-Nya. Aku justru musuh siapa saja yang memusuhi keduanya. Aku bukanlah orang yang mencuri harta Allah.” Khalifah Umar ra bertanya kepadanya: ”Lalu dari mana engkau mengumpulkan harta sebesar 10.000 dinar itu?” Abu Hurairah ra menjawab: ”Dari untaku yang berkembang pesat dan dari sejumlah pemberian yang berturut-turut datangnya.” Khalifah Umar ra berkata: “Serahkan hartamu itu ke Baitul Mal kaum Muslim.” Abu Hurairah ra segera memberikannya kepada Baitul Mal. (Abdul Mu’im Khafaji, Al-Islam wa an-Nazhariyyat al-Iqtishadiyyah. Beirut: Daar al-Kitaab al-Lubnani, 1973).
Tidak ada perintah untuk kaya, yang ada adalah memberi. “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (Ali ‘Imran: 92). Memberi tidak berarti harus menjadi kaya. Dari Abu Hurairoh bahwa Rasululloh saw pernah ditanya: sedekah apa yg paling mulia? Beliau menjawab: sedekah orang yang tak punya, dan mulailah memberi sedekah atas orang yang banyak tanggungannya (HR Ahmad dan Abu Dawud, shahih menurut Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Hakim).
Tidak ada perintah untuk kaya, yang ada adalah peringatan agar jangan terpesona oleh kemewahan orang kaya. “Karun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka. Maka keluarlah Karun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: “Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Karun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar”. Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: “Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang-orang yang sabar”.” (Al Qashash: 78-80).
Allah melarang hamba-Nya melirik kekayaan orang lain. “Janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir itu), dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka dan berendahdirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman.” (Al Hijr: 88). Memperhatikan kesenangan orang lain, kemudian menginginkan kekayaan yang dimiliki orang lain, berdasar perspektif Qurani adalah perbuatan tercela dan merusak muru’ah.
Kalau ada orang menceritakan dirinya mendambakan punya rumah mewah, kendaraan mewah, atau apa saja yang menyenangkan dari dunia, sebenarnya dia sedang menceritakan kelemahan dirinya, sekaligus menyingkap keruntuhan ma’nawiyahnya di hadapan orang lain. Apa lagi mengelus-ngelus mobil mewah dan rumah orang.
Kalau dibiarkan berlarut-larut, bukan tak mungkin manusia mengganti Tuhannya dari Allah menjadi hawa nafsu. Mengganti alhaq menjadi albatil. Terjemahannya dalam politik praktis: mengganti calon kepala daerah yang soleh tapi dananya terbatas, dengan calon yang koruptor asal uangnya banyak. Seperti logika yahudi yang meremehkan orang miskin menjadi pemimpin. “Nabi mereka mengatakan kepada mereka, Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu. Mereka menjawab, Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak? Nabi berkata, Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa. Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 247).
Jika pola pikir seperti ini tak pantas ada pada mukmin biasa, apalagi pada level seorang pemimpin (qiyadah). Seharusnya nasihat seorang pemimpin yang istiqomah ialah seperti nasehat Nabi saw kepada shahabatnya, Rasululloh saw bersabda: Demi Alloh, bukan kefakiran yang aku khawatirkan terhadap kalian, tapi yang aku khawatirkan adalah jika kekayaan dunia dilimpahkan kepada kalian sebagaimana telah dilimpahkan kepada orang-orang sebelum kalian, kemudian kalian akan berlomba-lomba mendapatkannya sebagaimana mereka berlomba-lomba dan akhirnya dunia itu akan membinasakan kalian sebagaimana ia telah membinasakan mereka (HR Muslim).
Nabi saw lebih khawatir umat ini terkena bahaya harta dan dunia daripada bahaya kekurangan dan kemiskinan.
Kompas.com pada Agustus 2008 memberitakan ‘Gara-gara Rp 20.000, Balita Meninggal.’ Balita itu bernama Nazar (anak dari Syafaruddin, Ketua Ranting PKS Barabaraya) meninggal di Puskesmas Barabaraya, Makassar. Nazar terlambat mendapat penanganan medis karena orangtuanya tidak sanggup menyiapkan Rp 20.000 untuk jasa medis di tempat tersebut. Sementara ada ikhwah da’iyah yang hidupnya lebih dari cukup. Itu baik dan tidak masalah, karena kita pun tidak membahas sepatu dan jam tangan yang harganya jutaan. Dan sama sekali tidak bermaksud MEMBEBANKAN atau MENYALAHKAN kematian balita tersebut adalah karena ketidakpedulian para qiyadah yang mendadak kaya raya. Sama sekali tidak.
Yang menjadi masalah ketika ia mengiklankan kemewahan, mengilustrasikan keunggulan mewah dan bukan sekedar bercerita kekayaan, yang mana itu ia lakukan disaat kader-kadernya yang lain hidup dalam serba 'kekurangan'. Ia hiasi dengan berbagai dalil dan alasan untuk melegitimasi perilakunya sendiri. Membicarakan pentingnya kaya, harta, kemewahan, dengan alasan maslahat da’wah dan sebagainya, karena ia sudah merasakannya. Kenapa hal itu tidak disampaikan di masa lalu ketika keadaan dia belum seperti sekarang.
Seandainya beliau adalah kader di ranting bawah, tentulah tidak menjadi masalah. Namun beliau adalah QIYADAH, seorang pemimpin, dan bahkan kini menjadi seorang presiden partai. Dan tentunya telah mengerti bagaimana perilaku para pemimpin dalam sejarah islam, mereka tetap hidup sederhana padahal Allah membukakan pintu-pintu kekayaan dari timur dan baratnya.
Alangkah baiknya jika kita diajarkan bagaimana menjadi hamba yang bersyukur terhadap kekayaan, bersabar atas kesulitan, agar kita menjadi pribadi yang mukhlis, bukan pribadi yang mengikuti kedudukan dan status sosial.
Islam tidaklah menganjurkan malas dan miskin. “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Al Qashash: 77).
Nabi saw punya rumah untuk berteduh, kendaraaan untuk berda’wah, baju zirah dan pedang untuk berperang. Nabi memilih yang sesuai kebutuhan dan tidak sekedar memenuhi keinginan. Sunnah Nabi kita ialah kaya tapi memilih untuk menyumbangkannya demi kejayaan Islam dan bukan mempertontonkannya dan bermewah-mewahan. “Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.” (Al Israa’: 18).
Khadijah seorang wanita kaya, kekayaannya ia gunakan untuk perjuangan suaminya, bukan dihabiskan untuk kenikmatan hidup. Jangan sekedar melihat besarnya mahar ketika mereka berdua nikah, tetapi lihatlah buat apa dan dikemanakan mahar tersebut, mahar tersebut tidak mengubah Rasulullah menjadi laki-laki yang mewah.
Mayoritas sahabat yang mubasyiruna bil jannah adalah orang kaya. Orang kaya yang bersyukur lebih utama dari orang miskin bersabar. Rasulullah saw pun berdoa berlindung dari kekafiran dan kefaqiran. Namun hakikat kekayaan adalah kaya jiwa. Kaya bukanlah mewah, walau ia bersumber dari satu hal yang sama yakni harta, tetapi ia berbeda secara nilai yakni mentalitas. Mentalitas aji mumpung; mumpung ada, mumpung menjabat, mumpung dekat dengan orang kaya. Rasulullah saw memegang kunci-kunci kekayaan, jika ia mau mudah sekali mendapatkannya. Tetapi ia amat sederhana.
Ada sudut pandang simplistis yang biasa dilontarkan manusia yang berideologi kekayaan dan kemewahan. Sudut pandang kesetaraan status dan kepantasan lingkungan, agar penerimaan dirinya di lingkungan yang baru bisa diterima dengan baik. Namun itu adalah sudut pandang materialis kapitalis. Terdapat Izzah dalam kesederhanaan. Kesederhanaan para da’i di lingkungan yang ‘tidak sederhana’ adalah hal yang istimewa, ia tidak tergoda dunia walau dunia mengejarnya. Ia nampak mampu mengendalikan dunia, dunia ada ditangannya bukan dihatinya. Jika ia anggota dewan, pejabat, petinggi Partai Da’wah, dahulunya adalah da’i yang sederhana, dan ia tetap sederhana di lingkungan yang ‘tidak sederhana’, maka ia seperti cahaya di tengah kegelapan, ia seperti keteladanan di zaman yang minim keteladanan. Allah akan mencintainya, dan manusia pun mengaguminya. Inilah sudut pandang yang seharusnya. Bukan justru latah, ikut-ikutan, sehingga tak ada bedanya dengan hamba dunia yang telah menzhalimi banyak orang.
Contoh yang jadi rujukan pun orang-orang kaya bermasalah, seperti penghutang Lapindo. "Orang kaya yang menunda-nunda (mengulir-ulur waktu) pembayaran hutangnya adalah kezaliman (HR Bukhari). Kenapa kesederhanaan Abu Dzar, kewara’an Abu Bakar, kezuhudan Umar, kedermawanan Utsman, dan keteguhan Ali, tidak menjadi rujukan? Kewibawaan mereka tidak berkurang, justru melambung tinggi. Itu mereka dapatkan bukan karena kekayaan dan kemewahan, tetapi keikhlasan, kesederhanaan, dan pengorbanan.
Dan sungguh dengan banyaknya uang yang dimiliki partai dan mempertontonkan 'kesuksesan' ketika menjadi pejabat publik, itu tidak akan membuat kalian berhasil menarik rasa simapati umat islam kepada partai kalian.
Abu Hurairah ra berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya, kalian tidak akan mampu menguasai manusia dengan harta kalian, tetapi kalian bisa menguasai mereka dengan wajah yang bersahaja dan akhlak yang baik” (HR. Abu Ya’la, dishahihkan Al Hakim, Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, Kitab Al jami’, Bab Targhib fi Makarimil Akhlaq, Cet 1, 2004m/1425H. Darul Kutub Al Islamiyah).
Utusan Romawi tatkala melihat Khalifah Umar bin Khattab tidur di bawah pohon tanpa istana dan pengawalan, berkata: “Kamu telah berlaku adil, maka kamu aman dan kamu bisa nyenyak tidur.” Khalifah Umar bin Khattab naik unta bergantian dengan pembantunya ketika berangkat ke Palestina untuk menerima kunci Baitul Maqdis, sehingga ketika sampai di pintu gerbang negeri itu, orang-orang malah mengelu-elukan pembantunya yang sedang dapat giliran naik unta sementara Umar yang menuntunnya. Ketika terjadi musim paceklik (tahun ramadah) pada 18H, banyak penduduk kelaparan sehingga amirul mukminin Umar ra membagikan uang dan makanan dari baitul mal sampai kosong. Beliau tidak makan makanan enak seperti lemak dan susu, beliau hanya makan minyak dan cuka sampai warna kulit beliau kehitaman dan tubuhnya menjadi kurus (baca detailnya di Al Bidayah Wan Nihayah, bab tentang Umar).
Dari Aisyah: “Tidak pernah keluarga Muhammad saw makan sampai kenyang dengan roti gandum untuk tiga malam berturut-turut sejak kedatangan mereka di Madinah hingga wafatnya” (HR Muslim).
Umar menemui Rasul saw yang sedang berbaring diatas sebuah tikar sehingga terlihatlah bekas tikar tersebut di tubuh beliau saw. Di kamar beliau saw hanya terlihat segenggam gandum sekitar satu sha dan daun penyamak kulit serta sehelai kulit binatang yang belum selesai disamak. Umar menangis sehingga membuat Rasul saw bertanya. Jawab Umar: “Bagaimana aku tidak menangis, tikar itu membuat bekas di tubuhmu, dan kamar ini tidak kulihat yang lain selain yang telah kulihat. Sementara kaisar Romawi dan kisra Persia bergelimang buah dan sungai, sedang engkau adalah utusan Alloh dan hamba pilihanNya berada dalam kamar pengasingan seperti ini.” Rasul saw bersabda: “Wahai putra Khattab, apakah kamu tidak rela jika akhirat menjadi bagian kita dan dunia menjadi bagian mereka” (HR Muslim).
Ketika Hasan Al-Banna berpergian untuk berdakwah, ada orang yang mengenalinya naik kereta kelas tiga. Sebagai pemimpin tertinggi jamaah Islam yang besar, rasanya tak pantas beliau naik kereta kelas kambing. Orang itu bertanya, mengapa naik kelas tiga? Beliau hanya tersenyum dan menjawab, karena tidak ada kelas yang lebih rendah lagi.
Begitu juga Ismail Haniya, PM Palestina yang saya jadikan cover artikel diatas, beliau hidup dengan sangat sederhana sedangkan BANTUAN UNTUK PALESTINA milyaran rupiah diberikan kepada mereka setiap tahunnya. Maka bagaimanakah dengan pemimpin jamaah kita?
Begitu juga Ismail Haniya, PM Palestina yang saya jadikan cover artikel diatas, beliau hidup dengan sangat sederhana sedangkan BANTUAN UNTUK PALESTINA milyaran rupiah diberikan kepada mereka setiap tahunnya. Maka bagaimanakah dengan pemimpin jamaah kita?
Zuhud bukanlah cinta miskin, melainkan cinta kesederhanaan. Dari Sahl bin Sa’ad ra dia berkata: “Datang seorang laki-laki kepada Nabi saw, dia berkata: “Wahai Rasulullah tunjukkanlah kepadaku amal yang jika aku lakukan maka Allah dan manusia akan mencintaiku. ” Maka Ia bersabda: “Zuhudlah pada dunia niscaya Allah akan mencintaimu, dan zuhudlah terhadap apa-apa yang ada pada manusia, niscaya manusia akan mencintaimu” (HR Ibnu Majah, sanadnya hasan. Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, Kitab al Jami’ Bab Zuhd wal Wara’, Cet 1, 2004M/1425H. Darul Kutub Al Islamiyah).