Tuesday, May 12, 2015

HARI-HARI TERAKHIR KEPERGIAN HASRI AINUN HABIBIE

BJ Habibie saat peletakan batu pertama pembangunan Gedung Serbaguna Ainun Habibie, Selasa 12 Mei 2015

Waktu sudah menunjukkan pukul 18.00 menjelang malam, pada suatu sore bulan Maret 2010. Rombongan Pak Habibie sekeluarga yang akan berangkat ke Muenchen Jerman sudah lengkap dalam ruangan tunggu VIP Bandara Soekarno Hatta. Pak Habibie terlihat masih asyik berbincang-bincang dengan Duta Besar Jerman di Jakarta disisi kiri ruangan VIP, sementara Ibu Ainun, keluarga, putra-putri serta cucu berada di sisi kanan ruangan, juga masih asyik bercengkerama. Suasana tampak ceria, penuh canda, tidak ada tanda-tanda kesedihan.

Tiba waktunya salah seorang petugas melapor bahwa waktu boarding sudah tiba dan rombongan dipersilakan menuju ke bus yang akan membawa rombongan menuju tempat parkir pesawat di apron. Sejenak suara hiruk pikuk dan canda terdengar berhenti. Semua rombongan dan pengantar yang memenuhi ruangan VIP beranjak ke luar dan bersiap-siap mengucapkan selamat kepada Pak Habibie dan Ibu Ainun yang akan berangkat.

Satu persatu rombongan keluarga dan pendamping menuju pesawat melalui pintu detektor. Pak Habibie menghentikan langkah sesaat menunggu Ibu Ainun untuk jalan beriringan menuju bus. Tidak berapa lama, Ibu Ainun tampak melangkah sendiri menuju pintu detector. Tekesan ia tidak mengindap penyakit apapun, sebagaimana yang ramai dibicarakan saat itu. Tidak ada orang yang berada disisinya, tidak ada orang yang memapahnya. Ia berjalan santai dan tidak ada beban apa-apa terlihat pada wajahnya.

Satu persatu pengatar disalaminya, Pak Habibie saya lihat juga sibuk menerima ucapan selamat jalan dari para pengatar. Kepada setiap orang ia bisikkan lirih : “ Doakan ya doakan “.

Hal seperti ini, tidak biasanya terjadi. Tidak ada keceriaan yang tampak pada wajahnya. Saya segera maklum bahwa permintaan Pak Habibie untuk berdoa itu, ditujukan untuk Ibu Ainun isterinya yang kali ini akan menjalani perawatan di Muenchen .

Sehari sebelumnya tidak ada rencana keberangkatan pada sore itu menggunakan pesawat Lutftansa langsung ke Muenchen. Pasangan suami isteri yang rukun ini bahkan sudah merencanakan jauh sebelumnya untuk berangkat ke Singapura kemudian dengan Kapal Samudra Queen Victoria berlayar menuju kebeberapa negara Asia dan sekitar beberapa minggu kemudian baru tiba di Jerman. Tetapi rencana perjalanan yang dijadwalkan setahun sebelumnya itu tiba-tiba buyar. Dan itu bagi Pak Habibie sebuah mukjizat. Kenapa tiba-tiba ia mempunyai firasat meminta istirinya Ainun untuk mengecek kesehatan dengan peralatan MRI hari terakhir sebelum berangkat. Kenapa mereka mujur mendapatkan tiket pesawat berombongan dalam dadakan hanya 6 jam sebelum pesawat Lufthansa take off ke Muenchen hariitu? Padahal pesawat Lufthansa yang terbang ke Muenchen pada sore itu, jauh hari sudah fully book. Kenapa ada dua orang warganegara Jerman yang siap terbang dalam kelas Eksekutif, bersedia membatalkan keberangkatannya dalam hitungan menit terakhir dan menyerahkan tempat duduk yang sudah menjadi haknya ? Hanya karena Perwakilan Lutftansa di Jakarta sehari sebelumnya mengumumkan kepada calon penumpang kelas eksekutif , bahwa mereka kehabisan tempat duduk untuk minimal dua orang. Salah seorang diataranya menderita penyakit akut dan memerlukan segera tiba di Muenchen untuk pendapat perawatan intensif. Mungkin nama mereka disebut kepada calon penumpang tersebut ? Nama mereka pasti dikenal mereka, tetapi itu masalah empati dan etiket yang tidak asing baginya yang pernah hidup di negaraBarat selama bertahun-tahun.

Namun semua itu bagi Pak Habibie tetap sebuah mukjizat, serentetan faktor kebetulan yang jika diadu dengan nalar, kadang-kadang tidak bisa terjawab secara rasional.

Pesawat akhirnya tiba di Muenchen lebih cepat dari jadwal rutin, karena beberapa jam sebelum tiba, isi tabung oksigen dalam pesawat yang membantu pernafasan Ibu Ainun pada separuh perjalanandari Jakarta telah habis. Tindakan darurat dilakukan oleh Kapten Pilot menambah kecepatan pesawat agar lebih cepat sampai. Kemudian setelah turun dari pesawat Ibu Ainun sudah ditunggu ambulance yang membawanya segera ke rumah sakit.

Sesudah hari itu, keluarga Habibie di Jakarta selama sebulan berada pada sebuah suasana yang tidak menentu. Hampir setiap hari, terkirim berita dari Munchen mengabarkan jika Ibu Ainun sudah menjalani operasi penyakit kanker dan berhasil baik, “ tetap doakan” bunyi sms yang dikirim melalui hand phone Pak Habibie dari Muenchen . Selang beberapa hari, berita dari Muenchen datang lagi mengabarkan operasi kedua sudah dilaksanakan, mohon tetap berdoa. Sehari sesudah itu, dikabarkan operasi ketiga harus dilakukan, karena sel kanker ditemukan lagi pada bagian yang lain. Sampai akhirnya dalam satu bulan Ibu Ainun sudah menjalani duabelas kali operasi, melewati hari demi hari dan jam demi jam serta detik demi detik yang mencekam, bagi keluarga di Indonesia.

Saya mulai bertanya dalam hati, apa sebetulnya yang terjadi di sana? Ya Allah berikanlah apa yang terbaik bagi Ibu Ainun. Jawaban pertanyaan yang saya tujukan kepada diri saya itu kemudian saya temukan juga. Ternyata menjelang operasi ketigabelas dan saat-saat yang paling memilukan dan memerlukan ketabahan luar biasa bagi Pak Habibie, terjadi pada tanggal 22 Mei 2010, pukul 17.10 waktu setempat. Ketika itu Pak Habibie dan semua keluaraga sudah berkumpul di ICCU, suasana hening. Pukul 17.20 ketua tim dokter masuk ke ruangan melangkah ragu-ragu menemui Pak Habibie . Rupanya dokter itu tanpa kemauannya sudah bertindak bagaikan malaikat yang menyampaikan kabar dan berita penentu mengenai ajal seseorang. Ketika semua usaha manusia siapaun dan akhli apapun, tidak bisa melawan sunatullah dan rekayasa Allah. Momen yang sangat dramatis itu ditulis oleh Pak Habibie ketika berhadapan dengan tim dokter, sbb : “ Matanya memandang ke mata saya, sambil mengangguk memberikan tanda detik-detik terakhir Ainun di dunia kita dan Ainun sebentar lagi pindah ke alam dan dimensi lain” : Isyarat dokter itu segera dipahami Pak Habibie dan dengan perasaan getir, ia mendekatkan mulut ketelinga isterinya serta membisikkan berkali-kali : “ Asyhadu anlaa ilaaha illallaah wa asyahadu anna Mummadar Rasulullaah”. Tepat pukul 17.30 waktu Muenchen Ainun dengan tenang dan damai pindah kealam dimensi lain………….” .

Inilah sekelumit kejadian yang sebagian saya angkat dari buku “ Habibie & Ainun” ( hal 195) , buku yang ditulis sendiri oleh Pak Habibie untuk isterinya. Pernyataan dan kisah yang jujur ditulisnya dan juga sebagai terapi untuk memberikannya ketegaran menjalani hidup setelah ditinggal oleh isteri yang sudah menjadi “sebagian jiwa dan hidupnya ”. Pak Habibie sangat terobsesi mempromosikan buku ini karena hasil penjualannya akan disumbangkan total kepada yayasan sosial dan kemanusiaan yang telah didirikan isterinya “guru kehidupan itu”

PEMBELAJARAN IPA DI LUAR KELAS

IPA merupakan salah satu Mata Pelajaran yang mempunyai ruang lingkup sangat luas. Di dalam IPA dipelajari tentang sesuatu yang berhubungan ...