Judul di atas merupakan benang merah tayangan dalam salah satu program di stasiun televisi swasta kita yang jam tayangnya pada siang hari. Kisah-kisah anak manusia yang bernasib kurang mujur disajikan ke pemirsanya dengan bahasa dan bungkus yang memilukan. Seperti contohnya pada tayangan yang berjudul “Gagal Menikah, Anakku Menjadi Gila”. Pada episode itu dikisahkan tentang seorang gadis lugu bernama Unyi yang bertahun-tahun hidup dalam pasungan. Jiwanya terganggu setelah dikhianati sang kekasih. Sehari-hari Unyi dipenjara dalam kandang yang terbuat dari bambu oleh keluarganya.
Kepingan-kepingan nasib buruk tersebut diolah oleh pihak produser untuk mendapatkan nilai jual. Pemirsa disuguhkan aneka kisah getir yang membalut kemiskinan seputar kehidupan sehari-hari yang dikemas dalam suasana filmis dan alur yang menjuntai. Agar berkesan lebih dramatis, dilengkapi pula dengan adegan-adegan reka ulang yang diperankan oleh model. Semua yang dieksploitasi tentang nasib yang mendera anak manusia dengan segala masalahnya, seperti: cacat fisik, kesulitan ekonomi atau penindasan. Kebanyakan yang menjadi obyek adalah masyarakat kelas bawah di daerah pinggiran dan kumuh.
Semua itu tentu saja untuk kepentingan mengejar rating dan perolehan iklan. Mendulang iklan dengan jalan menayangkan kisah-kisah orang miskin bernasib malang, sebenarnya sah-sah saja sepanjang dilakukan secara proporsional dalam arti tidak ada pihak merasa dirugikan.
Tapi kalau mau lebih arif, kalimat “orang-orang pinggiran” sebenarnya menyimpan pandangan subyektif apalagi dengan kemasan yang memilukan dan seakan-akan dunia ini begitu kejam termasuk tak mau berpihak dengan orang-orang pinggiran itu.
Saat banyak kenyataan tragis seputar nasib kehidupan ini, dengan mudah orang bilang: dunia ini kejam. Dunia ini ibarat perahu besar yang sarat penumpang dengan takaran nasib berbeda-beda. Bahagia dan derita senantiasa mengiringi perjalanan hidup seseorang. Pertanyaannya, kenapa bisa menderita, miskin dan terpinggirkan?
Tentu banyak faktor yang menyebabkan orang menderita. Selain faktor nasib, sesungguhnya penyebab penderitaan bisa diretas secara jelas. Dan jika kita mau jujur, penderitaan seseorang sesungguhnya lebih sering dipicu oleh kekejaman sesama, bukan kekejaman dunia. Secara individu, seseorang bisa menderita akibat perilaku dan kekejaman orang lain. Ada pihak yang tega merampas kebahagiaannya, bisa sahabat, musuh, bahkan saudara. Dalam lingkup global, bisa menderita akibat ketidakadilan yang diterimanya.
Contoh keluarga Unyi di atas disebabkan oleh perilaku orang lain yang tak bertanggung jawab dan tega berbuat kejam. Tayangan penderitaan itu sesungguhnya diangkat dari fakta perih kehidupan manusia ketika harus berhadapan dengan nasib buruk. Bagi pemirsa yang paham, tayangan ini bisa dijadikan sarana pembelajaran untuk waspada terhadap kemungkinan munculnya nasib buruk dalam kehidupan ini. Syukurlah bila bisa menyadarkan semua pihak untuk tidak berbuat kejam pada sesama atau membuat orang lain menderita. Karena tentunya semua perbuatan itu tetap dilihat oleh Allah SWT, meski pun kita mengingkarinya.
Tetapi kita tidak bisa berharap terlalu banyak terhadap peran televisi untuk mengubah karakter atau menyadarkan masyarakat yang sering membuat orang lain menderita itu. Televisi bukanlah lembaga pendidikan, meskipun dalam programnya dapat dimasuki unsur pendidikan. Televisi merupakan alat kapitalisme untuk mengejar profit. Lewat media televisi para kapitalis berusaha menampilkan apa saja yang bisa dijual, termasuk kemiskinan yang kekejaman itu
http://www.attasites.com/populer/2642-amel-alvi-bantah-foto-bugil-dirinya.html
http://www.attasites.com/populer/2642-amel-alvi-bantah-foto-bugil-dirinya.html