Sunday, February 17, 2013

Korupsi dan Elektabilitas Partai Politik

Untuk mencegah dan menekan kemungkinan meluasnya praktik korupsi di tubuh parpol mendekati pemilu 2014, butuh langkah progesif dan jurus tertentu. Misalnya, memperluas jaringan dari warga kampus, LSM, media massa, dan organisasi masyarakat lainnya untuk aktif mengawasi dan menginvestigasi penyusunan dan pembahasan anggaran di DPR dan DPRD.

Korupsi di negeri ini bukan hanya sistemik dan masif, tetapi semakin liar tak terkendali. Para elit partai politik (parpol) terus bertumbangan lantaran diduga terkait korupsi. Lihat saja, Presiden (mantan) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang juga anggota Komisi-I DPR, Luthfi Hasan Ishaaq diciduk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus suap proyek inpor daging sapi. Luthfi ditahan sesaat setelah tiga orang lainnya tertangkap tangan memberikan uang suap sebesar Rp 1 miliar kepada orang yang diduga kepercayaan Luthfi.
       Rupanya prediksi pengamat bahwa tahun 2013 menjadi tahun saling mengungkap korupsi, mulai terbukti. Salah satu pemicunya karena para elit dan kader parpol mulai mencari logistik untuk kepentingan pemilihan umum (pemilu) tahun 2014. Mereka berlomba mencari dana yang akan digunakan untuk membiayai sosialisasi diri dan partainya dengan berbagai cara. 
Konsistensi KPK 
       Kita patut mendukung langkah KPK yang tidak terpengaruh pada posisi seseorang. Konsistensi, independensi, profesionalitas, dan keberanian KPK mengungkap kasus korupsi yang melibatkan elit politik dan kekuasaan, bukan tanpa garansi. KPK diberi wewenang luar biasa, sehingga KPK tidak boleh terbelenggu oleh kepentingan politik, sebab hampir semua pelaku korupsi selalu terkait dengan dunia politik.
       KPK harus cepat bertindak mengungkap dugaan korupsi yang mendera pimpinan parpol. Jika tidak, bisa menimbulkan fitnah dan penafsiran macam-macam. Kenapa KPK pada kasus yang membelit mantan Presiden PKS begitu cepat, sementara yang lain lamban. Tidak tertutup kemungkinan publik mencurigai ada kendali dari luar, apakah KPK sudah mentok pada kasus Wisma Atlet, Hambalang, dan Bank Century. 
       KPK harus lebih garang menggiring elit politik korup ke ruang pengadilan. Dalam kasus Hambalang, Ketua KPK Abraham Samad pernah menyatakan akan mengungkap semua elit yang diduga terlibat. Caranya, memperdalam penyelidikan pengurusan sertifikat tanah dan dugaan aliran dana proyek kepada oknum tertentu saat pelaksanaan Kongres Partai Demokrat. 
       Untuk mencegah dan menekan kemungkinan meluasnya praktik korupsi di tubuh parpol mendekati pemilu 2014, butuh langkah progesif dan jurus tertentu. Misalnya, memperluas jaringan dari warga kampus, LSM, media massa, dan organisasi masyarakat lainnya untuk aktif mengawasi dan menginvestigasi penyusunan dan pembahasan anggaran di DPR dan DPRD. Sebab menggunakan hukum normatif dan prosedur formil acapkali sulit menyentuh para aktor koruptor. 
       Gagasan dan kerja keras harus terus ditumbuhkan, negeri ini tidak boleh kalah dari akal bulus para koruptor dan kroninya yang boleh jadi bersarang di sejumlah parpol dan akan selalu mencari celah. Jika kita terus berdebat dalam menafsirkan pasal perundang-undangan dan prosedur formal saja, kita tidak akan pernah memenangkan perang. 
       Apalagi para koruptor punya seni tersendiri dalam melakukan aksinya. Mereka begitu lihai, canggih, bahkan bahu-membahu dengan membentuk mafia yang terorganisasi rapi. Tidak mudah menyentuh aktor intelektual dan pemeran utama, paling hanya menyentuh pelaku figuran. Jika pun kewenangan menyadap KPK masih kokoh, tetapi yang dapat dijaring hanya penyuap dan penerima suap yang tidak terlalu besar jumlahnya. Malah sudah mulai diakali, transaksi tidak lagi melalui telepon tetapi menggunakan kurir dan cash and cary yang sulit dideteksi.
Elektabilitas 
       Kasus dugaan korupsi yang melanda sejumlah tokoh parpol, setidaknya memengaruhi tingkat elektabilitas (keterpilihan) parpol. Misalnya, elektabilitas Partai Demokrat terus merosot menjadi hanya 8,3% sesuai survei Saiful Mujani Research Consulting  (Suara Merdeka,6/2/2013). Begitu pula PKS menurun hanya 2,9%, sedangkan Partai Golkar menempati urutan teratas sebesar 21%, disusul PDI-Perjuangan 18%. Kemudian, Partai Gerindra 8,7%, PKB 6,7%, dan Partai NasDem 5,5%. Berikutnya PAN sebesar 4,5%, PPP 3,4%, dan paling buncit Partai Hanura yang hanya 0,5%. 
       Dua peristiwa mutakhir menimpa elit parpol setidaknya bisa memengaruhi menurunnya keterpilihan parpol dan kadernya. Pertama, pengunduran diri Akbar Faizal dari anggota DPR Fraksi Partai Hanura, kemudian bergabung dengan Partai NasDem (8/2/2013). Belum ada alasan jelas mundurnya Akbar, tetapi ada yang menduga akibat menurunnya elektabilitas Partai Hanura. 
       Jika Partai Hanura tidak melakukan gebrakan untuk meningkatkan elektabilitasnya, boleh jadi tidak akan lolos parliamentary threshold sebesar 3,5% pada pemilu 2014. Ada pula kalangan yang menilai karena Akbar berniat maju dalam pemilihan Walikota Makassar, tetapi semuanya masih serba kabur. Yang jelas, lagi-lagi publik dibuat terperangah, sebab amanah rakyat melalui kontrak sosial selama lima tahun di DPR tidak dipenuhi. Ada pula yang menuding sebagai “politisi kutu loncat” sehingga sebaiknya Akbar menjelaskan dengan bijak kepada konstituennya.
       Kedua, keputusan Majelis Tinggi Partai Demokrat yang secara defacto membekukan kiprah Anas Urbaningrum sebagai ketua umum. Meski secara dejure Anas masih tetap ketua umum karena untuk menggantinya harus melalui kongres atau kongres luar biasa, tetapi kekuatan Anas di Partai Demokrat sudah tidak ada.
      Ketua Majelis Tinggi, Ketua Dewan Pembina, sekaligus Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan memimpin langsung langkah penyelamatan dan pembersihan partai akibat banyaknya kader yang terlibat korupsi. Dalam konferensi pers (8/2/2013), SBY menyebut ada delapan butir solusi penyelamatan partai.
       Antara lain, semua kader teras partai harus menandatangani “fakta integritas” sampai batas Februai ini, serta melaporkan harta kekayaanya kepada Dewan Pengawas Partai. Bagi kader yang tidak bersedia, dipersilahkan mundur atau diberi sanksi pemecatan dari kepengurusan partai. 
       Sedangkan Anas diminta fokus pada dugaan keterlibatannya dalam kasus Hambalang. Apakah ini sebagai isyarat Anas akan ditetapkan tersangka oleh KPK? Harus cepat dijawab KPK, jangan sampai Anas tersandera bersama partainya. Lebih dari itu, SBY tentu sudah menghitung kemungkinan perlawanan dari kubu Anas yang kabarnya masih kuat di kepengurusan daerah karena berisiko pada penggembosan partai.*** 

PEMBELAJARAN IPA DI LUAR KELAS

IPA merupakan salah satu Mata Pelajaran yang mempunyai ruang lingkup sangat luas. Di dalam IPA dipelajari tentang sesuatu yang berhubungan ...