Aneh bin ajaib, korupsi di negeri ini layaknya arisan. Pesertanya berasal dari kalangan elite partai politik terutama yang masuk lingkaran kekuasaan, yang tinggal menunggu giliran, kapan mendapat jatah duit haram hasil korupsi. Dan kapan para elite parpol pelaku korupsi ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan dijebloskan ke “hotel prodeo”.
Beberapa waktu lalu, giliran elite Partai Golkar ditetapkan KPK sebagai tersangka. Dia adalah Rusli Zainal, Gubernur Riau yang juga Ketua DPD Golkar Riau sekaligus Ketua DPP Golkar Bidang Hubungan Eksekutif dan Legislatif.
Tak tanggung-tanggung, Rusli disangkakan atas tiga perkara tercela. Pertama, ia diduga menerima suap terkait dengan Revisi Perda No. 6 Tahun 2010 tentang Penambahan Biaya Arena Menembak PON Riau. Kedua, pemberian hadiah yang terhubung dengan pembahasan perda yang sama. Ketiga, penyalahgunaan wewenang terkait dengan pengesahan bagan kerja izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman 2001-2006 untuk Kabupaten Pelalawan, Riau.
Dugaan keterlibatan Rusli sudah lama berhembus.
Para tersangka dan saksi dalam perkara itu kerap menyebut namanya di persidangan. Kita mengapresiasi ketegasan KPK menjaring Rusli Zainal sebagai tersangka. Memang, KPK di bawah kepemimpinan Abraham Samad semakin eksis sebagai “predator ganas” yang siap menerkam para koruptor.
Penetapan Rusli sebagai tersangka menambah panjang daftar tersangka dan terpidana dari parpol gara-gara mendapat giliran menerima duit arisan korupsi. Muhammad Nazaruddin, Angelina Sondakh, dan Luthfi Hasan Ishaaq hanyalah tiga dari begitu banyak penerima jatah arisan korupsi. Bukan tidak mungkin daftar penerima arisan korupsi bakal bertambah panjang menjelang Pemilu 2014. Data Sekretaris Kabinet Dipo Alam menunjukkan sepanjang 2004-2011 Presiden menerima permohonan izin pemeriksaan ratusan pejabat negara dari parpol dalam perkara korupsi. Dari jumlah itu, Partai Golkar bertengger di urutan teratas dengan 64 orang, disusul PDIP sebanyak 32 orang dan Demokrat sendiri sebanyak 20 orang.
Sudah banyak elite parpol menjadi pesakitan, tetapi fenomena mengerikan itu tak juga membuat elite lainnya jera. Kader partai berkuasa di daerah pun tiada risih memosisikan diri sebagai ‘raja-raja kecil’.
Sebuah pertanyaan menarik, kenapa koruptor dari parpol terus bermunculan? Kemungkinannya adalah Pertama, karena sistem politik berbiaya mahal memaksa parpol menggembungkan pundi-pundi sebagai bekal bertarung di arena politik, entah itu di pemilihan kepala daerah baik gubernur, bupati dan walikota, pemilihan legislatif, serta pemilihan presiden. Karena itu, parpol menjadikan elite yang duduk di eksekutif dan legislatif ibarat “sapi perah” alias “mesin ATM” bagi pendanaan aktifitas politik bagi parpolnya. Kedua, hukum di negeri ini terus memanjakan mereka dengan vonis-vonis ringan dan tidak menimbulkan efek jera. Angelina Sondakh, misalnya yang terbukti korupsi senilai Rp 14,5 miliar hanya dihukum 4,5 tahun.
Selama sistem politik dan hukum tidak dibenahi, selama itu pula arisan korupsi dengan parpol sebagai pesertanya tetap berlangsung. Partai politik di negeri ini telah menjadi sarang koruptor. Buktinya, banyak politikus dari hampir semua parpol dibui gara-gara korupsi. Tidak mengenal dari partai mana elite tersebut berasal. Pada 2004, politikus PDI Perjuangan (PDI-P), Golkar, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menghuni “hotel prodeo” karena terbukti menerima suap dalam kasus pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom.
Kemudian pada 2012, politikus Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor Jakarta dalam kasus suap Wisma Atlet. Masih di tahun yang sama, politikus Partai Amanat Nasional (PAN) Wa Ode Nurhayati divonis bersalah, juga oleh Pengadilan Tipikor Jakarta dalam kasus suap dana pembangunan infrastruktur daerah. Lalu, pada awal 2013, Angelina Sondakh, politikus Partai Demokrat, divonis bersalah lantaran terbukti menerima suap proyek pembangunan Wisma Atlet dan proyek sarana universitas. Sejumlah anggota DPR lainnya sedang berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebagian menyandang status tersangka dan sebagian lain sudah menjadi terdakwa.
Begitu banyaknya politikus yang melakukan korupsi memunculkan dugaan bahwa korupsi bukan lagi perbuatan perorangan, melainkan tindakan institusional partai. Dugaan itu kian kuat karena korupsi kini tidak hanya dilakukan kader partai di level bawah, tapi juga oleh pengurus inti, bahkan pucuk pimpinan partai.
Muhammad Nazaruddin terbukti bersalah dalam kasus korupsi Wisma Atlet kala menjabat Bendahara Umum Partai Demokrat. Nazaruddin bahkan berulang kali menyebut keterlibatan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dalam kasus Wisma Atlet dan Hambalang. Kasus terakhir, KPK menjadikan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq sebagai tersangka karena diduga terlibat perkara suap impor daging sapi.
Sepanjang Oktober 2004 hingga Juli 2012 kementerian dalam negeri mencatat ada 277 gubernur, wali kota, atau bupati yang terlibat kasus korupsi. Itu baru kepala daerahnya saja, belum termasuk bawahannya. Secara umum, setiap kasus yang melibatkan kepala daerah pasti membelit juga bawahannya. Diperkirakan minimal lima bawahannya pasti telibat kasus yang sama, dan jika dihitung hingga bawahan kepala daerah, pejabat yang terlibat korupsi bisa mencapai 1.500-an, jumlah yang fantastis bukan? Kemendagri juga mencatat anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang terlibat korupsi. Di tingkat provinsi, dari total 2008 anggota DPRD di seluruh Indonesia, setidaknya ada 431 yang terlibat korupsi. Sementara di tingkat kabupaten/kota, dari total 16.267 kepala daerah, ada 2.553 yang terlibat kasus. Bisa dibayangkan ada berapa milyaran atau bahkan triliyunan rupiah uang rakyat yang telah dikorupsi oleh pejabat di negeri ini. Tingginya jumlah pejabat daerah yang terlibat kasus korupsi merupakan salah satu imbas dari politik berbiaya tinggi. Di Sulsel sendiri sudah tercatat 3 kepala daerah yang terseret kasus korupsi diantaranya Bupati Tana Toraja JA Situru, Walikota Parepare Zain Katoe dan terakhir Walikota Palopo HPA Tenriadjeng.
Bisa dikatakan korupsi pada era reformasi lebih “buas” dari pada era Orde Baru. Di masa Orde Baru perilaku korup terjadi pada lingkaran eksekutif dan orang-orang tertentu. Namun, sekarang korupsi sudah merajalela di parlemen dan partai politik hingga terdesentralisasi ke “raja-raja kecil” di daerah. Bak menikamkan mata pisau bertubi-tubi, parpol di era reformasi ini kerap menghujat habis perilaku korup zaman Orde Baru. Kini parpol di era reformasi justru mulai merasakan mata pisau itu melukai dirinya sendiri.(*)
As the person in charge and the manager of the site, which at the same time as the Webmaster for this site, I have attempted wherever possible to provide factual information about,Celebrity and Profil, IPA, National News, International News even attractive and may be very beneficial for you. However, due to limited manpower, time, cost, and the means to be a factor that is very disturbing efforts to up-date the data, especially the news
PEMBELAJARAN IPA DI LUAR KELAS
IPA merupakan salah satu Mata Pelajaran yang mempunyai ruang lingkup sangat luas. Di dalam IPA dipelajari tentang sesuatu yang berhubungan ...