Sunday, February 17, 2013

Mahkamah Konstitusi dan Rintihan Anak Yatim

Ternyata proses pilgub Sulsel tidak berakhir di pleno penetapan KPU Sulsel, tapi tahapan itu berlanjut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Karena pasangan cagub-cawagub Sulsel usungan Partai Demokrat Ilham Arief Sirajuddin-Aziz Qahhar Mudzakkar (IA) mengaku keberatan dan memilih untuk menggugat KPU Sulsel ke MK dengan dasar dan dalih bahwa proses pelaksanaan pilgub Sulsel lalu sarat dengan kecurangan.
Pilkada Gubernur (Pilgub) Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) telah usai. Pada 22 Januari 2013 lalu, masyarakat Sulsel telah membuktikan partisipasinya dengan menyalurkan hak suaranya di Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Hasilnya, pemenang pilgub Sulsel mulai dari hasil quick count (hitung cepat) dan real count (hitung manual) menempatkan pasangan cagub-cawagub Sulsel Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang (Sayang) sebagai pemenangnya dengan perolehan suara sebanyak 2.251.407 (52,42%), Ilham Arief Sirajuddin-Aziz Qahhar Mudzakkar (IA) sebesar 1.785.580 (41,57%), dan terakhir pasangan Andi Rudiyanto Asapa-Andi Nawir Pasinringi (Garuda-Na) sebanyak 257.973 (6,01%).
Dari hasil rekap suara tersebut, KPU Sulsel kemudian melakukan rapat pleno penetapan pasangan cagub-cawagub Sulsel terpilih periode 2013-2018; Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang.
Ternyata proses pilgub Sulsel tidak berakhir di pleno penetapan KPU Sulsel, tapi tahapan itu berlanjut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Karena pasangan cagub-cawagub Sulsel usungan Partai Demokrat Ilham Arief Sirajuddin-Aziz Qahhar Mudzakkar (IA) mengaku keberatan dan memilih untuk menggugat KPU Sulsel ke MK dengan dasar dan dalih bahwa proses pelaksanaan pilgub Sulsel lalu sarat dengan kecurangan.
                
Menanti Keputusan MK
Betulkah sarat dengan curang? Selisih angka antara Sayang dengan IA begitu besar, di atas 400 ribu jiwa atau 11 persen. Ya, karena ini sudah masuk dalam ranah MK, maka yang berhak memutuskan bahwa itu adalah penuh kecurangan atau tidak adalah MK.
Tapi terlepas dari hal tersebut, ada pernyataan menarik yang disampaikan oleh guru besar Universtitas Hasanuddin Prof Dr Hamid Awaluddin bahwa alangkah baiknya jika pasangan IA itu membantu anak yatim di Makassar dan Sulsel ketimbang menghamburkan uangnya untuk “memaksakan”sebuah kemenangan.
Anak yatim ini masuk di dalamnya anak jalanan yang begitu marak di Makassar, pengemis yang saban hari menjadi biang kemacetan Kota Makassar, pemukiman kumuh dan lain sebagainya.
Mulia memang pernyataan dari seorang Hamid Awalauddin. Sangat mencerminkan seorang negarawan, sekaligus mencerminkan dirinya sebagai seorang mantan Menteri Hukum dan HAM era SBY-JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden lalu.
Fakta memang tidak bisa dinafikan. Saya mencoba menyelami makna pemikiran dan usulan dari Hamid Awalauddin tersebut. Bukankah kemenangan Sayang sudah sangat telak, sangat jauh perbedaannya antara perolehan suara IA apalagi pasangan Rudiyanto Asapa-Andi Nawir Pasinringi (GarudaNA)? Jika yang sedikit saja selisihnya tak memengaruhi keputusan MK dalam berbagai kasus pilgub/pilkada kabupaten/kota, maka itu sama saja kesia-siaan.
Ingat, semua yang dipersoalkan adalah pidana pemilu yang menjadi ranah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)/Panwaslu dan harus dilaporkan ketika itu juga. Kedua, MK mengadili hasil perhitungan suara selisih 11 persen yang tentunya equivalen dengan setengah juta pemilih.  Secara statistik, tidak logis semuanya adalah hasil kecurangan.
Selain itu, selisih 11 persen itu adalah akumulasi kemenangan dengan tingkat sebaran lokasi yang luas sehingga tidak masuk akal untuk mengatakan bahwa semua itu adalah hasil kecurangan. Perhitungan suara dilakukan secara terbuka dan hasilnya ditandatangani oleh masing-masing saksi para calon. Masalahnya, kenapa tidak protes saat pemungutan atau perhitungan suara berlangsung? Ingat, tiap tahapan selalu diawasi oleh Bawaslu sehingga sulit berkesimpulan bahwa ada kecurangan sistematis atau pelanggaran prosedur.
          
Pestanya Rakyat
Tudingan curang dengan kekalahan telak itu bertanda ambisius. Sudahlah, pilgub Sulsel ini sudah banyak memakan korban. Baik secara materil maupun non materil. Pilgub Sulsel ini adalah pestanya rakyat, jangan pernah membuat rakyat kecewa dengan tudingan dan alasan sebuah pembenaran yang mengarahkan sebuah pembodohan. Sangat tidak manusiwi.
Jadi, kembali pada pernyataan Hamid Awaluddin tersebut, saya secara pribadi sangat setuju. Betapa tidak, menggugat ke MK itu membutuhkan biaya tidak sedikit. Mulai dari sewa pengacara yang tergolong mahal, mobilisasi massa masing-masing pendukung ke lokasi sidang (Jakarta). Belum lagi eskalasi massa yang tidak bisa diprediksi di Jakarta dan juga di Makassar.
Kebesaran jiwa seorang Ilham Arief Sirajuddin memang dibutuhkan. Kalah memang itu sulit diterima oleh orang-orang yang berhati tidak lapang. Namun, jika gugatan ke MK juga tidak rasional, kenapa mesti dilanjutkan. Rintihan anak yatim di jalan-jalan besar Kota Makassar masih banyak, itu yang haruys diperhatikan.
Rakyat sudah jenuh dengan momentum politik di Sulsel. Mereka memang tidak memikirkan apa dan siapa yang akan memimpin, tapi pertikaian dan akrobatik politik tentu berdampak untuk pendidikan politik masyarakat di Sulsel.
Intinya sekarang, kebesaran jiwa seorang kandidat dibutuhkan. Bukankah, sebelum pelaksanaan pencoblosan pilgub Sulsel sudah ada kesepakatan siap kalah dan siap menang oleh masing-masing kandidat? Harus direnungkan baik-baik itu. Bukan hanya sekadar tandatangan, cap jempol, bercipika-cipiki dan lain sebagainya, namun hati gersang.
Sulsel sudah maju, Sulsel kini akan terus maju sejalan dengan perkembangan nasional. Mari kita junjung filosofi orang Sulsel sipakatau, sipakalebbi, saling menghargai dan saling menghormati. Tapi karena masalah ini sudah masuk dalam tahapan MK, maka kita berharap tak ada lagi yang menuding “MK curang” jika telah memutuskan.***

PEMBELAJARAN IPA DI LUAR KELAS

IPA merupakan salah satu Mata Pelajaran yang mempunyai ruang lingkup sangat luas. Di dalam IPA dipelajari tentang sesuatu yang berhubungan ...