Tangkapan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar membuktikan rentannya MK terhadap praktik suap.
Padahal, sebelumnya MK memiliki lembaga pengawas fungsional yang dilakukan oleh Komisi Yudisial (KY) untuk mencegah adanya dugaan suap. Namun, lembaga pengawas itu dibatalkan oleh MK sendiri.
"Sejak dulu saya minta ada fungsi pengawas fungsionalnya. Dulu MK, pengawas fungisonalnya KY tapi oleh MK dibatalkan waktu itu. Sekarang enggak ada pengawas yang fungsional dan dipercayakan pada hati nurani. Tapi sulit juga kalau hati nurani, karena tidak semua hati nurani orang bersih," kata mantan Ketua MK Mahfud MD, di Kantor MK, Jakarta, Kamis (3/10/2013).
Mahfud mengakui, MK memang rentan dengan adanya suap. Bahkan, Mahfud menganekdotkan, seandainya biaya Pilkada menghabiskan biaya Rp20 miliar untuk menang, maka dengan MK bisa diselesaikan dengan membayar Rp5 miliar.
"Itu kalau pilkada-pilkada, bupati-bupati itu biayanya bisa sampai 20miliar. Nah, kalau berperkara di sini bisa menang Rp5 miliar, kan dia (orang yang berperkara) lakukan juga," ujar Mahfud.
Mahfud mengatakan, di MK memang banyak orang yang berperkara dan tentu saja banyak juga yang minta dimenangkan atas perkaranya itu. Dia tidak tutup mata kalau MK bisa dijadikan lahan "basah" serta "rentan" dan siapapun bisa memanfaatkannya. "Kalau mau, peluang itu ada karena banyak orang berkepentingan di MK," jelasnya.
Dia bahkan memberikan anekdot, kalau ada kambing yang bisa bicara di MK tentu dia (kambing itu) akan diminta bantuannya untuk mengurusi perkara di MK.
"Dan semua yang berperkara ke sini selalu ada orang ingin membantu, sekalipun kalau ada kambing bicara di sini dan bisa membantu, pasti dibayar," kata Mahfud.
Pernyataan Mahfud ini sekaligus menanggapi persoalan Ketua MK Akil Muhtar yang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK pun akhirnya menetapkan Akil sebagai tersangka atas kasus suap Pilkada Gunung Mas, Kalimantan Tengah dan Lebak, Banten.