Prancis dan Mesir memiliki keterikatan sejarah, politik, hukum dan budaya yang sangat erat sejak ratusan tahun yang lampau, khususnya ketika Kaisar Prancis, Napoleon Bonaparte, berhasil menguasai teritorial Mesir, Suriah dan Afrika Utara dalam rangka ekspansi politik, perluasan wilayah dan eskpedisi ilmu pengetahuan. Kebijakan ini dimulai tahun 1789 dan berakhir tahun 1801 ketika Napoleon kembali ke Paris, The City of Light, ibukota Prancis.
Fakta sejarah mencatat bahwa ‘Sang Penakluk Eropa’ itu menetapkan Sistem Hukum Prancis (Napoleonic Civil Code) dan membangun monumen Arc de Triomphe (Pintu Gerbang) di tahun 1803 setelah kembali ke Paris pascapenaklukan tersebut.
Monumen Arc de Triompheyang juga disebut Voie Triomphale (Jalan Kemenangan) terdiri dari dua bangunan utama, yakni Arc de Triomphe de l’Étoile dan Arc de Triomphe du Carrousel, yang mengapit jalan Champs – Élysees dalam posisi tegak lurus sempurna serta berfungsi sebagai Axe Historique (Garis Imajiner) yang membelah kota Paris.
Hal yang paling menarik dari Axe Historique ialah jika kita terus menarik garis lurus dari Arc de Triomphe du Carrousel keArc de Triomphe de l’Étoile kemudian ke luar kota Paris searah timur-tenggara maka garis imajiner itu akan melewati negara Swiss, Italia, Yunani, lalu melintasi Laut Mediterania, Mesir dan berakhir di Makkah, Saudi Arabia. Makkah merupakan kota suci dan kiblat ummat Islam di seluruh dunia.
Menurut Marion Latimer, seorang mu’alaf asli Paris dan peneliti di World Arab Institute, maksud tersembunyi dari Napoleon dalam membangun monumen megah Arc de Triomphe ialah untuk menghubungkan pusat kota Paris dengan kota Makkah secara imajiner. Bahkan Marion menyatakan bahwa pasal-pasal dalam Napoleonic Civil Codeitu senapas dengan syariah Islam.
Analisis ini diperkuat dengan bukti adanya patung Quadriga yang berdiri tegak di atas monumen Arc de Triomphe du Carrousel dan semuanya mengarah ke timur-tenggara, arah kota Makkah. Patung Quadriga ini terdiri dari patung besar manusia dan empat ekor kuda yang diapit oleh dua malaikat emas dalam ukuran sebenarnya.
Analisa dan fakta tersebut terungkap ketika Marion berdialog dengan Hanum S. Rais, penulis novel berjudul “99 Cahaya di Langit Eropa, Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa,” ketika berkunjung ke pusat kota Paris.
Hubungan erat antara kedua negara juga terlihat dari monumen Mesir Kuno bernama Obelisk Luxor yang terletak satu garis lurus dan berada diantara kedua monumen Arc de Triomphe. Monumen berusia 3.300 tahunseberat 250 ton dan setinggi 23 meter yang berbentuk menara pensil ini merupakan bagian dari obelisk kembar yang menjaga gerbang Kuil Luxor di Mesir.
Bangunan tersebut dihadiahkan oleh Penguasa Mesir, Muhammad Ali Pasha, pada tahun 1829 namun baru diterima oleh Raja Prancis, Louis-Philippe, pada tahun 1836 karena lamanya waktu yang diperlukan (7 tahun) dan rumitnya teknologi untuk memindahkan Obelisk dari Mesir ke Perancis. Monumen ini baru dapat didirikan tepat di tengah-tengah alun-alun Place de la Concorde pada tahun 1940.
Dengan demikian terdapat relasi historis dan hubungan interaktif yang sangat eratantara Perancis dan Mesir sejak ratusan tahun yang lampau, khususnya setelah Napoleon berhasil menguasai Mesir, Suriah dan Afrika Utara.
Hal ini menjadi salah satu penyebab utama pemerintah Perancisikut serta secara aktif dalam menyelesaikan krisis politik dan kemanusiaan di Mesir pasca kudeta militer terhadap Presiden Muhammad Mursi.
Presiden Prancis, Francois Hollande, menyatakan bahwa Prancis tidak dapat menerima tindakan kekerasan militer Mesir terhadap pengunjuk rasa damai pendukung mantan Presiden Muhammad Mursi. “Ini tidak dapat diterima bahwa kekerasan keji seperti itu terjadi di Mesir,” tegas Hollande saat menyambut Menteri Luar Negeri (Menlu) Saudi Arabia, Pangeran Saud Al-Faisal, di Prancis (19/8/2013).
“Terdapat ‘tanggung jawab bersama’ antara negara-negara Arab dan Eropa, termasuk Prancis, untuk memastikan pihak berwenang di Mesir mengizinkan pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) dalam waktu segera,” ujar Hollande kepada mitranya dari Saudi Arabia dan Qatar seperti dikutip Agence France Presse (AFP).
Pernyataan tersebut diperjelas lagi oleh Menlu Prancis, Laurent Fabius, yang menuntut agar pihak militer segera mengembalikan sistempolitik ke proses demokrasi dan mewujudkan dialog konstruktif antarsemua faksi politik. “Prancis telah mengambil catatan dari komitmen pemerintah Mesir untuk melaksanakan road map transisi politik, yang menetapkan tujuan membangun negara demokratis yang menjamin kebebasan dan keadilan bagi semua orang Mesir,” ujar Philippe Lalliot, Juru Bicara Menlu Prancis (9/9/2013).
“Mengingat bahwa Mesir adalah penjamin perdamaian di kawasan itu, kondisi saat ini menjadi lebih mengkhawatirkan. Pembatasan maksimum harus ditunjukkan jika risikonya adalah kelompok ekstrimisakan mengambil keuntungan dari situasi dan akan mengakibatkan dampak sangat serius,” ujar Fabius dalam wawancara dengan radio RTL (16/08/13).
Dengan demikian kebijakan luar negeri Prancis terhadap Mesir menitikberatkan pada sikap menolak segala bentuk tindakan kekerasan yang dilakukan oleh militer terhadap para demonstran damai pendukung mantan Presiden Mursi serta menuntut agar militer segera mewujudkan peta jalan guna mengembalikan proses demokrasi.
Namun Prancis juga berikap ambigu karena mendukung pihak militer untuk membatasi secara maksimum aksi damai para demonstran jika dikhawatirkan kelompok ekstrimis akan memanfaatkan dan mengambil keuntungan dari aksi unjuk rasa tersebut.
Jika Prancis sungguh-sungguh mendukung pelaksanaan Hak Asasi Manusia (HAM) di Mesir maka tidak boleh ada pembatasan terhadap aksi demonstrasi kecuali bila terjadi pelanggaran terhadap ketertiban umum.
Perancis pun tidak pernah memberikan tanggapanterkait aksi kudeta militersehingga diragukan sikapnya terhadap demokrasi. Jika Perancis benar-benar mendukungsistem politik demokrasi maka sudah sepatutnya bersikap tegas menolak kudeta militer.
Sikap ambigu dan pragmatis Prancis tersebut berakar dari sejarah panjang pemerintahan Perancis sendiri yang sering mengalami pasang-urut dalam sistem demokrasi dan HAM. Trauma rakyat terhadap pemerintahan teror pimpinan Robespierre yang telah memvonis mati puluhan ribu keluarga kerajaan, bangsawan, kaum borjuis, dan rohaniwan Prancis pascarevolusi telah menimbulkan antipati dan rasa trauma mendalam.
Hal ini menimbulkan dukungan Prancis terhadap HAM bagi seluruh warga sipil kecuali terhadap kaum ekstrimis yang menimbulkan ketidaknyamanan bagi rakyat.
Apalagi Prancis sempat diakui keperkasaannya oleh dunia internasional selama berpuluh-puluh tahun ketika berada di bawah pimpinan Kaisar Napoleon yang notabene menerapkan sistem monarki konstitusional, bukan sistem demokrasi.
Fakta sejarah mencatat bahwa ‘Sang Penakluk Eropa’ itu menetapkan Sistem Hukum Prancis (Napoleonic Civil Code) dan membangun monumen Arc de Triomphe (Pintu Gerbang) di tahun 1803 setelah kembali ke Paris pascapenaklukan tersebut.
Monumen Arc de Triompheyang juga disebut Voie Triomphale (Jalan Kemenangan) terdiri dari dua bangunan utama, yakni Arc de Triomphe de l’Étoile dan Arc de Triomphe du Carrousel, yang mengapit jalan Champs – Élysees dalam posisi tegak lurus sempurna serta berfungsi sebagai Axe Historique (Garis Imajiner) yang membelah kota Paris.
Hal yang paling menarik dari Axe Historique ialah jika kita terus menarik garis lurus dari Arc de Triomphe du Carrousel keArc de Triomphe de l’Étoile kemudian ke luar kota Paris searah timur-tenggara maka garis imajiner itu akan melewati negara Swiss, Italia, Yunani, lalu melintasi Laut Mediterania, Mesir dan berakhir di Makkah, Saudi Arabia. Makkah merupakan kota suci dan kiblat ummat Islam di seluruh dunia.
Menurut Marion Latimer, seorang mu’alaf asli Paris dan peneliti di World Arab Institute, maksud tersembunyi dari Napoleon dalam membangun monumen megah Arc de Triomphe ialah untuk menghubungkan pusat kota Paris dengan kota Makkah secara imajiner. Bahkan Marion menyatakan bahwa pasal-pasal dalam Napoleonic Civil Codeitu senapas dengan syariah Islam.
Analisis ini diperkuat dengan bukti adanya patung Quadriga yang berdiri tegak di atas monumen Arc de Triomphe du Carrousel dan semuanya mengarah ke timur-tenggara, arah kota Makkah. Patung Quadriga ini terdiri dari patung besar manusia dan empat ekor kuda yang diapit oleh dua malaikat emas dalam ukuran sebenarnya.
Analisa dan fakta tersebut terungkap ketika Marion berdialog dengan Hanum S. Rais, penulis novel berjudul “99 Cahaya di Langit Eropa, Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa,” ketika berkunjung ke pusat kota Paris.
Hubungan erat antara kedua negara juga terlihat dari monumen Mesir Kuno bernama Obelisk Luxor yang terletak satu garis lurus dan berada diantara kedua monumen Arc de Triomphe. Monumen berusia 3.300 tahunseberat 250 ton dan setinggi 23 meter yang berbentuk menara pensil ini merupakan bagian dari obelisk kembar yang menjaga gerbang Kuil Luxor di Mesir.
Bangunan tersebut dihadiahkan oleh Penguasa Mesir, Muhammad Ali Pasha, pada tahun 1829 namun baru diterima oleh Raja Prancis, Louis-Philippe, pada tahun 1836 karena lamanya waktu yang diperlukan (7 tahun) dan rumitnya teknologi untuk memindahkan Obelisk dari Mesir ke Perancis. Monumen ini baru dapat didirikan tepat di tengah-tengah alun-alun Place de la Concorde pada tahun 1940.
Dengan demikian terdapat relasi historis dan hubungan interaktif yang sangat eratantara Perancis dan Mesir sejak ratusan tahun yang lampau, khususnya setelah Napoleon berhasil menguasai Mesir, Suriah dan Afrika Utara.
Hal ini menjadi salah satu penyebab utama pemerintah Perancisikut serta secara aktif dalam menyelesaikan krisis politik dan kemanusiaan di Mesir pasca kudeta militer terhadap Presiden Muhammad Mursi.
Presiden Prancis, Francois Hollande, menyatakan bahwa Prancis tidak dapat menerima tindakan kekerasan militer Mesir terhadap pengunjuk rasa damai pendukung mantan Presiden Muhammad Mursi. “Ini tidak dapat diterima bahwa kekerasan keji seperti itu terjadi di Mesir,” tegas Hollande saat menyambut Menteri Luar Negeri (Menlu) Saudi Arabia, Pangeran Saud Al-Faisal, di Prancis (19/8/2013).
“Terdapat ‘tanggung jawab bersama’ antara negara-negara Arab dan Eropa, termasuk Prancis, untuk memastikan pihak berwenang di Mesir mengizinkan pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) dalam waktu segera,” ujar Hollande kepada mitranya dari Saudi Arabia dan Qatar seperti dikutip Agence France Presse (AFP).
Pernyataan tersebut diperjelas lagi oleh Menlu Prancis, Laurent Fabius, yang menuntut agar pihak militer segera mengembalikan sistempolitik ke proses demokrasi dan mewujudkan dialog konstruktif antarsemua faksi politik. “Prancis telah mengambil catatan dari komitmen pemerintah Mesir untuk melaksanakan road map transisi politik, yang menetapkan tujuan membangun negara demokratis yang menjamin kebebasan dan keadilan bagi semua orang Mesir,” ujar Philippe Lalliot, Juru Bicara Menlu Prancis (9/9/2013).
“Mengingat bahwa Mesir adalah penjamin perdamaian di kawasan itu, kondisi saat ini menjadi lebih mengkhawatirkan. Pembatasan maksimum harus ditunjukkan jika risikonya adalah kelompok ekstrimisakan mengambil keuntungan dari situasi dan akan mengakibatkan dampak sangat serius,” ujar Fabius dalam wawancara dengan radio RTL (16/08/13).
Dengan demikian kebijakan luar negeri Prancis terhadap Mesir menitikberatkan pada sikap menolak segala bentuk tindakan kekerasan yang dilakukan oleh militer terhadap para demonstran damai pendukung mantan Presiden Mursi serta menuntut agar militer segera mewujudkan peta jalan guna mengembalikan proses demokrasi.
Namun Prancis juga berikap ambigu karena mendukung pihak militer untuk membatasi secara maksimum aksi damai para demonstran jika dikhawatirkan kelompok ekstrimis akan memanfaatkan dan mengambil keuntungan dari aksi unjuk rasa tersebut.
Jika Prancis sungguh-sungguh mendukung pelaksanaan Hak Asasi Manusia (HAM) di Mesir maka tidak boleh ada pembatasan terhadap aksi demonstrasi kecuali bila terjadi pelanggaran terhadap ketertiban umum.
Perancis pun tidak pernah memberikan tanggapanterkait aksi kudeta militersehingga diragukan sikapnya terhadap demokrasi. Jika Perancis benar-benar mendukungsistem politik demokrasi maka sudah sepatutnya bersikap tegas menolak kudeta militer.
Sikap ambigu dan pragmatis Prancis tersebut berakar dari sejarah panjang pemerintahan Perancis sendiri yang sering mengalami pasang-urut dalam sistem demokrasi dan HAM. Trauma rakyat terhadap pemerintahan teror pimpinan Robespierre yang telah memvonis mati puluhan ribu keluarga kerajaan, bangsawan, kaum borjuis, dan rohaniwan Prancis pascarevolusi telah menimbulkan antipati dan rasa trauma mendalam.
Hal ini menimbulkan dukungan Prancis terhadap HAM bagi seluruh warga sipil kecuali terhadap kaum ekstrimis yang menimbulkan ketidaknyamanan bagi rakyat.
Apalagi Prancis sempat diakui keperkasaannya oleh dunia internasional selama berpuluh-puluh tahun ketika berada di bawah pimpinan Kaisar Napoleon yang notabene menerapkan sistem monarki konstitusional, bukan sistem demokrasi.