"Sebaik-baik pemimpin kamu adalah mereka yang kamu cintai dan mereka mencintai kamu, dan kamu mendoakan mereka dan mereka mendoakan kamu. Dan, seburuk-buruknya pemimpin kamu adalah mereka yang kamu benci dan mereka membenci kamu, dan kamu melaknat mereka dan mereka pun melaknat kamu," (HR. Muslim).
Setiap manusia, apa pun jabatan dan profesinya, adalah seorang pemimpin. Allah SWT telah memuliakan anak cucu Adam dan mengangkatnya sebagai khalifah/pemimpin di muka bumi (QS al Baqarah: 30). Lebih jauh, Rasulullah saw pun menegaskan bahwa setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas hasil kepemimpinannya (HR. Bukhari Muslim).
Menurut Islam, kepemimpinan adalah amanat yang harus diberikan kepada seseorang yang ahli (kapabel, kredibel, akseptabel) dan harus ditunaikan dalam konsistensi Hukum Kitabiyah, Hukum Robbaniyah, dan Hukum Kauniyah demi mencapai kehidupan yang adil berkemakmuran dan makmur berkeadilan, baik secara material maupun spiritual.
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat selalu membutuhkan adanya pemimpin. Di dalam kehidupan rumah tangga diperlukan adanya pemimpin atau kepala keluarga, begitu pula halnya di masjid sehingga salat berjamaah bisa dilaksanakan dengan adanya orang yang bertindak sebagai imam, bahkan perjalanan yang dilakukan oleh tiga orang muslim, harus mengangkat salah seorang diantara mereka sebagai pemimpin perjalanan. Ini semua menunjukkan betapa penting kedudukan pemimpin dalam suatu masyarakat, baik dalam skala yang kecil apalagi skala yang besar. Untuk tujuan memperbaiki kehidupan yang lebih baik, seorang muslim tidak boleh mengelak dari tugas kepemimpinan, Rasulullah Saw bersabda: Barangsiapa yang diserahi kekuasaan urusan manusia lalu menghindar (mengelak) melayani kaum lemah dan orang-orang yang membutuhkannya, maka Allah tidak akan mengindahkannya pada hari kiamat (HR. Ahmad).
Di dalam Islam, pemimpin kadangkala disebut imam tapi juga khalifah. Dalam salat berjamaah, imam berarti orang yang di depan. Secara harfiyah, imam berasal dari kata amma, ya'ummu yang artinya menuju, menumpu dan meneladani. Ini berarti seorang imam atau pemimpin harus selalu didepan guna memberi keteladanan atau kepeloporan dalam segala bentuk kebaikan. Disamping itu, pemimpin disebut juga dengan khalifah yang berasal dari kata khalafa yang berarti di belakang, karenanya khalifah dinyatakan sebagai pengganti karena memang pengganti itu dibelakang atau datang sesudah yang digantikan. Kalau pemimpin itu disebut khalifah, itu artinya ia harus bisa berada di belakang untuk menjadi pendorong diri dan orang yang dipimpinnya untuk maju dalam menjalani kehidupan yang baik dan benar sekaligus mengikuti kehendak dan arah yang dituju oleh orang yang dipimpinnya kearah kebenaran.
Dari pengantar di atas, terasa dan terbayang sekali betapa dalam pandangan Islam, pemimpin memiliki kedudukan yang sangat penting, karenanya siapa saja yang menjadi pemimpin tidak boleh dan jangan sampai menyalahgunakan kepemimpinannya untuk hal-hal yang tidak benar. Karena itu, para pemimpin dan orang-orang yang dipimpin harus memahami hakikat kepemimpinan dalam pandangan Islam yang secara garis besar dalam lima lingkup.
1. Tangung Jawab, Bukan Keistimewaan.
Ketika seseorang diangkat atau ditunjuk untuk memimpin suatu lembaga atau institusi, maka ia sebenarnya mengemban tanggung jawab yang besar sebagai seorang pemimpin yang harus mampu mempertanggungjawabkannya,. Bukan hanya dihadapan manusia tapi juga dihadapan Allah Swt. Oleh karena itu, jabatan dalam semua level atau tingkatan bukanlah suatu keistimewaan sehingga seorang pemimpin atau pejabat tidak boleh merasa menjadi manusia yang istimewa sehingga ia merasa harus diistimewakan dan ia sangat marah bila orang lain tidak mengistimewakan dirinya.
2. Pengorbanan, Bukan Fasilitas
Menjadi pemimpin atau pejabat bukanlah untuk menikmati kemewahan atau kesenangan hidup dengan berbagai fasilitas duniawi yang menyenangkan, tapi justru ia harus mau berkorban dan menunjukkan pengorbanan, apalagi ketika masyarakat yang dipimpinnya berada dalam kondisi sulit dan sangat sulit.
3. Kerja Keras, Bukan Santai.
Para pemimpin mendapat tanggung jawab yang besar untuk menghadapi dan mengatasi berbagai persoalan yang menghantui masyarakat yang dipimpinnya untuk selanjutnya mengarahkan kehidupan masyarakat untuk bisa menjalani kehidupan yang baik dan benar serta mencapai kemajuan dan kesejahteraan. Untuk itu, para pemimpin dituntut bekerja keras dengan penuh kesungguhan dan optimisme.
4. Kewenangan Melayani, Bukan Sewenang-Wenang.
Pemimpin adalah pelayan bagi orang yang dipimpinnya, karena itu menjadi pemimpin atau pejabat berarti mendapatkan kewenangan yang besar untuk bisa melayani masyarakat dengan pelayanan yang lebih baik dari pemimpin sebelumnya, Rasulullah Saw bersabda: Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka (HR. Abu Na'im) Oleh karena itu, setiap pemimpin harus memiliki visi dan misi pelayanan terhadap orang-orang yang dipimpinnya guna meningkatkan kesejahteraan hidup, ini berarti tidak ada keinginan sedikitpun untuk menzalimi rakyatnya apalagi menjual rakyat, berbicara atas nama rakyat atau kepentingan rakyat padahal sebenarnya untuk kepentingan diri, keluarga atau golongannya. Bila pemimpin seperti ini terdapat dalam kehidupan kita, maka ini adalah pengkhianat yang paling besar, Rasulullah Saw bersabda: Khianat yang paling besar adalah bila seorang penguasa memperdagangkan rakyatnya (HR. Thabrani).
5. Keteladanan dan Kepeloporan, Bukan Pengekor.
Dalam segala bentuk kebaikan, seorang pemimpin seharusnya menjadi teladan dan pelopor, bukan malah menjadi pengekor yang tidak memiliki sikap terhadap nilai-nilai kebenaran dan kebaikan. Ketika seorang pemimpin menyerukan kejujuran kepada rakyat yang dipimpinnya, maka ia telah menunjukkan kejujuran itu. Ketika ia menyerukan hidup sederhana dalam soal materi, maka ia tunjukkan kesederhanaan bukan malah kemewahan. Masyarakat sangat menuntut adanya pemimpin yang bisa menjadi pelopor dan teladan dalam kebaikan dan kebenaran.
Dari penjelasan di atas, kita bisa menyadari betapa penting kedudukan pemimpin bagi suatu masyarakat, karenanya jangan sampai kita salah memilih pemimpin, baik dalam tingkatan yang paling rendah seperti kepala rumah tanggai, ketua RT, pengurus masjid, lurah dan camat apalagi sampai tingkat tinggi seperti anggota parlemen, bupati atau walikota, gubernur, menteri dan presiden. Karena itu, orang-orang yang sudah terbukti tidak mampu memimpin, menyalahgunakan kepemimpinan untuk misi yang tidak benar dan orang-orang yang kita ragukan untuk bisa memimpin dengan baik dan kearah kebaikan, tidak layak untuk kita percayakan menjadi pemimpin.
Pada hakikatnya reformasi di Indonesia mencita-citakan adanya sistem pemerintahan yang baik, bersih, dan anti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Cita-cita ini diharapkan dapat berimplikasi pada peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat serta terangkatnya martabat bangsa Indonesia di mata dunia internasional. Namun apa yang dialami dan dirasakan oleh masyarakat sekarang ini belum sesuai dengan cita-cita tersebut.
Era reformasi satu dekade berlalu, namun pengelolaan pemerintahan Indonesia masih sarat silang-sengkarut oleh kepentingan-kepentingan elit yang tidak kunjung mendekat pada kemakmuran rakyat bersama (bad governance). Kaburnya standar dan komitmen moral, diperparah dengan lemahnya penegakan hukum dan perlakuan diskriminatif terhadap koruptor, tidak saja memperburuk kultur birokrasi, tetapi juga merusak perilaku masyarakat dan bangunan budaya yang sehat. Bahkan, yang lebih memprihatinkan adalah para tokoh agama dan intelektual kampus telah menjelma dan bermetamorfosis menjadi aktor politik, lalu terbawa arus, yang kemudian mengaburkan komitmen moral-intelektualnya.
Berangkat dari keprihatinan terhadap kondisi sosial bangsa Indonesia tersebut, saya berkeinginan menggugah dan mengetuk hati para pemimpin bangsa ini, penyelenggara negara, wakil rakyat, pembuat kebijakan, aparat penegak hukum dan semua masyarakat yang menjadi stakeholder negara dan bangsa Indonesia untuk membuka mata
Setiap manusia, apa pun jabatan dan profesinya, adalah seorang pemimpin. Allah SWT telah memuliakan anak cucu Adam dan mengangkatnya sebagai khalifah/pemimpin di muka bumi (QS al Baqarah: 30). Lebih jauh, Rasulullah saw pun menegaskan bahwa setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas hasil kepemimpinannya (HR. Bukhari Muslim).
Menurut Islam, kepemimpinan adalah amanat yang harus diberikan kepada seseorang yang ahli (kapabel, kredibel, akseptabel) dan harus ditunaikan dalam konsistensi Hukum Kitabiyah, Hukum Robbaniyah, dan Hukum Kauniyah demi mencapai kehidupan yang adil berkemakmuran dan makmur berkeadilan, baik secara material maupun spiritual.
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat selalu membutuhkan adanya pemimpin. Di dalam kehidupan rumah tangga diperlukan adanya pemimpin atau kepala keluarga, begitu pula halnya di masjid sehingga salat berjamaah bisa dilaksanakan dengan adanya orang yang bertindak sebagai imam, bahkan perjalanan yang dilakukan oleh tiga orang muslim, harus mengangkat salah seorang diantara mereka sebagai pemimpin perjalanan. Ini semua menunjukkan betapa penting kedudukan pemimpin dalam suatu masyarakat, baik dalam skala yang kecil apalagi skala yang besar. Untuk tujuan memperbaiki kehidupan yang lebih baik, seorang muslim tidak boleh mengelak dari tugas kepemimpinan, Rasulullah Saw bersabda: Barangsiapa yang diserahi kekuasaan urusan manusia lalu menghindar (mengelak) melayani kaum lemah dan orang-orang yang membutuhkannya, maka Allah tidak akan mengindahkannya pada hari kiamat (HR. Ahmad).
Di dalam Islam, pemimpin kadangkala disebut imam tapi juga khalifah. Dalam salat berjamaah, imam berarti orang yang di depan. Secara harfiyah, imam berasal dari kata amma, ya'ummu yang artinya menuju, menumpu dan meneladani. Ini berarti seorang imam atau pemimpin harus selalu didepan guna memberi keteladanan atau kepeloporan dalam segala bentuk kebaikan. Disamping itu, pemimpin disebut juga dengan khalifah yang berasal dari kata khalafa yang berarti di belakang, karenanya khalifah dinyatakan sebagai pengganti karena memang pengganti itu dibelakang atau datang sesudah yang digantikan. Kalau pemimpin itu disebut khalifah, itu artinya ia harus bisa berada di belakang untuk menjadi pendorong diri dan orang yang dipimpinnya untuk maju dalam menjalani kehidupan yang baik dan benar sekaligus mengikuti kehendak dan arah yang dituju oleh orang yang dipimpinnya kearah kebenaran.
Dari pengantar di atas, terasa dan terbayang sekali betapa dalam pandangan Islam, pemimpin memiliki kedudukan yang sangat penting, karenanya siapa saja yang menjadi pemimpin tidak boleh dan jangan sampai menyalahgunakan kepemimpinannya untuk hal-hal yang tidak benar. Karena itu, para pemimpin dan orang-orang yang dipimpin harus memahami hakikat kepemimpinan dalam pandangan Islam yang secara garis besar dalam lima lingkup.
1. Tangung Jawab, Bukan Keistimewaan.
Ketika seseorang diangkat atau ditunjuk untuk memimpin suatu lembaga atau institusi, maka ia sebenarnya mengemban tanggung jawab yang besar sebagai seorang pemimpin yang harus mampu mempertanggungjawabkannya,. Bukan hanya dihadapan manusia tapi juga dihadapan Allah Swt. Oleh karena itu, jabatan dalam semua level atau tingkatan bukanlah suatu keistimewaan sehingga seorang pemimpin atau pejabat tidak boleh merasa menjadi manusia yang istimewa sehingga ia merasa harus diistimewakan dan ia sangat marah bila orang lain tidak mengistimewakan dirinya.
2. Pengorbanan, Bukan Fasilitas
Menjadi pemimpin atau pejabat bukanlah untuk menikmati kemewahan atau kesenangan hidup dengan berbagai fasilitas duniawi yang menyenangkan, tapi justru ia harus mau berkorban dan menunjukkan pengorbanan, apalagi ketika masyarakat yang dipimpinnya berada dalam kondisi sulit dan sangat sulit.
3. Kerja Keras, Bukan Santai.
Para pemimpin mendapat tanggung jawab yang besar untuk menghadapi dan mengatasi berbagai persoalan yang menghantui masyarakat yang dipimpinnya untuk selanjutnya mengarahkan kehidupan masyarakat untuk bisa menjalani kehidupan yang baik dan benar serta mencapai kemajuan dan kesejahteraan. Untuk itu, para pemimpin dituntut bekerja keras dengan penuh kesungguhan dan optimisme.
4. Kewenangan Melayani, Bukan Sewenang-Wenang.
Pemimpin adalah pelayan bagi orang yang dipimpinnya, karena itu menjadi pemimpin atau pejabat berarti mendapatkan kewenangan yang besar untuk bisa melayani masyarakat dengan pelayanan yang lebih baik dari pemimpin sebelumnya, Rasulullah Saw bersabda: Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka (HR. Abu Na'im) Oleh karena itu, setiap pemimpin harus memiliki visi dan misi pelayanan terhadap orang-orang yang dipimpinnya guna meningkatkan kesejahteraan hidup, ini berarti tidak ada keinginan sedikitpun untuk menzalimi rakyatnya apalagi menjual rakyat, berbicara atas nama rakyat atau kepentingan rakyat padahal sebenarnya untuk kepentingan diri, keluarga atau golongannya. Bila pemimpin seperti ini terdapat dalam kehidupan kita, maka ini adalah pengkhianat yang paling besar, Rasulullah Saw bersabda: Khianat yang paling besar adalah bila seorang penguasa memperdagangkan rakyatnya (HR. Thabrani).
5. Keteladanan dan Kepeloporan, Bukan Pengekor.
Dalam segala bentuk kebaikan, seorang pemimpin seharusnya menjadi teladan dan pelopor, bukan malah menjadi pengekor yang tidak memiliki sikap terhadap nilai-nilai kebenaran dan kebaikan. Ketika seorang pemimpin menyerukan kejujuran kepada rakyat yang dipimpinnya, maka ia telah menunjukkan kejujuran itu. Ketika ia menyerukan hidup sederhana dalam soal materi, maka ia tunjukkan kesederhanaan bukan malah kemewahan. Masyarakat sangat menuntut adanya pemimpin yang bisa menjadi pelopor dan teladan dalam kebaikan dan kebenaran.
Dari penjelasan di atas, kita bisa menyadari betapa penting kedudukan pemimpin bagi suatu masyarakat, karenanya jangan sampai kita salah memilih pemimpin, baik dalam tingkatan yang paling rendah seperti kepala rumah tanggai, ketua RT, pengurus masjid, lurah dan camat apalagi sampai tingkat tinggi seperti anggota parlemen, bupati atau walikota, gubernur, menteri dan presiden. Karena itu, orang-orang yang sudah terbukti tidak mampu memimpin, menyalahgunakan kepemimpinan untuk misi yang tidak benar dan orang-orang yang kita ragukan untuk bisa memimpin dengan baik dan kearah kebaikan, tidak layak untuk kita percayakan menjadi pemimpin.
Pada hakikatnya reformasi di Indonesia mencita-citakan adanya sistem pemerintahan yang baik, bersih, dan anti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Cita-cita ini diharapkan dapat berimplikasi pada peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat serta terangkatnya martabat bangsa Indonesia di mata dunia internasional. Namun apa yang dialami dan dirasakan oleh masyarakat sekarang ini belum sesuai dengan cita-cita tersebut.
Era reformasi satu dekade berlalu, namun pengelolaan pemerintahan Indonesia masih sarat silang-sengkarut oleh kepentingan-kepentingan elit yang tidak kunjung mendekat pada kemakmuran rakyat bersama (bad governance). Kaburnya standar dan komitmen moral, diperparah dengan lemahnya penegakan hukum dan perlakuan diskriminatif terhadap koruptor, tidak saja memperburuk kultur birokrasi, tetapi juga merusak perilaku masyarakat dan bangunan budaya yang sehat. Bahkan, yang lebih memprihatinkan adalah para tokoh agama dan intelektual kampus telah menjelma dan bermetamorfosis menjadi aktor politik, lalu terbawa arus, yang kemudian mengaburkan komitmen moral-intelektualnya.
Berangkat dari keprihatinan terhadap kondisi sosial bangsa Indonesia tersebut, saya berkeinginan menggugah dan mengetuk hati para pemimpin bangsa ini, penyelenggara negara, wakil rakyat, pembuat kebijakan, aparat penegak hukum dan semua masyarakat yang menjadi stakeholder negara dan bangsa Indonesia untuk membuka mata