Lelaki bernama Lacinta alias Baba (82), warga asal Kelurahan Massepe itu secara gamblang menceritakan asal senjata api rakitan (Senpira) jenis 'Papporo' yang polisi darinya. Sehari-harinya, Lacinta berprofesi sebagai pandai besi di kampungnya.
Lacinta memang mengaku sangat suka dan hobbi merakit senjata. Tak jarang, dia sering merakit senjata-senjata api jenis Papporo. Alasannya, karena mudah. Hanya butuh pipa bekas dan besi bekas untuk 1 senjata. Selain itu, hanya dengan modal sekira Rp20 ribu, Lacinta mengaku sudah bisa membuat 1 senjata jenis laras panjang. Modal itu hanya untuk membeli bahan seperti peluru jenis senapan angin dan korek kayu.
Keahliannya sebagai "panre bessi" selama bertahun-tahun membantunya merakit senjata. Bentuknyapun bervariasi, mulai laras panjang hingga laras pendek.
Dituturkan Lacinta, senjata rakitan itu ia coba buat sendiri setelah dasar pembuatan senjata, dia beli seharga Rp10 ribu dari salah satu bengkel las di Kelurahan Amparita, Kecamatan Tellu Limpoe 4 bulan silam.
Karena cara merakitnya sangat gampang, Lacinta pun mulai memproduksinya, meski sejauh ini jumlah yang dirakitnya masih terbatas. Itupun ia gunakan hanya untuk memuaskan hobbinya berburu.
Lantas, bagaimana dengan pelurunya?. Sederhana, kata Lacinta.
Cukup membeli peluru jenis senapan angin dan korek api kayu, ia sudah bisa menembakkan 20 biji peluru sekaligus hanya dengan sekali kokang.
Dimata rekan-rekannya di Massepe, senjata rakitan Lacinta terbilang sangat ampu. Untuk sekali tembak, sasaran semisal bangau yang bergerombol, bisa kena 5 hingga 10 ekor.
"Awalnya saya mencoba membuat, setelah saya ujicoba dan berhasil, banyak yang mengakui kehebatan senjata rakitan saya, bahkan beberap orang teman dekat saya, mengaku dan meminta untuk dibuatkan," tutur Lacinta polos.
Untuk cara kerja 'Papporo', Lacinta memasukkan terlebih dahulu 3 buah kotak korek kayu atau 300 batang korek kayu, kemudian 20 biji peluru senapan angin (tergantung keinginan) dan sabuk kelapa untuk mendorong peluru-peluru tersebut. Meski membutuhkan sedikit waktu untuk mengokang senjata itu, namun hasilnya sangat memuaskan.
"Kalau saya pergi berburu bangau atau kelelawar, saya bisa bawa pulang 10 hingga 20 ekor," katanya.
Kelelawar hasil burunnya kemudian dijual seharga Rp500 perekor. Lacinta bahkan banyak menerima pesanan kelelawar yang biasa digunakan untuk pengobatan penyakit asma.
Sayangnya, keahliannya merakit senjata, tidak dibarengi dengan pengetahuan tentang larangan penggunaan senjata api rakitan. Lacinta pun bebas membawa senjatanya kemanapun ia pergi berburu. Tterakhir, ia ikut membantu warga berburu monyet di lereng Bulu Loa atas permintaan salah satu rekannya yang tinggal di lokasi tersebut.
"Saya tidak tahu, kalau senjata rakitan saya ternyata dilarang untuk digunakan bebas. Padahal, niat saya hanya ingin membantu warga karena dipanggil sendiri teman saya di Bulu Loa untuk berburu monyet liar," ketusnya.
Pria yang ketika masih muda dijuluki "si Rambo" itu, juga mengaku pernah dipenjara tahun 1991 silam. Waktu itu, dia disangkakan kepemilikan senjata api semi otomatis jenis 'machine gun' yang dikoleksinya sejak dari jaman penjajahan Belanda. Begitupun pelurunya yang ia dapatkan dari tentara gerilyawan saat masih muda. Peristiwa itulah yang menggiring dirinya ke sel tahanan dan divonis selama 20 tahun penjara.
"Waktu itu, saya ditangkap setelah lelah bergerilya di hutan sebagai buronan aparat selama beberapa tahun. Seingat saya, waktu di penjara, sering dipindah-pindah seperti di Sidrap, kemudian dipindahkan ke Makassar, Barru, Parepare. Terakhir saya bebas di Bone. Vonis saya itu sampai 20 tahun," kenang Lacinta.
Kini, kasus serupa kembali menanti "si Rambo" usur itu. Menurut proses penyidikan di Kepolisian, lelaki bertatto di lengan kanannya ini diancamkan karena kepemilikan senjata api tanpa disertai dokumen resmi yaitu pasal Undang-undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 yang disebutkan hukuman maksimal 10 tahun penjara.