Hari itu seperti biasa, jadwal tetap untuk bimbingan tesis. Semua bahan sudah disusun rapi dalam tas, semua lengkap tanpa ada satupun yang tertinggal. Langkah sudah mantap, argumen-argumen pendukung dalam menjawab pertanyaan dosen pembimbing seputar permasalahan yang diangkat sudah tertata dengan baik dipikiran. Tekat pun sudah bulat, hari ini harus ada keputusan untuk melangkah pada bab selanjutnya.
Motor vespa hijau cedar yang selalu menemani kemanapun aku pergi sudah dipanaskan, tampaknya ia pun sudah siap mengantar kemanapun aku melangkah. Dengan langkah pasti, bismillahi tawakaltu…..,gigi satu dioper, dan gas mulai ditarik, seketika vespa jalan tanpa hambatan.
Jarak yang ditempuh cukup jauh, kurang lebih 20 menit perjalanan yang biasa dihabiskan untuk menuju kampus. Itu juga dengan kecepatan tak lebih dari 60 km/jam. Biasanya sembari merayapi jalanan, tak henti lisan terus mengulang-ulang hafalan Qur’an, hitung-hitung menguatkan hafalan. Karena kata Rasul, “hafalan itu ibarat kuda yang kencang larinya, jika tak diikat maka ia akan hilang.” Atau jika tidak mengulang-ulang hafalan, mencoba menguraikan berbagai ide-ide segar yang tertangkap penglihatan sepanjang jalanan dan nanti ketika pulang coba dirangkai dengan tulisan-tulisan sederhana.
Jarak tempuh baru setengah perjalanan, dua lampu merah telah dilalui ini artinya tak ada lagi lampu merah yang akan dilewati dan perjalanan akan mulus sampai tujuan. Setidaknya itu pikiran dalam benakku ketika itu.
Baru melantunkan beberapa ayat dari surat ar-Rahman, aku dikagetkan dengan teriakan yang keras sekali. Aku memprediksikan jarak sumber suara denganku kira-kira sepuluh meter di belakang
“JAMBRET…JAMBRET…TOLONG.…TOLONG….SAYA DIJAMBRET…”
Aku panik tak kepalang, aku coba melihat ke sepion, MasyaAllah aku lupa sepionku terlalu kecil untuk bisa melihat ke belakang. Tanpa pikir panjang aku menoleh kepala ke belakang, untuk memastikan motor mana yang dituduh sebagai penjambret? Sempat bingung karena banyak motor yang bergerak cepat, penglihatanku untuk sementara menjadi statis tanpa respon yang cepat, karena kebingungan motor mana yang menjadi terdakwah sebagai penjambret. Ketika motor korban berada persis di sampingku, sambil terus mengiba dan berteriak kencang “jambret..jambret..tolong tangkap jambretnya pak” sambil menunjuk ke arah satu motor, barulah aku sadar motor mana yang telah menjambret sang ibu.
Tanpa pikir panjang, kugeber kencang vespaku hingga meraung-raung. Ternyata banyak yang ikut membantu sang ibu mengejar sang jambret. Bak arena balap, para pengemudi motor yang ikut mengejar seolah saling berlomba ingin menjadi yang terdepan. Tentu saja, sang jambret tanpa kalah menarik kencang gasnya agar terbebas dari kejaran para pengemudi lain.
Tak mau kalah, gas vespaku kutarik sampai menemui batasnya. Kaca helm bututku – yang sebenarnya tak layak lagi disebut helm – mengganggu penglihatanku, kadang tertutup, kadang terbuka mengikuti irama angin. Namun itu tak jadi masalah berarti bagiku, pandanganku tetap fokus ke arah penjambret. Materi motivasi “the power of focus” yang beberapa hari lalu sempat aku berikan pada pelatihan dan motivasi bagi pengurus LDF sebuah universitas negeri tampaknya saat ini bermanfaat bagiku. Itu semakin membuatku percaya diri. Satu persatu motor lain tersusul olehku. Dan ajaib aku menjadi yang terdepan, jarak antara aku dan penjambret hanya berjarak lima meter.
Menyadari ada motor yang mampu mengejar, sang jambret panik. Ada jalur pertigaan di depan dan naas bagi sang penjambret, ia memilih jalur sempit sebelah kiri. Aku tersenyum sinis penuh dengan kemenangan. Dalam hati aku berucap “kena kau jambret, jalur yang kau pilih adalah jalur menuju kampusku, jangan kau pikir bisa membodohi aku karena setiap inci sudut jalan aku tahu kemana arahnya..bahkan sambil memejamkan mata pun aku takkan tersesat hehehehehe”.
Prediksiku benar ia malah terus menerus mencari jalan keluar, memasuki gang demi gang, tampaknya si jambret ceroboh memilih jalur. Aku sedang di atas angin, jarak antara aku dan jambret semakin dekat kira-kira hanya berjarak tiga meter saja.
Mesin motor vespaku yang meraung-raung tak aku perdulikan. Sembari melihat kebelakang masih ada tidak motor lain yang ikut mengejar? Ternyata masih banyak yang ikut mengejar. Dengan semangat 45, kugeber vespaku sejadi-jadinya. Perasaanku saat itu mungkin beda tipis dengan perasaan Khalid Bin Walid yang sangat bersemangat mengejar dan memporak-porandakan tentara Romawi dalam perang Mu’tah.
Mesin menderu-deru, asap mengepul tak karuan dan motorku terus terbatuk-batuk karena usia. Malang tak dapat ditolak mujur tak dapat diraih, akhirnya hal yang kutakutkan terjadi, mesin motor vespaku mati karena panas. Butuh waktu lama agar ia bisa dihidupkan kembali. Tertunduk lemas menahan malu, baru tau aku rasanya bagaimana perasaan Valentino Rosi jika tak menginjak podium no 1, getir, hampa, dan hati serasa retak seribu. Pupus sudah jalan untuk membantu saudara.
Sambil tersenyum kecut aku menunjuk kearah penjambret ketika seorang bapak-bapak bertanya “nak kemana arah si jambret?”. Belum hilang rasa malu, seorang pemuda menghampiri dengan mimik wajah penuh tanda tanya, “kenapa mas? ko’ malah berhenti? Padahal sedikit lagi tuh dapet jambretnya.” Aku kembali tersenyum kecut untuk kedua kalinya sambil menjawab “motornya ga’ sanggup ngejer lagi mas, mesinnya mati.”
--oOo--
Sangat disayangkan bangsa yang katanya beradab, memegang tradisi ketimuran yang gemar menolong, pantang menyakiti orang lain, ternyata masih dihuni oleh tabiat-tabiat penyamun. Menguap entah kemana, ketika para guru mendefinisikan arti moral dan budi pekerti di dalam kelas-kelas? Memuai entah kemana, ketika guru ngaji setelah mengajarkan huruf-huruf hijaiyah kemudian dilanjutkan dengan menjabarkan dengan panjang, nikmat syurga dan dahsyatnya neraka kepada kita? Entah ketika guru mendefinisikan moral atau budi pekerti, kita tertidur dengan khusyuk Ataukah ketika guru ngaji menjabarkan syurga dan neraka serta pentingnya akhlakul karimah kita membolos bersama teman-teman lebih memilih tanah lapang untuk bercanda ria dan membasahi tubuh dengan keringat memainkan berbagai permainan tradisional.
Sadarkah ketika telah lahir di dunia, nama kita dibuat dan sebuah perayaan kecil berupa aqiqah sebagai wujud tanda kesyukuran orang tua karena telah diberi permata hati, seketika itu semua yang hadir dan menyaksikan helai demi helai rambut kita dicukur, sebuah doa terselipkan agar kita menjadi anak yang sholeh, dan anak yang berguna bagi nusa dan bangsa kita. Setidaknya bagi yang kurang mampu, dalam waktu yang panjang do’a-do’a untuk buah hati itu tetap membahana menggetarkan langit. Namun, betapa kecewanya ketika dewasa pendidikan yang ditanamkan sejak kecil menguap entah kemana.
Mentalitas bobrok sampai saat ini membayangi masa depan anak bangsa. Bagaimana tidak, berbagai kecurangan dan pemalsuan terjadi di negeri ini. Hingga wajar jika Negara ini mendapat predikat termasuk sebagai Negara pemalsu terbesar di dunia. Ironis memang, namun itulah kenyataannya.
Jika mereka masih hidup, melihat berbagai kerusakan yang terjadi pada bangsa ini jelas membuat air mata para pembangun negeri mengucur deras. Bagaimana tidak? Mereka telah bersusah payah menanamkan jati diri bangsa sebagai warisan yang seharusnya dijaga dengan baik. Namun sekali lagi, hanya menyisakan kepiluan bagi orang-orang memegang norma-norma dengan sekuat tenaga mereka dan akhirnya hanya bisa mengurut dada dan terisak-isak dalam kesedihan yang mendalam.
Pencurian, penjarahan, dan berbagai bentuk kejahatan sebenarnya muncul sejak lama. Bahkan dimulai dari anak adam yang pertama, aroma kejahatan mulai menyeruak demi memaksakan kehendak. Bahkan di zaman Rasulullah, pencurian yang apa pun bentuknya tetap mendapatkan prioritas takaran hukuman yang jelas. Bahkan Rasulullah menjadi teladan dengan tanpa pandang bulu akan menghukum siapa pun yang mencuri, termasuk jika anak kesayangannya Fatimah yang mencuri.
Namun optimisme untuk bangkit masih tetap ada. Mental bangsa ini akan kembali bangkit, seiring dengan memperkokoh karakteristik bangsa yang telah tertidur. Kuncinya harus dimulai dari diri kita, dan sebagai seorang muslim jelas tak ada nilai yang terbaik selain menjalankan al-Qur’an dan sunnah dengan sepenuh hati demi munculnya peradaban Islam yang sejak awal mewarnai karakteristik dan jati diri bangsa ini.
SEMANGAT PERUBAHAN…!!!!! ALLAHUAKBAR….!!!!!