Catatan Harian Juni 2009:
Hari itu jadwal kuliah kosong, waktu menunjukkan kurang lebih pukul 10.00 WIB, kira-kira 2 jam lagi akan masuk waktu zhuhur. Sembari menunggu azan bergema dari masjid sekitar kampus, cukup banyak waktu untuk ngobrol bersama temen-teman seputar isu-isu pendidikan sekaligus melanjutkan diskusi mata kuliah seminar pendidikan Islam yang baru saja selesai.
Diskusi ringan sampai debat kusir berlangsung, mulai dari membicarakan posisi pendidikan Islam, permasalahan madrasah, posisi pesantren hingga mengomentari pendidikan Nasional secara umum, dari fenomena tim sukses dalam ujian nasional, pro kontra ujian nasional, kekerasan guru terhadap murid, hingga pelecehan seksual yang dilakukan oknum guru terhadap peserta didik menjadi isu menarik untuk diperbincangkan.
Menit demi menit berjalan, tanpa sadar pembicaraan berlanjut pada isu dakwah, berawal dari curhatan seorang teman yang menganggap saat sudah semakin sulit mencari kader dakwah yang siap berdakwah tanpa melihat obyek dakwahnya. Kebetulan waktu itu ia sedang mencari pengganti untuk menggantikan dirinya memberikan materi dakwah pada sebuah LDK di Universitas Negeri, kebetulan disaat bersamaan ia diminta keluarga untuk segera pulang kampung karena ada urusan yang tidak bisa ditinggalkan. Beberapa teman mulai dihubungi, namun semua jawaban tetap sama intinya sedikit menolak kalau mengisi acara LDK dan berbau kegiatan kerohanian Mahasiswa, kecuali kegiatan berupa seminar atau pelatihan komersial lainnya. Tentu saja sangat bisa dipahami mengisi di kampus-kampus apalagi dalam kaitan kegiatan dakwah kampus memang membutuhkan tingkat keikhlasan yang tinggi. Jarang yang bisa memberikan uang transport, syukur-syukur kalau mendapat kado berupa buku, bahkan tak jarang pulang dengan tangan hampa bonusnya hanya senyuman manis dan ucapan terima kasih saja.
Akhirnya terpaksa ia mengundur jadwal kepulangannya demi mengisi materi dakwah di kampus tersebut. Dan berharap mendapat keberkahan dari Allah atas apa yang diberikannya di jalan dakwah. InsyaAllah….
--oOo--
Tak ada yang menyalahkan seseorang atas niat dalam hatinya, termasuk di jalan dakwah. Karena sejatinya seseorang melakukan sesuatu berdasarkan niatnya masing-masing. Seorang ayah membanting tulang, memeras keringat mencari nafkah tak lain niatnya agar Istri dan anak-anaknya dapat memenuhi hajat rumah tangga berupa sandang, pangan, papan dan pendidikan. Seorang ibu membesarkan anak-anaknya tak lain niatnya agar anak-anaknya menjadi orang yang luar biasa baik bagi agama, negara, dan bagi kehidupannya kelak di dunia dan akhirat. Termasuk yang mendeklarasikan dirinya sebagai pengemban dakwah, ada yang niatnya benar-benar ikhlas namun tak sedikit yang mencari nafkah dari dakwah.
Niat menjadi sebuah keniscayaan dalam bertindak, karena sejatinya niat adalah ruh dalam berbagai tindakannya. Sukses atau tidaknya bergerak dan bertindak adalah niatnya. Karena sesungguhnya bangunan amal berdiri kokoh juga atas landasan niat. Tak heran jika Rasulullah bersabda “sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung pada niat dan apa yang didapatkan oleh setiap orang tergantung pada niatnya.” (HR. Abu Daud, an-Nasa’i). Maka jelas, antara amal dan niat seperti sebuah garis lurus yang seimbang, menyatu dan tak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Apalagi dalam konteks untuk mendapatkan keridhoan Allah.
Simak dengan iman bagaimana Allah berfirman: “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali (bisikan-bisikan) orang yang menyuruh bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mendamaikan diantara manusia. Dan siapa yang berbuat demikian dengan maksud mencari keridhoan Allah, tentulah Kami akan memberi kepadanya pahala yang sangat besar.” (QS. An-Nisa:114)
Maka sangat sulit membedakan antara keikhlasan dan penyakit hati (ujub, riya, sum’ah). Karena keduanya tersembunyi dalam hati dan tak bisa dideteksi melalui panca indra. Sehingga wajar bila ada orang shalih menyebutkan, "seandainya dosa itu bisa berupa aroma busuk yang menempel di jasad pelakunya, maka mungkin diriku akan berdiam diri di rumah, karena takut aroma busuk yang keluar dari jasadku akibat dosa-dosa yang aku lakukan mengganggu penciuman orang-orang disekitarku”.
Ironisnya, jalan dakwahpun masih sangat rentan terhadap niat-niat yang tidak sepatutnya membayangi setiap gerak dakwah. Karena sesungguhnya dakwah akan bermanfaat jika niatnya ikhlas untuk Allah dan hanya untuk kemaslahatan ummat dan mewujudkan peradaban Islam yang indah, lebih dari itu tidak.
Bayangkan jika yang ada di kepala para pelaku dakwah hanya nominal sejumlah angka-angka. Maka dakwahnya tak lebih berarti dari lembaran uang. Maka tak heran jika objek dakwahnya akan sulit menerima apa yang disampaikannya dan bahkan ketika detik terakhir salam untuk menyelesaikan dakwahnya, materi yang dipaparkan menguap entah kemana. Karena keberkahan ilmu salah satunya terletak dari niat yang terhujam tulus.
Jangan pernah khawatir atas niat ikhlas, karena Allah tak pernah menyia-nyiakan perbuatan baik seseorang. Bacalah sejarah tentang Ummu Sulaim, bagaimana keihlasan yang ia miliki atas kepergian seorang anak yang ia cintai mampu menggetarkan pintu langit dan berbalik mendapatkan keberkahan dari Allah berupa seratus anak dan cucu, tak tanggung-tanggung kesemuanya hafal al-Qur’an sejak usia belia.
Belum sampaikah kepada kita atau belum masuk daftar hafalan kitakah ayat Allah: “Barang siapa berbuat kebaikan maka Allah akan menggantikan dengan yang lebih baik” (QS.An-Naml: 89) dan di ayat yang lain Allah berfirman: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)
Ya Rabbi, teguhkan keikhlasan pada kami, dalam berbuat, bertindak dan berjuang di jalan-Mu karena sesungguhnya yang paling baik adalah keberkahan dari Mu.
Ya Rabbi, jika tanpa sadar kami memunculkan niat yang ingkar, maka sucikan niat kami kembali, dan ingatkanlah kami akan balasan dari Mu, serta ampuni kam
Diskusi ringan sampai debat kusir berlangsung, mulai dari membicarakan posisi pendidikan Islam, permasalahan madrasah, posisi pesantren hingga mengomentari pendidikan Nasional secara umum, dari fenomena tim sukses dalam ujian nasional, pro kontra ujian nasional, kekerasan guru terhadap murid, hingga pelecehan seksual yang dilakukan oknum guru terhadap peserta didik menjadi isu menarik untuk diperbincangkan.
Menit demi menit berjalan, tanpa sadar pembicaraan berlanjut pada isu dakwah, berawal dari curhatan seorang teman yang menganggap saat sudah semakin sulit mencari kader dakwah yang siap berdakwah tanpa melihat obyek dakwahnya. Kebetulan waktu itu ia sedang mencari pengganti untuk menggantikan dirinya memberikan materi dakwah pada sebuah LDK di Universitas Negeri, kebetulan disaat bersamaan ia diminta keluarga untuk segera pulang kampung karena ada urusan yang tidak bisa ditinggalkan. Beberapa teman mulai dihubungi, namun semua jawaban tetap sama intinya sedikit menolak kalau mengisi acara LDK dan berbau kegiatan kerohanian Mahasiswa, kecuali kegiatan berupa seminar atau pelatihan komersial lainnya. Tentu saja sangat bisa dipahami mengisi di kampus-kampus apalagi dalam kaitan kegiatan dakwah kampus memang membutuhkan tingkat keikhlasan yang tinggi. Jarang yang bisa memberikan uang transport, syukur-syukur kalau mendapat kado berupa buku, bahkan tak jarang pulang dengan tangan hampa bonusnya hanya senyuman manis dan ucapan terima kasih saja.
Akhirnya terpaksa ia mengundur jadwal kepulangannya demi mengisi materi dakwah di kampus tersebut. Dan berharap mendapat keberkahan dari Allah atas apa yang diberikannya di jalan dakwah. InsyaAllah….
--oOo--
Tak ada yang menyalahkan seseorang atas niat dalam hatinya, termasuk di jalan dakwah. Karena sejatinya seseorang melakukan sesuatu berdasarkan niatnya masing-masing. Seorang ayah membanting tulang, memeras keringat mencari nafkah tak lain niatnya agar Istri dan anak-anaknya dapat memenuhi hajat rumah tangga berupa sandang, pangan, papan dan pendidikan. Seorang ibu membesarkan anak-anaknya tak lain niatnya agar anak-anaknya menjadi orang yang luar biasa baik bagi agama, negara, dan bagi kehidupannya kelak di dunia dan akhirat. Termasuk yang mendeklarasikan dirinya sebagai pengemban dakwah, ada yang niatnya benar-benar ikhlas namun tak sedikit yang mencari nafkah dari dakwah.
Niat menjadi sebuah keniscayaan dalam bertindak, karena sejatinya niat adalah ruh dalam berbagai tindakannya. Sukses atau tidaknya bergerak dan bertindak adalah niatnya. Karena sesungguhnya bangunan amal berdiri kokoh juga atas landasan niat. Tak heran jika Rasulullah bersabda “sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung pada niat dan apa yang didapatkan oleh setiap orang tergantung pada niatnya.” (HR. Abu Daud, an-Nasa’i). Maka jelas, antara amal dan niat seperti sebuah garis lurus yang seimbang, menyatu dan tak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Apalagi dalam konteks untuk mendapatkan keridhoan Allah.
Simak dengan iman bagaimana Allah berfirman: “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali (bisikan-bisikan) orang yang menyuruh bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mendamaikan diantara manusia. Dan siapa yang berbuat demikian dengan maksud mencari keridhoan Allah, tentulah Kami akan memberi kepadanya pahala yang sangat besar.” (QS. An-Nisa:114)
Maka sangat sulit membedakan antara keikhlasan dan penyakit hati (ujub, riya, sum’ah). Karena keduanya tersembunyi dalam hati dan tak bisa dideteksi melalui panca indra. Sehingga wajar bila ada orang shalih menyebutkan, "seandainya dosa itu bisa berupa aroma busuk yang menempel di jasad pelakunya, maka mungkin diriku akan berdiam diri di rumah, karena takut aroma busuk yang keluar dari jasadku akibat dosa-dosa yang aku lakukan mengganggu penciuman orang-orang disekitarku”.
Ironisnya, jalan dakwahpun masih sangat rentan terhadap niat-niat yang tidak sepatutnya membayangi setiap gerak dakwah. Karena sesungguhnya dakwah akan bermanfaat jika niatnya ikhlas untuk Allah dan hanya untuk kemaslahatan ummat dan mewujudkan peradaban Islam yang indah, lebih dari itu tidak.
Bayangkan jika yang ada di kepala para pelaku dakwah hanya nominal sejumlah angka-angka. Maka dakwahnya tak lebih berarti dari lembaran uang. Maka tak heran jika objek dakwahnya akan sulit menerima apa yang disampaikannya dan bahkan ketika detik terakhir salam untuk menyelesaikan dakwahnya, materi yang dipaparkan menguap entah kemana. Karena keberkahan ilmu salah satunya terletak dari niat yang terhujam tulus.
Jangan pernah khawatir atas niat ikhlas, karena Allah tak pernah menyia-nyiakan perbuatan baik seseorang. Bacalah sejarah tentang Ummu Sulaim, bagaimana keihlasan yang ia miliki atas kepergian seorang anak yang ia cintai mampu menggetarkan pintu langit dan berbalik mendapatkan keberkahan dari Allah berupa seratus anak dan cucu, tak tanggung-tanggung kesemuanya hafal al-Qur’an sejak usia belia.
Belum sampaikah kepada kita atau belum masuk daftar hafalan kitakah ayat Allah: “Barang siapa berbuat kebaikan maka Allah akan menggantikan dengan yang lebih baik” (QS.An-Naml: 89) dan di ayat yang lain Allah berfirman: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)
Ya Rabbi, teguhkan keikhlasan pada kami, dalam berbuat, bertindak dan berjuang di jalan-Mu karena sesungguhnya yang paling baik adalah keberkahan dari Mu.
Ya Rabbi, jika tanpa sadar kami memunculkan niat yang ingkar, maka sucikan niat kami kembali, dan ingatkanlah kami akan balasan dari Mu, serta ampuni kam