Kisah ini tepatnya terjadi ditahun 2006. Waktu telah lama berjalan, namun kenangannya masih terus bergelanyut terang diingatan. Tak ada yang terlupakan, semua jelas mulai dari intonasi, titik hingga koma.
Bermula dari akan diadakannya syuro’ persiapan sebuah agenda besar pelaksanaan program kerja relawan sebuah lembaga zakat. Sembari menunggu relawan yang lain, aku duduk bersandar pada jok mobil ambulance yang disulap menjadi sofa pemanis ruang tamu. Ditemani Koran lokal, waktu menunggu menjadi tak terlalu menjemukan.
Kebetulan ruang tamu tempat aku menunggu letaknya bersebelahan dengan ruangan amil yang khusus menampung uang-uang hasil kolektor yang dikumpulkan dari celengan-celengan yang disebar seantero wilayah palembang dan sekitarnya.
Karena hanya bersekat terali yang tak begitu rapat, siapa pun bisa dengan mudah melihat aktifitas di dalamnya. Kebetulan waktu itu aku melihat ada seorang amil yang sedang sibuk mengumpulkan dan mengklasifikasi jumlah nominal agar dapat dengan mudah menghitung logam-logam uang yang bertumpuk begitu banyak.
Kebetulan aku sangat mengenal amil ini. Seringkali aku berdiskusi kecil tentang berbagai hal, termasuk tentang strategi perkembangan dakwah para relawan (karena kebetulan sebelum menjadi amil, ia juga seorang relawan sepertiku, yang kemudian mendapatkan amanah sebagai amil).
Tampaknya ia begitu menikmati aktivitasnya, itu terlihat dari tangan yang terampil dan cekatan, dan senyum yang terus mengembang. Padahal bagiku itu adalah pekerjaan yang sangat membosankan. Bagaimana tidak? Seharian berkutat dengan uang logam yang bertumpuk jumlahnya, disusun, kemudian dihitung nominalnya. Jika salah hitung sudah dapat dipastikan harus mengulang dari awal.
Hampir sepuluh menit aku disitu, aku melihatnya tetap dalam gerakan yang sama, memisahkan nominalnya dan menghitung. Tanpa sedikitpun beranjak dari tempatnya. Bahkan kehadiranku pun tak membuatnya bergeming. Padahal jika melihat seseorang yang datang ia akan dengan sangat sopan tersenyum lalu kemudian mengatur jarak dan dapat dipastikan ia tanpa hanya sekedar basa-basi akan menanyakan kabar. Namun kali ini tidak, aku semakin yakin ia sedang dalam kondisi mengkonsentrasikan pikiran tingkat tinggi, atau dalam bahasa asingnya setara dengan istilah the power of focus.
Tanpa sadar aktifitasnya membuatku berfikir banyak dan muncul berbagai pertanyaan yang tak bisa ku sembunyikan. Dan aku ingin manyakan beberapa pertanyaan padanya. Sambil berdehem cukup keras, dan tampaknya ia sedikit kaget mendengar suaraku itu. Namun dalam waktu yang singkat ia bisa menghilangkan kekagetannya dengan sebuah senyuman khas yang biasa ia berikan kepada siapa saja.
“ Eheeeemmm, Assalamu’alaikum, lagi ngapain mba’? kayaknya dari tadi asik banget kerjanya sampe saudara dateng dicuekin” sapaku dengan sopan
“Astaghfirullah, Wa’alaikumsalam, eh udah lama datangnya ya Dek? Mba’ sampe kaget denger suaranya. Ko ga’ negor? Biasanya kan suka ngagetin orang.” Ia kaget, sambil menoleh kearahku sebentar, lalu tersenyum kemudian kembali meneruskan pekerjaannya.
“Ini udah dikagetin kan? Hehehehe” jawabku dengan cepat.
“Iya mangkanya aneh aja ko negornya bisa telat gitu?” sambil terus melanjutkan pekerjaannya.
“Mba’, boleh Tanya ga’?”
“Ya..tanya aja, biasanya juga langsung ngerocos aja, ini ko minta izin segala dek?”
“engga, siapa tau ntar ganggu kerjaannya Mba’ kan”
“Kalo ganggu mungkin udah dari tadi Mba’ bakalan bilang, afwan ya Dek, Mba’ lagi sibuk nih. Jadi jangan diganggu dulu”
“hehehehehe..gini Mba’, Mba’ kan lulusan universitas negeri, trus punya IPK yang lebih dari cukup untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih dari sekarang. Ko malah bertahan dengan pekerjaan yang seperti ini?
“ooo mo nanya itu? Mba’ pengen nanti ketika Allah bertanya tentang apa yang Mba’ lakukan di dunia, uang-uang yang sekarang Mba’ susun ini bersaksi bahwa Mba’ pernah menorehkan catatan amal perjuangan untuk agama Allah.”
Aku diam seribu bahasa. Tak terpikirkan jika akan mendapatkan jawaban yang seperti itu. Hatiku berguncang keras, jantungku seketika berdegup kencang. Ada getaran-getaran yang membuat seluruh tubuh merinding. Aku tak bisa berkata-kata banyak hanya bisa membalas dengan ucapan lirih di dalam hati.
“Ya Rabb…berikan aku jalan kehidupan yang mengantarkan aku pada amal dan senantiasa berjuang di jalan-Mu.”
--ooOoo--
Kehidupan ternyata punya jalannya sendiri untuk membuat kita mengerti tentang hakikat hidup. Terkadang kehidupan membuat manusia lalai dari ketaatan karena manusia itu sendiri yang mengarahkan kehidupannya untuk menjauh dari ketaatan. Namun banyak juga manusia yang mampu menyetir kehidupannya untuk meraih kemuliaan yang mengantarkan mereka pada kebahagiaan hidup.
Kehidupan hanyalah sebuah cara untuk kita mengerti sesuatu. Kehidupan pula yang akhirnya mengajarkan kita arti semangat, berjuang, pantang menyerah dan istiqamah. Kehidupan hanya pemaknaan sementara atas umur yang sedikit. Kehidupan hanya sebatas realitas sempit untuk menuju kehidupan yang kekal abadi. Jika tergelincir sedikit saja maka berhati-hatilah kehidupan akan melibas kita dengan rasa penyesalan yang tak berujung. Namun jika kita mampu mentawazzunkan kehidupan ia akan berubah menjadi kedamaian dan ketenangan.
Mungkin itu juga mengapa Rasulullah mengajarkan kepada Umar untuk sabar melihat kehidupan. Kesedihan dan isakan tangis yang wajar manakala umar membayangkan dibagian bumi sana ada Kaisar dan Kisra tidur bertelekan dipan-dipan yang empuk, ditemani aksesoris ruangan yang berlapiskan emas dan permata, para istri-istri yang siap melayani kapan pun ia minta dan pengawal yang siap menjaga 24 jam hanya untuk sebuah kata “kesetiaan”. Sementara ia melihat di depan matanya seorang utusan terakhir dari Tuhannya tidur bertelekan pelepah kurma yang menimbulkan bekas yang jelas di punggung Rasululullah, disekeliling tempatnya tidur tak ada yang bisa di banggakan kecuali mangkuk yang biasa dipakai untuk makan dan cangkir yang biasa dipakai Rasulullah untuk minum. Rasulullah ingin mengajarkan pada Umar dan kepada ummatnya bahwa kehidupan ini hanyalah sebuah tempat persinggahan sementara saja.
Coba simak dengan perenungan yang mendalam firman Allah: “Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari permainan dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (QS. Al-An’aam: 32).
Ketika saudara-saudara kita di Palestina hidup dengan perjuangan yang terus membuat mereka bergerak tanpa istirahat, mempertahankan tanah kelahiran yang lambat laun mengecil karena direbut paksa oleh kaum yang dilaknat Allah karena keingkarannya dari zaman ke zaman. Para mujahidin Palestina berharap bahwa batu-batu yang mereka lemparkan, air mata yang menetes, darah yang mengucur deras, debu-debu yang berterbangan akibat perjuangan mereka atas kaum penindas Laknatullah akan menjadi saksi yang siap membela mereka ketika bertemu Rabb di yaumul hisab.
Sementara kita hanya berdiam diri dirundung kebingungan memikirkan entah apa yang bisa menjadi pembela kita di akhirat kelak? Ketika saudara-saudara kita di Palestina telah bertindak atas bangsanya untuk menghapuskan kezaliman. Kita berdiam diri menyaksikan para anak bangsa menebar kezaliman atas saudara mereka sendiri di tanah air ini.
Kuantitas yang melimpah sebagai penghuni mayoritas di bangsa ini ternyata tak cukup kuat untuk menjadikan Islam berdiri tegak di negeri ini. Kita terlihat rapuh, ringkih dan bahkan kehilangan napas seperti orang-orang yang berpenyakit asma ketika negeri ini diberondol dengan peluru-peluru penghinaan dari bangsa lain. Dan yang menyakitkan yang menghina itu adalah bangsa yang pernah belajar, pernah dididik, bahkan pernah di belaskasihani oleh bangsa Indonesia beberapa waktu yang lampau.
Tampak kita kehabisan semangat bahkan untuk mengubah nasib bangsa ini dengan tulisan-tulisan yang menggugah. Dengan kata-kata motivasi yang mampu menggerakkan nurani anak bangsa untuk bangkit. Apa mungkin karena konsep diri bangsa ini telah rusak akibat terlalu lama dibuai oleh semunya kenikmatan sementara?
Mari sejenak tundukkan hati, untuk merenungi nasihat Rasulullah pada Abu Dzar “Wahai Abu Dzar, ketahuilah bahwa kekayaan dan kefakiran itu sumbernya dari hati. Barangsiapa yang kaya di dalam hatinya maka ia tidak akan dapat dicelakakan oleh apapun yang ia alami dalam hidupnya di dunia. Dan barangsiapa yang fakir hatinya, maka ia tak dapat dijadikan kaya oleh harta apapun sepenuh dunia. Justru itulah yang akan menghancurkan dirinya.”(HR. Ibnu Hibban).
Jalan kehidupan bagi pejuang dakwah adalah mensinergikan hati dan pikiran demi sebuah amal. Mereka akan senantiasa melangkah mencari amal apa yang mampu mereka persembahkan demi tegaknya agama ini. Mereka akan senatiasa berjuang mencari jalan yang mampu mengantarkan mereka pada kemuliaan, sekaligus menghindarkan mereka pada kehinaan. Mari kita renungkan bersama saudaraku….!!!! Wallahu a’lam.
Bermula dari akan diadakannya syuro’ persiapan sebuah agenda besar pelaksanaan program kerja relawan sebuah lembaga zakat. Sembari menunggu relawan yang lain, aku duduk bersandar pada jok mobil ambulance yang disulap menjadi sofa pemanis ruang tamu. Ditemani Koran lokal, waktu menunggu menjadi tak terlalu menjemukan.
Kebetulan ruang tamu tempat aku menunggu letaknya bersebelahan dengan ruangan amil yang khusus menampung uang-uang hasil kolektor yang dikumpulkan dari celengan-celengan yang disebar seantero wilayah palembang dan sekitarnya.
Karena hanya bersekat terali yang tak begitu rapat, siapa pun bisa dengan mudah melihat aktifitas di dalamnya. Kebetulan waktu itu aku melihat ada seorang amil yang sedang sibuk mengumpulkan dan mengklasifikasi jumlah nominal agar dapat dengan mudah menghitung logam-logam uang yang bertumpuk begitu banyak.
Kebetulan aku sangat mengenal amil ini. Seringkali aku berdiskusi kecil tentang berbagai hal, termasuk tentang strategi perkembangan dakwah para relawan (karena kebetulan sebelum menjadi amil, ia juga seorang relawan sepertiku, yang kemudian mendapatkan amanah sebagai amil).
Tampaknya ia begitu menikmati aktivitasnya, itu terlihat dari tangan yang terampil dan cekatan, dan senyum yang terus mengembang. Padahal bagiku itu adalah pekerjaan yang sangat membosankan. Bagaimana tidak? Seharian berkutat dengan uang logam yang bertumpuk jumlahnya, disusun, kemudian dihitung nominalnya. Jika salah hitung sudah dapat dipastikan harus mengulang dari awal.
Hampir sepuluh menit aku disitu, aku melihatnya tetap dalam gerakan yang sama, memisahkan nominalnya dan menghitung. Tanpa sedikitpun beranjak dari tempatnya. Bahkan kehadiranku pun tak membuatnya bergeming. Padahal jika melihat seseorang yang datang ia akan dengan sangat sopan tersenyum lalu kemudian mengatur jarak dan dapat dipastikan ia tanpa hanya sekedar basa-basi akan menanyakan kabar. Namun kali ini tidak, aku semakin yakin ia sedang dalam kondisi mengkonsentrasikan pikiran tingkat tinggi, atau dalam bahasa asingnya setara dengan istilah the power of focus.
Tanpa sadar aktifitasnya membuatku berfikir banyak dan muncul berbagai pertanyaan yang tak bisa ku sembunyikan. Dan aku ingin manyakan beberapa pertanyaan padanya. Sambil berdehem cukup keras, dan tampaknya ia sedikit kaget mendengar suaraku itu. Namun dalam waktu yang singkat ia bisa menghilangkan kekagetannya dengan sebuah senyuman khas yang biasa ia berikan kepada siapa saja.
“ Eheeeemmm, Assalamu’alaikum, lagi ngapain mba’? kayaknya dari tadi asik banget kerjanya sampe saudara dateng dicuekin” sapaku dengan sopan
“Astaghfirullah, Wa’alaikumsalam, eh udah lama datangnya ya Dek? Mba’ sampe kaget denger suaranya. Ko ga’ negor? Biasanya kan suka ngagetin orang.” Ia kaget, sambil menoleh kearahku sebentar, lalu tersenyum kemudian kembali meneruskan pekerjaannya.
“Ini udah dikagetin kan? Hehehehe” jawabku dengan cepat.
“Iya mangkanya aneh aja ko negornya bisa telat gitu?” sambil terus melanjutkan pekerjaannya.
“Mba’, boleh Tanya ga’?”
“Ya..tanya aja, biasanya juga langsung ngerocos aja, ini ko minta izin segala dek?”
“engga, siapa tau ntar ganggu kerjaannya Mba’ kan”
“Kalo ganggu mungkin udah dari tadi Mba’ bakalan bilang, afwan ya Dek, Mba’ lagi sibuk nih. Jadi jangan diganggu dulu”
“hehehehehe..gini Mba’, Mba’ kan lulusan universitas negeri, trus punya IPK yang lebih dari cukup untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih dari sekarang. Ko malah bertahan dengan pekerjaan yang seperti ini?
“ooo mo nanya itu? Mba’ pengen nanti ketika Allah bertanya tentang apa yang Mba’ lakukan di dunia, uang-uang yang sekarang Mba’ susun ini bersaksi bahwa Mba’ pernah menorehkan catatan amal perjuangan untuk agama Allah.”
Aku diam seribu bahasa. Tak terpikirkan jika akan mendapatkan jawaban yang seperti itu. Hatiku berguncang keras, jantungku seketika berdegup kencang. Ada getaran-getaran yang membuat seluruh tubuh merinding. Aku tak bisa berkata-kata banyak hanya bisa membalas dengan ucapan lirih di dalam hati.
“Ya Rabb…berikan aku jalan kehidupan yang mengantarkan aku pada amal dan senantiasa berjuang di jalan-Mu.”
--ooOoo--
Kehidupan ternyata punya jalannya sendiri untuk membuat kita mengerti tentang hakikat hidup. Terkadang kehidupan membuat manusia lalai dari ketaatan karena manusia itu sendiri yang mengarahkan kehidupannya untuk menjauh dari ketaatan. Namun banyak juga manusia yang mampu menyetir kehidupannya untuk meraih kemuliaan yang mengantarkan mereka pada kebahagiaan hidup.
Kehidupan hanyalah sebuah cara untuk kita mengerti sesuatu. Kehidupan pula yang akhirnya mengajarkan kita arti semangat, berjuang, pantang menyerah dan istiqamah. Kehidupan hanya pemaknaan sementara atas umur yang sedikit. Kehidupan hanya sebatas realitas sempit untuk menuju kehidupan yang kekal abadi. Jika tergelincir sedikit saja maka berhati-hatilah kehidupan akan melibas kita dengan rasa penyesalan yang tak berujung. Namun jika kita mampu mentawazzunkan kehidupan ia akan berubah menjadi kedamaian dan ketenangan.
Mungkin itu juga mengapa Rasulullah mengajarkan kepada Umar untuk sabar melihat kehidupan. Kesedihan dan isakan tangis yang wajar manakala umar membayangkan dibagian bumi sana ada Kaisar dan Kisra tidur bertelekan dipan-dipan yang empuk, ditemani aksesoris ruangan yang berlapiskan emas dan permata, para istri-istri yang siap melayani kapan pun ia minta dan pengawal yang siap menjaga 24 jam hanya untuk sebuah kata “kesetiaan”. Sementara ia melihat di depan matanya seorang utusan terakhir dari Tuhannya tidur bertelekan pelepah kurma yang menimbulkan bekas yang jelas di punggung Rasululullah, disekeliling tempatnya tidur tak ada yang bisa di banggakan kecuali mangkuk yang biasa dipakai untuk makan dan cangkir yang biasa dipakai Rasulullah untuk minum. Rasulullah ingin mengajarkan pada Umar dan kepada ummatnya bahwa kehidupan ini hanyalah sebuah tempat persinggahan sementara saja.
Coba simak dengan perenungan yang mendalam firman Allah: “Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari permainan dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (QS. Al-An’aam: 32).
Ketika saudara-saudara kita di Palestina hidup dengan perjuangan yang terus membuat mereka bergerak tanpa istirahat, mempertahankan tanah kelahiran yang lambat laun mengecil karena direbut paksa oleh kaum yang dilaknat Allah karena keingkarannya dari zaman ke zaman. Para mujahidin Palestina berharap bahwa batu-batu yang mereka lemparkan, air mata yang menetes, darah yang mengucur deras, debu-debu yang berterbangan akibat perjuangan mereka atas kaum penindas Laknatullah akan menjadi saksi yang siap membela mereka ketika bertemu Rabb di yaumul hisab.
Sementara kita hanya berdiam diri dirundung kebingungan memikirkan entah apa yang bisa menjadi pembela kita di akhirat kelak? Ketika saudara-saudara kita di Palestina telah bertindak atas bangsanya untuk menghapuskan kezaliman. Kita berdiam diri menyaksikan para anak bangsa menebar kezaliman atas saudara mereka sendiri di tanah air ini.
Kuantitas yang melimpah sebagai penghuni mayoritas di bangsa ini ternyata tak cukup kuat untuk menjadikan Islam berdiri tegak di negeri ini. Kita terlihat rapuh, ringkih dan bahkan kehilangan napas seperti orang-orang yang berpenyakit asma ketika negeri ini diberondol dengan peluru-peluru penghinaan dari bangsa lain. Dan yang menyakitkan yang menghina itu adalah bangsa yang pernah belajar, pernah dididik, bahkan pernah di belaskasihani oleh bangsa Indonesia beberapa waktu yang lampau.
Tampak kita kehabisan semangat bahkan untuk mengubah nasib bangsa ini dengan tulisan-tulisan yang menggugah. Dengan kata-kata motivasi yang mampu menggerakkan nurani anak bangsa untuk bangkit. Apa mungkin karena konsep diri bangsa ini telah rusak akibat terlalu lama dibuai oleh semunya kenikmatan sementara?
Mari sejenak tundukkan hati, untuk merenungi nasihat Rasulullah pada Abu Dzar “Wahai Abu Dzar, ketahuilah bahwa kekayaan dan kefakiran itu sumbernya dari hati. Barangsiapa yang kaya di dalam hatinya maka ia tidak akan dapat dicelakakan oleh apapun yang ia alami dalam hidupnya di dunia. Dan barangsiapa yang fakir hatinya, maka ia tak dapat dijadikan kaya oleh harta apapun sepenuh dunia. Justru itulah yang akan menghancurkan dirinya.”(HR. Ibnu Hibban).
Jalan kehidupan bagi pejuang dakwah adalah mensinergikan hati dan pikiran demi sebuah amal. Mereka akan senantiasa melangkah mencari amal apa yang mampu mereka persembahkan demi tegaknya agama ini. Mereka akan senatiasa berjuang mencari jalan yang mampu mengantarkan mereka pada kemuliaan, sekaligus menghindarkan mereka pada kehinaan. Mari kita renungkan bersama saudaraku….!!!! Wallahu a’lam.