Melalui uji publik, saran dan masukan dari berbagai kalangan diharapkan bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan sebelum mencapai tahap finalisasi, sehingga produk kurikulum yang dihasilkan bisa lebih representatif dan mengakomodasi harapan semua pihak. Kebijakan semacam ini jelas layak diapresiasi. Jadi, draft kurikulum tak hanya dirumuskan dari belakang meja secara top-down yang kemudian dipaksakan pelaksanaannya oleh para pelaku dan praktisi pendidikan. Akan tetapi, setidaknya bisa menyentuh harapan arus bawah secara bottom-up, sehingga implemetasinya bisa lebih jelas, terarah, dan aplikatif.
Dari diskusi lewat akun twitter yang dimoderasi oleh @guraruID itu, setidaknya ada tiga butir penting yang mencuat ke permukaan. Pertama, kebiasaan bongkar-pasang kurikulum yang dilakukan pemerintah. Kedua,dihilangkannya TIK sebagai mata pelajaran di SMP dan digunakan sebagai media dalam setiap mata pelajaran.Ketiga, munculnya kekhawatiran dan pesimisme ketidaksiapan guru dalam menyongsong sebuah perubahan.
“Perubahan kurikulum menunjukkan bahwa dunia pendidikan itu dinamis”, begitulah tweet pertama yang saya munculkan untuk memantik “aura” diskusi. Jika dunia pendidikan tidak ingin terjebak dalam stagnasi, semangat perubahan perlu terus dihembuskan. Kita berharap, perubahan kurikulum tak hanya perampingan materi ajar semata, tetapi juga harus mampu menjawab tantangan.
Jujur saja, saya termasuk orang yang setuju dengan perubahan kurikulum. Sejak diluncurkan tahun 2006 melalui Permendiknas No. 22, 23, dan 24, Standar Isi yang kemudian diimplementasikan dalam bentuk Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), capaian kompetensi peserta didik makin tak jelas dan terarah. Beragamnya kompetensi guru di berbagai daerah dan wilayah, membuat implementasi Kurikulum 2006 menjadi sangat rentan terhadap multitafsir, sehingga mutu kompetensi peserta didik sulit terstandarisasi. Dengan diserahkannya penyusunan dan pengembangan kurikulum kepada satuan pendidikan, kopi-paste kurikulum, baik Dokumen I maupun Dokumen II (Silabus dan RPP), menjadi “budaya” baru yang menggejala di kalangan guru dan kepala sekolah. Akibatnya, potensi genius lokal yang seharusnya muncul seiring dengan diterapkannya Kurikulum 2006 justru “mati suri” karena menggunakan kurikulum sekolah atau daerah lain tanpa melalui proses adaptasi.
Ketika Kurikulum 2006 sudah memasuki usia ke-7, memang sudah saatnya diubah dan dan direvisi agar selaras dengan semangat dan tantangan zaman. Jika Kurikulum 2006 terus dipaksakan pelaksanaannya, kita tak tahu pasti bagaimana mutu pendidikan dan kualitas out-put-nya. Imbas yang pasti muncul, out-come-nya juga makin diragukan lantaran para lulusan yang lahir dari “rahim” dunia pendidikan “miskin” kompetensi dan gagap budaya.
Rencana dihilangkannya TIK sebagai mata pelajaran tersendiri di SMP juga memancing banyak respon. Tak hanya dalam diskusi #GuraruTalk, melainkan juga berbagai komentar yang muncul di laman Uji Publik Pengembangan Kurikulum 2013. Rekan-rekan sejawat dari ranah TIK tak sedikit yang mempertanyakan nasib mereka jika Kurikulum 2013 nanti benar-benar dilaksanakan. Rencana penghilangan mapel TIK di SMP yang kemudian harus digunakan sebagai media dalam setiap mapel pada satu sisi memang menunjukkan sebuah terobosan yang menarik, tetapi pada sisi yang lain juga menimbulkan pesimisme. Sudahkah semua guru disiapkan untuk mampu menggunakan TIK pada setiap mata pelajaran yang diampunya? Kalau guru tidak siap, jangan-jangan hanya akan memutar lagu lama yang membuat implementasi kurikulum jadi tersaruk-saruk.
Guru, sebagai “aktor” utama dalam implementasi kurikulum memang harus benar-benar disiapkan. Jauh sebelum Kurikulum 2013 “diketok palu” untuk dilaksanakan, semua guru yang tersebar di seluruh penjuru nusantara mesti benar-benar diberdayakan. Mereka harus paham benar tentang substansi kurikulum dan bagaimana mengimplementasikannya dalam proses pembelajaran. Pengalaman membuktikan, sikap abai terhadap upaya pemberdayaan guru berdampak serius terhadap kemajuan dunia pendidikan. Jika pengalaman pahit itu terulang, bukan tidak mungkin Kurikulum 2013 akan mengalami stagnasi untuk kemudian terpuruk di tengah dinamika peradaban dunia.
Sebagai gambaran, berikut saya kutipkan beberapa perubahan yang tampak mencolok dalam draft Kurikulum 2013.
Elemen Perubahan
Deskripsi
|
SD
|
SMP
|
SMA
|
SMK
|
Struktur Kurikulum (Mata pelajaran dan alokasi waktu)
(ISI)
| Holistik dan integratif berfokus kepada alam, sosial dan budaya
Pembelajaran dilaksanakan dengan pendekatan sains
Jumlah matapelajaran dari 10 menjadi 6
Jumlah jam bertambah 4 JP/minggu akibat perubahan pendekatan pembelajaran
| TIK menjadi media semua matapelajaran
Pengembangan diri terintegrasi pada setiap matapelajaran dan ekstrakurikuler
Jumlah matapelajaran dari 12 menjadi 10
Jumlah jam bertambah 6 JP/minggu akibat perubahan pendekatan pembelajaran
| Perubahan sistem: ada matapelajaran wajib dan ada matapelajaran pilihan
Terjadi pengurangan matapelajaran yang harus diikuti siswa
Jumlah jam bertambah 2 JP/minggu akibat perubahan pendekatan pembelajaran
| Penyesuaian jenis keahlian berdasarkan spektrum kebutuhan saat ini
Penyeragaman mata pelajaran dasar umum
Produktif disesuaikan dengan tren perkembangan Industri
Pengelompokan mata pelajarann produktif sehingga tidak terlau rinci pembagiannya
|
Dasar Pemikiran Perancangan Struktur Kurikulum SD
|
Usulan Rancangan Struktur Kurikulum SMP
No | Komponen Rancangan |
1 | Sama dengan SD, akan disusun berdasarkan kompetensi yang harus dimiliki peserta didik SMP dalam ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuan |
2 | Menggunakan mata pelajaran sebagai sumber kompetensi dan substansi pelajaran |
3 | Menggunakan pendekatan sains dalam proses pembelajaran [mengamati, menanya, menalar, mencoba, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, mencipta] semua mata pelajaran |
5 | Meminimumkan jumlah mata pelajaran dengan hasil dari 12 dapat dikurangai menjadi 10 melalui pengintegrasian beberapa mata pelajaran: - TIK menjadi sarana pembelajaran pada semua mata pelajaran, tidak berdiri sendiri - Muatan lokal menjadi materi pembahasan Seni Budaya dan Prakarya - Mata pelajaran Pengembangan Diri diintegrasikan ke semua mata pelajaran |
6 | IPA dan IPS dikembangkan sebagai mata pelajaran integrative science dan integrative social studies, bukan sebagai pendidikan disiplin ilmu. Keduanya sebagai pendidikan berorientasi aplikatif, pengembangan kemampuan berpikir, kemampuan belajar, rasa ingin tahu, dan pembangunan sikap peduli dan bertanggung jawab terhadap lingkungan sosial dan alam. |
7 | Bahasa Inggris diajarkan untuk membentuk keterampilan berbahasa |
8 | Menambah 6 jam pelajaran per minggu sebagai akibat dari perubahan pendekatan proses pembelajaran dan proses penilaian |
Isu Terkait Rancangan Struktur Kurikulum SMA
No | Komponen Rancangan |
1 | Apakah masih perlu penjurusan di SMA mengingat: - Sudah tidak ada lagi negara yang menganut sistem penjurusan di SMA - Kesulitan dalam penyetaraan ijazah - Dapat melanjutkan ke semua jurusan di perguruan tinggi |
2 | Tanpa penjurusan akan menyebabkan mata pelajaran menjadi terlalu banyak seperti pada SMA Kelas X saat ini, sehingga diperlukan mata pelajaran pilihan dan mata pelajaran wajib |
3 | Perlunya memberi kesempatan bagi mereka yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata untuk menyelesaikan lebih cepat atau belajar lebih banyak melalui mata pelajaran pilihan |
5 | Perlunya ujian nasional yang lebih fleksibel [dapat diambil di kelas XI] |
6 | Perlunya integrasi vertikal dengan perguruan tinggi |
7 | Perlunya memperkuat pelajaran bahasa Indonesia, termasuk sastra, terutama menulis dan membaca dengan cepat dan paham |
8 | Perlunya meningkatkan tingkat abstraksi mata pelajaran |
9 | Perlunya membentuk kultur sekolah yang kondusif |
Isu Terkait Rancangan Struktur Kurikulum SMA
No. | Alternatif | Kelebihan | Kekurangan |
1 | Penjurusan Mulai Kelas X | Ada pengurangan pelajaran di Kelas X yang dianggap memberatkan
Implementasi mudah karena tidak banyak berbeda dengan yang ada
Peserta didik dapat berkonsentrasi penuh mempelajari bidang tertentu
| Peminatan ditetapkan berdasarkan hasil belajar sebelumnya (Rapor/UN SMP, Tes Penempatan/Tes Bakat)
Menimbulkan stigma jurusan tertentu lebih unggul
Masih ada Penjurusan yang sudah tidak ada padanannya di dunia
|
2 | Berdasarkan Minat pada Pendidikan Lanjutan | Pemilihan mata pelajaran berdasarkan minat ke pendidikan lanjutan
Memungkinkan untuk memilih mata pelajaran pada bidang yang berbeda
Tidak harus mengambil mata pelajaran yang tidak disukai
| Perlunya membedakan mata pelajaran untuk persiapan ke perguruan tnggi dan untuk memenuhi rasa ingin tahu saja
Memerlukan administrasi akademik yang baik
Proses bimbingan harus efektif.
Sistem UN harus diubah
|
3 | Non penjurusan (SKS) | Siswa belajar mata pelajaran yang sesuai dengan minatnya
Tersedia pilihan mata pelajaran untuk melanjutkan ke perguruan tinggi atau untuk sekedar ingin tahu
| Idem diatas [tetapi lebih kompleks lagi] |
Isu Terkait Kurikulum SMK
No | Isu |
1 | Ujian nasional sebaiknya tahun ke XI sehingga tahun ke XII konsentrasi ke ujian sertifikasi keahlian |
2 | Bidang keahlian yang belum sesuai lagi dengan kebutuhan global |
3 | Penambahan life and career skills [bukan sebagai mata pelajaran] |
4 | Perlunya melibatkan pengguna [industri terkait] dalam penyusunan kurikulum |
5 | Pembelajaran SMK berbasis proyek dan sekolah terbuka bagi siswa untuk waktu yang lebih lama dari jam pelajaran. |
6 | Kesimbangan hard skill/competence dan soft skill/competence |
7 | Perlunya membentuk kultur sekolah yang kondusif. |
8 | Pembagian keahlian yang terlalu rinci sehingga mempersulit pelaksanaannya di lapangan |
Dari sisi konsep, draft Kurikulum 2013 cukup ideal untuk mampu melahirkan generasi masa depan yang tidak hanya cerdas otaknya, tetapi juga cerdas emosi, sosial, dan spiritualnya. Hal itu tampak dengan terintegrasikannya nilai-nilai karakter ke dalam proses pembelajaran, bukan lagi menjadi sebuah tempelan seperti dalam Kurikulum 2006. Pendekatan pembelajaran yang digunakan dengan mengajak siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan baru berdasarkan pengalaman belajar yang mereka dapatkan dari kelas, lingkungan sekolah, dan masyarakat juga akan mampu mendekatkan peserta didik pada kultur masyarakat dan bangsanya. Sekali lagi, dari aras konsep, draft Kurikulum 2013 sangat tepat diterapkan ketika dunia pendidikan kita tengah mengalami “gagap budaya”.
Meskipun demikian, draft yang bagus hanya akan berada pada tataran konsep apabila tidak diimbangi dengan pemberdayaan para pemangku kepentingan pendidikan, khususnya guru. Kita sudah memiliki pengalaman yang cukup pahit ketika KBK diterapkan. Guru yang selama ini diabaikan benar-benar tak berdaya ketika harus menafsirkan standar isi ke dalam rencana pembelajaran untuk kemudian diimplementasikan ke dalam pembelajaran. Akibatnya, mutu pendidikan tidak bisa terstandarkan. Model kopi-paste pun menjadi budaya baru di kalangan guru akibat ketidaksiapan mereka dalam menerapkan standar isi.
Berkaca dari pengalaman itu, idealnya guru harus dijadikan sebagai “aktor utama” dalam implementasi Kurikulum 2013. Mereka harus benar-benar disiapkan secara matang, mulai dari penyusunan rencana pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, penilaian, analisis, hingga tindak lanjutnya. Hanya dengan memberdayakan pemangku kepentingan utama implementasi kurikulum dapat berlangsung seperti yang diharapkan. Saya pribadi berharap, draf Kurikulum 2013 yang cukup ideal ini bisa melalui uji publik yang representatif sehingga mampu mengakomodasi kehendak dan harapan banyak pihak.
Nah, selamat menyongsong perubahan!