Banyaknya
masukan (bahasa sopan dari kata tekanan) membuat pemerintah merasa perlu
mengakomodir semua itu. Bahkan belakangan sudah dibuat percontohan-percontohan
pengimplementasian kurikulum bermacam-macam variasinya. Dahulu ada kurikulum
terintegrasi dengan imtaq, kurikulum pendidikan karakter, kurikulum sahabat
bumi, kurikum kewirausahaan dan ekonomi kreatif, kurikulum HIV/Aids, kurikulum
antikorupsi dan entah apalagi.
Kalau saya menyimak itu tidak
lebih dari KBK, kurikulum berbasis kepanikan. Hasil
dari kepanikan tentu saja jauh dari sempurna, akibatnya guru dipaksa
pontang-panting menerjemahkan kurikulum yang baru. Menurut pikiran cupet dan
pikiran pendek saya yang awam dalam hal kurikulum ini, apapun kurikulumnya
kalau di kebiri dengan ujian nasional (UN) semua itu tidak ada gunanya. Seolah
membuang waktu dan tenaga. Bagaimana tidak keadaan sekolah bisa dan biasa
dinilai oleh tingkat kelulusan dalam UN. Tidak melihat mengapa itu terjadi,
apakah itu orisinil keadaan atau kemampuan siswa atau memang karena faktor
sarana prasarana serta guru.
Dengan
dalih menyesuaikan dengan perkembangan zaman, kemajuan teknologi, kehidupan
sosial akhirnya secara serta merta kurikulum pun diubah. Andai mereka sadar
se-sadar-sadarnya, tentu mereka akan garap kompetensi guru dengan lebih serius,
tidak terpaku mengubah kurikulum. Kita bisa lihat seperti pada paragraf pertama
tulisan ini. Itulah salah satu indikasi kepanikan, dengan dalih pula karena
kurikulumnya adalah KTSP maka diobok-oboklah kurikulum yang hasil dari semua
itu dipangkas dengan UN. Tiada arti dan tiada guna. Seolah wah tapi halah…
Kepanikan
lain adalah ketika banyak kritik dengan kemampuan Bahasa Indonesia yang memang
buruk (mereka tinjau dari nilai UN) itu maka di level SD bahasa menjadi sesuatu
yang dijadikan basis untuk meningkatkan kemampuan berbahasa siswa. Padahal
kalau kita cermati soal-soal UN yang kini jadi momok siswa itu adalah soal
naif, dengan model soal pilihan jawaban tertutup, inikah yang bisa menilai
kemampuan berbahasa siswa? Bahasa Indonesia sejak kita sekolah memang sering
bisa memberikan multitafsir apalagi kalau penryataan dalam soal panjang-panjang
maka pola pikir siswa bisa saja tidak keliru tetapi karena tidak sesuai dengan
kunci jawaban yah sudah keliru. Andai itu soal jawaban terbuka tentu siswa bisa
memberikan argumennya mengapa ia memilih jawabannya.
Belum
lagi tindakan seolah tanpa dasar dan tujuan mengintegrasikan pelajaran IPA ke
dan IPS ke dalam Bahasa Indonesia. Justru menurut saya di kelas-kelas awal
siswa tidak perlu diajarkan Bahasa Indonesia secara mandiri. Integrasikan saja
Bahasa Indonesia ke dalam IPA dan IPS. Sebab bahasa pengantar kedua ilmu
pengetahuan itu jelas-jelas menggunakan bahasa. Sambil belajar ilmu pengetahuan
IPA dan IPS siswa dikenalkan bahasa. Ingat saat masih bayi hingga ia belajar di
lingkungannya bahasa itu tidak diajarkan sebagai hal yang berdiri sendiri. Tapi
diterapkan dalam praktik keseharian. Ini mungkin ngawur tetapi suatu kenyataan
bahasa sudah dipelajari sejak lahir. Beda kalau kita mau mengkaji bahasa
sebagai ilmu pengetahuan bolehlah nanti di pisahkan untuk pendalaman.
Lain
lagi ketika sedang marak perkelahian pelajar di kota besar termasuk gejala
sosial yang sangat dikhawatirkan, termasuk kekerasan, teror, membuat banyak
pihak mengkritik sistem pendidikan kita, muncullah kurikulum anti
kekekerasan-anti teror. Bukankah ini suatu kepanikan juga. Andai ditelisik
semua itu bukan salah pada tataran kurikulum tetapi pendidikan sosial anak di
tengah masyarakat juga turut mempengaruhi prilaku mereka. Mengapa kurikulum
diobok-obok.
Demikian
juga ramainya para penegak hukum menciduk pelaku korupsi membuat panik pihak
tertentu untuk menambahkan kurikulum anti korupsi. Begitu pula untuk hal yang
lainnya, semua seolah akan dijejalkan dalam kurikulum, yang kita tahu hasilnya
akan nol besar! Semua itu di sembelih oleh UN, yang bahkan sudah dikatakan
bahwa UN masih akan terus dilakukan dalam sistem pendidikan di negeri ini. UN
tidak jelek namun kurang tepat dalam penggunaannya, mengapa harus dijadikan
basis kelulusan.
Kepanikan
itu semakin nyata ketika kita menyimak draft kurikulum 2013. Karena Bahasa
Indonesia hasil belajarnya buruk, maka Bahasa Inggris tidak jadi prioritas yang
biasanya dimasukan dalam pelajaran muatan lokal. Karena ada kritik TIK itu
sebenarnya adalah sembuah alat atau media, maka TIK di SMP-SMK ditiadakan,
meskipun mungkin hanya berganti nama dengan sebutan literasi media (kemelekan
media) atau mungkin akan masuk dalam muatan lokal.
Suatu
tindakan spontan, melupakan bahwa TIK mereka putuskan telah menjadi bagian dari
mata pelajaran dengan guru yang juga di profesionalkan lewat sertifikasi guru
TIK segala. Kesan yang muncul adalah semua itu hanya untuk memenuhi kepentingan
sesaat atas dasar kepanikan juga. Kini tidak sedikit guru TIK yang secara
profesional menjadi guru sesungguhnya mengkhawatirkan akan nasibnya. “Mau
mengajar apa saya nanti”. Jika solusinya juga karena kepanikan atas dasar
desakan guru-guru TIK tadi misalnya akan dialihkan mengajar mata pelajaran lain
lantas di manakah profesionalisme yang didengungkan itu?
Kepanikan
demi kepanikan mengantarkan perubahan kurikulum itu. Sementara di pihak guru
berlaku azas pemenuhan syarat asal ada, asal siswa diberi pelajaran ala
kadarnya semampu yang guru bisa, nilainya pun diberi asal beri, keputusan akhir
kelulusan pun asal lulus entah bagaimana caranya. Ini bukan rahasia lagi,
meskipun masih ada sekolah yang jujur, guru yang baik dengan kekreatifan dan
kearifannya karena menyadari profesinya.
Mari
kita kawal perubahan kurikulum yang sedang akan terjadi.
Wassalam,