Duduk di halaman rumah bersama kerabat dan keluarga sembari menonton orang-orang yang lalu-lalang dengan kendaraan bermotor atau dengan hanya jalan kaki sudah menjadi pemandangan lumrah di ro’ong Tondei setiap tahun di bulan Juli. Tondei adalah satu desa yang terletak di antara kuntung Lolombulan dan Sinonsayang. Disinilah saya lahir dan besar. Orang-orang yang lalu-lalang itu berpakaian serba baru dengan kendaraan yang baru di-servis pula. Apakah wajah mereka yang berseri-seri mengumbar rasa syukur atas kelimpahruahan berkat yang diberi Sang Kuasa atau kemeriahan yang ditampilkan wajah-wajah itu hanya sebuah euforia Pengucapan Syukur belaka yang telah kehilangan makna? Entahlah!
Mar, tahukah kita bahwa tradisi Pengucapan Syukur sebenarnya adalah Tradisi Foso Rumages touMinahasa? Ajang sakral ini dipimpin oleh para Walian (pendeta Minahasa) dan wajib diikuti oleh semua warga dimana foso itu dilaksanakan. Kata foso berarti larangan untuk berbuat hal-hal atau pekerjaan lain selain daripada fokus untuk kegiatan Rumages sahaja. Secara harafiah kata Rumages berarti memberi korban persembahan kepada Opo Kasuruang Wangko Si Nimema’ En Tana’ Wo langit atau Sang Pencipta dan Se Apo-apo atau Para Leluhur dengan kebulatan benak dan hati. Tradisi ini diajarkan secara turun temurun. Ini merupakan tanda bahwa Para Tetua Minahasa sangat menekankan tentang makna pemberian rasa syukur kepada Pencipta dan Para Leluhur sebagai sumber atau penyebab kamang atau berkat. Para Tetua merasa bahwa Opo Kasuruang Wangko adalah pencipta dan pemberi segalanya. Dan Para Leluhur adalah orang yang telah dahulu mengusahakan tanahnya. Makanya tak tanggung-tanggung pada zaman lampau mereka melaksanakan Foso Rumages secara besar-besaran dan berhari-hari sehingga terkesan sebagai suatu pemborosan. Seperti itulah padangan orang luar yang berkebudayaan lain. Sebagaimana yang dicatatkan mereka, para misionaris itu, dalam buku-buku yang banyak menjadi rujukan sekarang ini. Tradisi Rumages dilaksanakan sesudah panen besar yang merupakan rangkaian siklus hidup. Siklus pertanian berulang yang menunjukkan siklus kehidupan itu sendiri. Dimana ada waktunya untuk melakukan kegiatan mapar, perombakan hutan, pembersihan lahan, menanam, sampai pada panen dan kembali lagi ke tahap awal siklus itu. Dengan demikian Foso itu adalah reminder atau pengingat tentang bagaimana orang Minahasa harus hidup.
Pengucapan Syukur akhir-akhir ini identik dengan kesibukan yang melelahkan dengan tahap persiapan seperti masak-memasak beragam makanan: nasi jaha, dodol, wajik, tinorangsak, erwe, dll. Dan minuman: saguer, bir, captikus, minuman bersoda, dll. Dan puncak acaranya tidak terpusat di satu gedung atau lapangan. Setiap rumah, tempat ibadah (gereja), lapangan dan jalan dibanjiri oleh lautan manusia. Selain itu Pengucapan Syukur dekat jargon-jargon: “Biar Bautang yang penting makang babi utang”, “Biar babon asal makang brenebon.”
Di masa kini hari Pengucapan Syukur telah banyak berubah, dan cenderung negatif, mungkin lantaran telah “dipaksakan” menjadi sebuah tradisi kristen dan diberi warna lain sehingga teralami secara aneh dan menyimpang. Tradisi Rumages yang tadinya dilaksanakan sebagai kegiatan di sebuah kampung telah disentuh oleh kuasa politik dan agama Kristen sehingga pelaksanaannya menjadi per kabupaten. Waktu pelaksanaan ditetapkan dalam aturan yang menuntut keseragaman. Bukan lagi atas dasar karena sudah selesai waktu panen. Ada panen atau tidak tetap dilaksanakan. Belum lagi ketika tradisi mempersembahkan hasil hutan dan pertanian berubah menjadi tradisi amplop. Padahal dahulukala masing-masing ro’ong tatacara dan kreatifitas penyemarakannya berbeda. Ini barangkali yang menjadi sebab sehingga esensi dari Rumages itu sendiri, yakni memberi persembahan kepada Opo Kasuruang Wangko (Pencipta) sebagai wujud pengakuan kemahakuasaan-Nya dan kepada Opo-opo atau Se Kasuruang (para leluhur) sebagai wujud penghormatan, menjadi hilang dan pupus serta menjadi tidak relevan. Tak mengherankan rasa hormat kepada Tuhan dan Orang Tua kini telah kian pudar. Perubahan dari Rumages menjadiPengecapan Syukur adalah pemutusan hubungan langsung antara orang Minahasa dengan Si Opo Kasuruang Wangko dan Para Leluhur. Dan tradisi menyimpang ini telah melahirkan generasi yang tak tau hadat. Lihat saja kenyataannya pelaksanaan pengucapan hari kini. Lebih banyak buruknya daripada bagusnya. Sehingga tak bisa ditampik terkadang ajang ini menjadi kesempatan pesta pora, mabuk-mabukan yang berujung pada sikap saling tidak hormat, kemacetan dan lain-lain. Fungsinya sebagai penghubung, pembangun dan atau penyegar jalinan kekerabatan berubah menjadi bencana yang merusakkan.
Yang menjadi menarik untuk dilihat di tahun ini adalah dimana ajang budaya sekaligus religius ini akan dimanfaatkan sebagai ajang politik, kampanye para calon kepala daerah. Mereka akan ikut-ikutan berlaku sebagaimana pendeta dengan mengirimkan surat-surat untuk dibacakan di tiap tempat ibadah serta menawarkan diri untuk menjadi pemimpin ibadah demi menuai simpati dan dukungan. Kampanye curi start. Sehingga Pengucapan Syukur atau Rumages ini sudah bukan lagi sebagai foso dimana terdapat larangan-larangan agar tidak mengerjakan atau melakukan yang lain selain daripada memfokuskan diri untuk memberikan korban persembahan syukur kepada Sang Pencipta dan penghormatan kepada Para Leluhur malah telah menjadi ajang hura-hura semata dan telah kehilangan makna yang sejatinya.