Harus diakui, tragedi pembakaran masjid saat umat Islam melaksanakan ibadah Salat Idulfitri belakangan ini, memang menjadi ujian bagi bangsa Indonesia yang memiliki semboyan “bhinneka tunggal ika”.
Sejak digunakannya semboyan “bhinneka tunggal ika” pada lambang negara Indonesia, dunia internasional mengenal bangsa Indonesia sebagai bangsa yang majemuk. Kemajemukan ini telah tergambar sejak dulu seperti yang dilukiskan JS Furnivall (1939). Semboyan yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu jua” ini seharusnya memang begitu melekat dalam diri masyarakat Indonesia. Sehingga setiap aktivitas dan kegiatan masyarakat seharusnya merefleksikan semboyan ini.
Sebab dalam sejarahnya, semua perbedaan dan kemajemukan dalam diri bangsa Indonesia menjadi satu, saat berjuang melawan penjajah (imprealis) untuk meraih kemerdekaan. Azas inilah yang selanjutnya menciptakan rasa cinta Tanah Air (nasionalisme) yang absolut dalam kehidupan masyarakat hingga seperti tak ada perbedaan. Semua bersatu bahu-membahu menumbangkan kekuasaan imprealis di jagad Tanah Air.
Hanya saja, dalam beberapa tahun terakhir ini, semangat kebhinnekaan itu tampaknya semakin memudar. Bila semangat kebhinnekaan ini semakin memudar, bukan tak mungkin semangat nasionalisme juga teriris. Pada titik ini, bangsa Indonesia bisa jadi akan kehilangan alat pemersatu di tengah kemajemukan, termasuk dalam kehidupan beragama. Negara yang dengan tegas menjaga masyarakatnya untuk dapat menganut kepercayaan (agama)-nya masing-masing mulai tak diindahkan.
Munculnya pemberitaan pembakaran masjid di kabupaten Tolikara Papua saat umat Islam di sana menyelenggarakan Salat Id (17/7/2015) menunjukkan kebhinnekaan yang terkoyak. Salat Id yang seharusnya dapat dilaksanakan dengan penuh khidmat oleh umat Islam justru diwarnai penyerangan dan pembakaran.
Tragedi ini diduga oleh sebagian masyarakat dilakukan oleh jemaat umat beragama lain. Hal ini terbukti dengan sebelum tragedi itu ada surat pemberitahuan kepada masyarakat (yang beragama Islam) setempat yang dibuat oleh BPWT GIDI. Dalam surat itu berisi: (1) acara lebaran tanggal 17 Juli 2015 tak diizinkan dilakukan di wilayah kabupaten Tolikara; (2) boleh merayakan hari raya di luar kabupaten Tolikara; dan (3) dilarang kaum muslimat memakai jilbab.
Alhasil, umat Islam di Indonesia dan bahkan di luar negeri mengecam keras. Karena, tragedi itu bisa terjadi di negara yang memiliki semboyan “bhinneka tunggal ika”. Sangat disayangkan juga terkait dengan pemaparan dari beberapa pejabat penting di negeri ini yang cenderung berpihak kepada “pihak pelaku pembakaran”, padahal jelas-jelas umat Islam (di kabupaten Tolikara) menjadi korban dari tragedi mengerikan ini.
Keberpihakan ini seolah menunjukan bahwa pejabat tersebut memiliki misi terselubung dan fanatisme terhadap agama tertentu. Pada titik ini, kebhinnekaan dipandang bukan sebagai aset bangsa Indonesia, tetapi justru sebagai ajang unjuk kekuatan (power).
Hal ini juga mengindikasikan bahwa perbedaan justru menimbulkan kefanatikan yang selanjutnya memunculkan kata “kami” dan “musuh” hingga kuatnya pengaruh “ke-kami-an” membuahkan sikap sentimen terhadap segala sesuatu yang dianggap di luar kata “kami” tersebut. Pada umat Islam diberikan sebutan terorisme, sedangkan pada umat lain sebutan “terorisme” tak berlaku. Pada titik ini, tentu akan memunculkan istilah “fobia Islam”.
Padahal pada Islam diajarkan untuk bersikap wasathiyyah dalam keberagamaan, karena Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin. Alquran menjelaskan: misi Islam adalah sebagai rahmat bagi semesta alam (QS Al-Anbiya’: 107); karakteristik ajaran agama Islam adalah agama yang sesuai dengan kemanusiaan (QS Al-Rum: 30); karakteristik umat Islam adalah umat yang moderat (QS Al-Baqarah: 143); umat Islam juga diperintahkan berpihak kepada kebenaran (QS Al-Rum: 30); menegakkan keadilan (QS Al-Maidah: 8) dan kebaikan agar menjadi umat terbaik (QS Ali Imran: 110).
Islam rahmatan lil ‘alamin juga terefleksikan dalam bentuk pemenuhan hak-hak asasi manusia (HAM). Menurut Al-Syatibi, hak-hak tersebut mencakup lima prinsip dasar, yaitu hifdhu al-din (perlindungan agama), hifdhu al-nafs (perlindungan jiwa), hifdhu al-aql (perlindungan akal), hifdhu al-nasl (perlindungan keluarga) dan hifdhu al-mal (perlindungan harta).
Dalam hal hifdhu al-din, Islam memberikan kemudahan bagi siapa saja untuk menjalankan apa yang diyakininya sesuai dengan ajaran masing-masing, tanpa ada tekanan dan tidak mengusik ketauhidan (Kamus Al-Muhit, 2008:1120). Di sisi lain, umat Islam juga diperintahkan menjaga dan membela agamanya dari segala hal yang dapat mengganggu dan merusak nilai kesucian agamanya
Tragedi ini harus diusut tuntas sampai ke akar-akarnya. Siapa aktor intelektualnya, operatornya dan lainnya harus diselidiki secara komprehensif dan dihukum seberat-beratnya. Bila ini tak dilakukan oleh pemerintah bersama polisi dan pihak lainnya tentu masalah ini dari waktu ke waktu akan memuncak dan memunculkan tragedi kekerasan lainnya.
Selanjutnya, langkah dialog dapat dilakukan. Pemerintah harus mengajak mereka yang berbeda pandangan untuk berdialog yang dialogis. Menurut Paulo Freire, dialog yang dialogis menuntut sejumlah persyaratan, yaitu (1) dialog tidak boleh menjadi alat dominasi seseorang terhadap orang lain, (2) dialog tidak dapat berlangsung tanpa adanya rasa cinta terhadap sesama manusia, dan (3) dialog juga mensyaratkan adanya kerendahan hati.
Dialog yang dialogis ini penting dilakukan, apalagi mengingat saat itu ada dua agenda yang diselenggarakan di waktu yang sama. Pada tanggal 13-17 Juli 2015 GIDI mengadakan kegiatan seminar dan KKR pemuda GIDI, dan pada tanggal 17 Juli 2015 umat Islam merayakan hari raya Idulfitri. Dialog yang dialogis ini untuk mencari win-win solution.
Kemudian yang terpenting juga adalah gerakan meneguhkan kebhinnekaan. Para tokoh agama masing-masing, dengan dukungan pemerintah dan pihak terkait perlu melakukan beberapa hal. Misalnya, sarasehan bagi tokoh agama dan pemuda se-Indonesia. Ini sebagai motivasi tentang betapa pentingnya kebhinnekaan dan motivasi untuk mencintai Tanah Air untuk menciptakan harmoni di negeri yang mejemuk ini.
Media juga perlu mengusung semangat kebhinnekaan dan nasionalisme dalam setiap pemberitaannya. Paradigama bad news is a good news sudah selayaknya diubah menjadi good news is a good news too. Pada titik ini, media tentu akan bukan semata-mata memberitakan tentang betapa bobroknya negeri ini.
Melalui gerakan meneguhkan kebhinnekaan ini semoga dapat membangkitkan nasionalisme kepada putra dan putri Indonesia. Tak dapat dibayangkan bila mereka tak memiliki semangat nasionalisme dan menjunjung kebhinnekaan. Pada titik ini, akan membentuk hubungan horizontal yang harmonis di mana sikap saling mempercayai antara satu sama lain tumbuh. Serta pada akhirnya perbedaan yang tidak produktif dengan sendirinya akan musnah dan kebhinnekaan pun terjaga. Wallahu a’lam