Thursday, November 27, 2014

Menziarahi Pemikiran KH. Abdul Wahid Hasyim untuk Menata-ulang Konsep Pendidikan di Indonesia

Nama KH. A. Wahid Hasyim (selanjutnya disingkat AWH) mungkin tidaklah setenar Soekarno, Moh. Hatta, Sutan Syahrir, ataupun Muh. Yamin. Namun, sumbangsihnya dalam membangun pondasi bangsa dan negara Indonesia tidaklah kalah dengan mereka. Kiprahnya dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan juga Panitia Sembilan BPUPKI menjadi salah satu bukti jasa AWH bagi bangsa Indonesia.
Terlahir pada 1 Juni 1914 sebagai putra seorang ulama besar Indonesia, K.H. Hasyim Asy’ari, AWH sepertinya memang ditakdirkan untuk menjadi ‘the rising star’ pada masanya. AWH berhasil menorehkan berbagai prestasi gemilang di usianya yang relatih masih sangat muda.
AWH kecil dikenal cerdas dan kreatif. Pada usia 5 tahun, dia telah mulai belajar membaca Al Qur’an. Menginjak usia ke-12, AWH telah menamatkan studinya di Madrasah Salafiyah Tebuireng dan telah mempelajari beberapa kitab kuning pada ayahnya sendiri.
Antara umur 13 hingga 15 tahun, AWH berkelana dari satu pesantren ke pesantren yang lain untuk memperdalam wawasan ilmu keagamaannya. Namun, perhatian AWH tidak hanya terfokus pada pelajaran ilmu-ilmu Islam klasik semata. Pada tahun 1929, ia kembali ke Tebuireng dengan telah menguasai huruf Latin.
Selain itu, AWH juga menguasai bahasa Melayu, Belanda, dan Inggris – di samping bahasa Arab – karena secara rutin berlangganan berbagai majalah seperti Penjebar Semangat,Daoelat Ra’jat, dan Pandji Poestaka.
Pada usianya yang baru menginjak 17 tahun, AWH telah mengajar kitab Ad-Dararul Bahiyah dan Kaffrawi kepada para santri Tebuireng. Antara tahun 1932-1933, AWH menunaikan ibadah haji dan bermukim serta belajar selama setahun di Makkah. Pergaulannya dengan berbagai orang dari beragam negara yang bermukim di Makkah rupanya telah membuka cakrawalanya dalam berbagai bidang seperti agama, politik, budaya, dan pendidikan.
Sosok AWH memang lebih banyak dikenal karena sepak terjangnya dalam bidang politik. Entah kebetulan atau memang sudah ditakdirkan demikian, AWH hidup di masa-masa kritis perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sumbangsih pemikiran-pemikirannya di bidang politik dan kebangsaan menyebabkan tidak berlebihan kiranya jika AWH dapat digolongkan sebagai salah satu founding fathers bangsa Indonesia.
AWH telah menjadi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Ketua Dewan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), serta Ketua Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pada usianya yang belum genap 30 tahun. Bahkan, dia ditunjuk oleh Presiden Soekarno menjadi Menteri Agama pada kabinet pertama di usia 31 tahun.
Namun, banyak orang yang tidak tahu – termasuk di kalangan nahdliyin sendiri – bahwa sebenarnya AWH adalah juga seorang tokoh pendidikan. Bahkan, para pakar pendidikan pun jarang menyebut AWH sebagai salah satu tokoh penting dalam perkembangan dunia pendidikan di Indonesia. Mereka lebih sering menyebut K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyyah) atau Abdullah Ahmad (pendiri Madrasah Adabiyyah di Minangkabau) sebagai tokoh pembaharu dunia pendidikan Indonesia.
Hal itu nampaknya didasari asumsi bahwa istilah “pembaharuan pendidikan” dianggap lebih identik dengan kaum modernis – yang direpresentasikan oleh Muhammadiyyah – dibandingkan dengan kalangan tradisionalis yang dalam hal ini diwakili oleh Nahdlatul Ulama.
Padahal, pembaharuan juga berlangsung di institusi pendidikan milik NU dan salah satu motor pendorong pembaharuan tersebut adalah AWH. Dia-lah yang berani memasukkan ilmu-ilmu umum ke dalam dunia pesantren. Dia pulalah aktor utama di balik ide pendirian lembaga pendidikan seperti PGA (Pendidikan Guru Agama) dan PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri).
Selama kepemimpinannya di Ponpes Tebuireng Jombang (1947-1950), AWH juga banyak mengusung ide perubahan yang bisa dibilang radikal mengingat konservatisme golongan tua Nahdlatul Ulama pada masa tersebut.
Keberanian AWH untuk mendobrak tatanan lama sistem pendidikan Islam menarik untuk dikaji kembali saat ini. Apalagi jika melihat konteks Indonesia kekinian, keterpurukan dalam bidang pendidikan telah menimbulkan keprihatian banyak kalangan. Sederet fakta dan data negatif tentang kualitas pendidikan Indonesia mungkin terlalu panjang jika harus dijabarkan satu per satu dalam tulisan ini.
Salah satu data terbaru yang perlu disajikan di sini adalah laporan UNESCO dalamEducation for All (EFA) Global Monitoring Report 2011: Di Balik Krisis: Konflik Militer dan Pendidikan yang dikeluarkan pada awal Maret 2011 menempatkan peringkat pendidikan Indonesia berada di rangking ke-69 dari 127 negara di dunia.
Peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia juga semakin menurun. Jika pada tahun 2007 IPM Indonesia berada pada rangking 107 dari 177 negara sedunia, pada tahun 2009 turun menjadi peringkat 111.
Rendahnya IPM Indonesia ini berakibat pada rendahnya kualitas daya saing bangsa Indonesia di pentas persaingan global. Survei World Economic Forum yang bertajuk The Global Competitiveness Report 2010-2011 yang dirilis akhir tahun 2010 menempatkan daya saing Indonesia berada di posisi 44 dari 139 negara yang disurvei.
Fakta-fakta di atas memunculkan pertanyaan besar dalam benak kita, apa yang salah dengan sistem pendidikan Indonesia sehingga tak kunjung berhasil mengangkat harkat dan martabat manusia Indonesia?
Tulisan ini mencoba untuk menggali kembali pemikiran-pemikiran AWH di bidang pendidikan dengan harapan dapat menjadi alternatif solusi untuk meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia.
B. Mutiara – Mutiara Pemikiran KH. A. Wahid Hasyim di Bidang Pendidikan
1. Mencetak Santri yang Membumi dan Kompeten
Sebagai seseorang yang terlahir dalam lingkungan pendidikan (pesantren), AWH sangat menyadari bahwa untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Islam haruslah melalui pendidikan.
Namun, AWH juga menyadari bahwa pendidikan agama saja tidaklah cukup. Harus pula diimbangi dengan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini sejalan dengan “obsesi” AWH yang ingin mendudukkan kaum santri (pelajar Islam) dalam posisi yang sejajar dengan yang lainnya. Dia tidak ingin melihat santri dipandang sebagai “intelektual kelas dua” dan dianggap hanya bisa jadi modin/lebai oleh masyarakat.
Dalam pandangan AWH, tidak semua santri yang belajar di pesantren harus dan akan menjadi ulama semua. Seorang santri juga harus menguasai ilmu-ilmu umum sehingga mampu berkiprah di berbagai bidang dalam kehidupannya.
Oleh karenanya, tidak seluruh santri di pesantren harus mempelajari bahasa Arab dan kitab-kitab kuning dengan terlalu intensif. Menurut AWH, hal tersebut dinilai memboroskan waktu saja karena pada akhirnya mereka tidak akan menjadi ulama semuanya. Pengajaran kitab-kitab kuning dalam bahasa Arab hendaknya terbatas bagi sejumlah kecil santri yang memang akan dididik untuk menjadi ulama.
Seorang santri, dalam perspektif AWH, cukup mengikuti latihan kehidupan beberapa bulan di pesantren dan mempelajari Islam yang ditulis dalam kitab-kitab berbahasa Indonesia, kemudian sebagian besar waktunya digunakan untuk belajar berbagai pengetahuan dan keterampilan praktis.
Konsep inilah yang pada saat ini dikenal dengan istilah life skill education (pendidikan kecakapan hidup). Dan, AWH-lah yang memperkenalkannya terlebih dahulu kepada dunia pendidikan Indonesia pada tahun 1930-an – jauh sebelum istilah tersebut ditemukan.
Meskipun ide ini pada akhirnya tidak disetujui oleh K.H. Hasyim Asy’ari karena perubahan radikal seperti itu akan menciptakan kekacauan di antara sesama pemimpin pesantren, tetapi maksud di balik usul AWH ini dapat dipahami oleh KH. Hasyim Asy’ari.
Bahwa, seorang santri yang belajar di pesantren selain demi mencari ridho Allah, juga harus memiliki kemampuan untuk beradaptasi dan berkiprah dalam kehidupannya di tengah masyarakat. Seorang santri, di samping harus bisa menjawab masalah-masalah keagamaan, juga harus bisa menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat seperti kemiskinan dan kebodohan.
Tidak semua ide AWH untuk mengubah sistem pendidikan di pesantren ditolak oleh KH. Hasyim Asy’ari. Salah satu ide pembaharuan yang didukung oleh ayahnya adalah pendirian Madrasah Nidhomiyyah. Madrasah ini dirancang layaknya “sekolah modern” dengan sistem klasikal di mana 70% muatan kurikulumnya adalah pengetahuan umum sedangkan 30% sisanya adalah ilmu-ilmu keagamaan.
Ilmu-ilmu umum yang diajarkan di Madrasah Nidhomiyah antara lain aritmatika, sejarah, geografi, dan ilmu alam. Selain itu, seiring dengan pendirian Madrasah Nidhomiyah, AWH juga mulai memperkenalkan kursus-kursus pidato, bahasa Indonesia, bahasa Belanda, bahasa Inggris, dan keterampilan mengetik.
Meskipun terlihat sepele, pada masa itu keterampilan tersebut sangat dibutuhkan agar setelah lulus dari pesantren para santri bisa berkarya di segala bidang, tidak terbatas hanya pada bidang keagamaan saja.
Keberanian AWH menawarkan ide pembaharuan dalam sistem pendidikan di pesantren membuahkan hasil yang memuaskan. Secara kuantitatif, jumlah santri Pesantren Tebuireng mengalami peningkatan drastis, mulai dari 28 orang santri pada 1889, meningkat jadi 200 orang pada akhir 1910-an, dan 10 tahun berikutnya melonjak hampir mencapai 2000 santri.
Ide pembaharuan yang digulirkan AWH ini juga membawa efek domino kepada pesantren-pesantren lain yang mulai mengadopsi sistem yang digagas oleh AWH tersebut. Sejak saat itulah, Pesantren Tebuireng semakin dikenal sebagai pusat pendidikan bagi kader-kader Nahdlatul Ulama.
2. Dari Bandongan ke Tutorial
Seperti sudah kita ketahui bersama bahwa ada dua metode pembelajaran yang diterapkan di pesantren yaitu sorogan dan bandongan. Pada sistem sorogan, seorang guru harus mengawasi, menilai, dan membimbing secara individual kemampuan seorang santri. Di sisi lain, santri juga dituntut harus “mempresentasikan” kemampuannya dalam membaca kitab kuning face to face dengan sang kyai.
Sistem sorogan merupakan bagian yang paling sulit dalam keseluruhan sistem pendidikan di pesantren karena menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari santri. Tetapi, sistem ini dinilai juga efektif untuk menyiapkan santri yang mumpuni karena mendapatkan bimbingan langsung dari para gurunya.
Sedangkan pada sistem bandongan, seorang guru akan membacakan, menerjemahkan, menerangkan, dan mengulas sebuah kitab kuning di hadapan sekelompok santri (jumlahnya bisa tak terbatas, antara 5 sampai 500) yang mendengarkan dan menyimak penjelasan tersebut sambil memberi catatan pada kitab miliknya sendiri.
Pada sistem bandongan, seorang santri tidak harus menunjukkan bahwa dia mengerti pelajaran yang dihadapi. Para kyai biasanya membaca dan menerjemahkan kalimat-kalimat secara cepat sehingga terkadang sebuah kitab pendek dapat khatam dalam beberapa minggu saja. Oleh karena itu, sistem ini hanya efektif bagi santri-santri senior yang telah mengikuti sistem sorogan secara intensif.
Efektivitas metode bandongan juga digugat oleh AWH sebagai bagian dari ide reformasi yang digulirkannya untuk merombak sistem pendidikan pesantren. Menurut AWH, sistembandongan menutup rapat pintu kreativitas dan inisiatif santri karena hanya berlangsung satu arah. Dialog antara kyai dan santri menjadi sesuatu yang “tabu” dalam metodebandongan.
Sebagai pengganti metode bandongan, AWH menawarkan sebuah metode baru yaitu metode tutorial yang sistematis. Sayangnya, tidak ada penjelasan lebih jauh yang diberikan oleh AWH mengenai metode tutorial ini. Namun, kiranya bisa disimpulkan bahwa metode tutorial dilakukan dengan cara memberikan bimbingan khusus kepada para santri, terutama kepada para santri yang mengalami kesulitan belajar.
Metode ini tidak harus dilakukan oleh guru/kyai secara langsung, tetapi juga bisa dilakukan oleh para santri senior selaku badal (wakil) dari guru/kyai. Dengan metode ini, para santri dibiasakan untuk terlibat dalam diskusi intensif dengan para tutornya. Selain itu, nampaknya dengan menerapkan sistem ini, AWH berharap dapat mengurangi hubungan patron-klien yang masih sangat kuat di antara kyai/guru dan santri.
3. Menjadikan Perpustakaan sebagai Elemen Penting di Pesantren
Zamakhsyari Dhofier dalam bukunya yang berjudul Tradisi Pesantren (LP3ES:1983) menjelaskan ada lima elemen utama dalam sebuah pesantren. Kelima elemen tersebut membangun dan membentuk pesantren menjadi sebuah komunitas dan entitas sosial yang memiliki ciri khas tersendiri. Kelima elemen tersebut adalah :
  1. Pondok (penginapan untuk bermukim santri)
  2. Masjid
  3. Pengajaran Kitab-Kitab Islam Klasik
  4. Santri
  5. Kyai
Tetapi bagi AWH, kelima elemen tersebut belumlah cukup untuk mewujudkan pesantren sebagai centre of excellent-nya pendidikan Islam seperti yang dicita-citakannya.
Ketika AWH mendirikan Madrasah Nidhomiyyah setelah mendapatkan persetujuan dari KH. Hasyim Asy’ari pada tahun 1934, dia juga mendirikan perpustakaan. Kehadiran perpustakaan di sebuah pesantren memang belum jamak pada saat itu tetapi AWH berani mendobrak kondisi tersebut. Perpustakaan dipandangnya menjadi salah satu prasyarat penting untuk mewujudkan tujuannya yaitu meningkatkan kualitas sumber daya manusia Islam. Kegemarannya membaca dan menulis nampaknya juga menjadi latar belakang idenya untuk mendirikan perpustakaan di Ponpes Tebuireng.
Perpustakaan yang didirikan oleh AWH memiliki koleksi sebanyak 1000 judul buku yang kebanyakan adalah buku-buku agama Islam. Selain itu, perpustakaan itu juga berlangganan majalan dan surat kabar, seperti Panji Islam, Dewan Islam, Islam Bergerak,Berita Nahdlatul Ulama, Adil, Nurul Islam, Al Munawarah, Panji Pustaka, Pustaka Timur,Pujangga Baru, dan Penyebar Semangat.
Dari kesebelas jurnal/majalah tersebut, hanya Berita Nahdlatul Ulama saja, yang secara konsisten mewakili pandangan kaum tradisionalis. Selebihnya merupakan jurnal/majalah yang diterbitkan oleh kalangan Islam modernis dan nasionalis.
Para santri dianjurkan membaca buku, majalah, dan surat kabar sebanyak mungkin. Suratkabar yang baru dipasang di papan di halaman depan masjid sehingga memudahkan para santri untuk beramai-ramai membacanya. Dengan demikian, para santri memperoleh pengetahuan yang memadai dalam berbagai bidang seperti sosial, ekonomi, dan politik.
Kesediaan AWH untuk berlangganan majalah dan surat kabar milik kalangan Islam modernis dan nasionalis merupakan gambaran pribadinya yang progresif dan sikapnya yang toleran dalam persoalan-persoalan ideologi, sosial, dan politik.
C. Relevansi Pemikiran AWH dengan Problematika Pendidikan Indonesia Kontemporer
Setelah kita mencermati mutiara-mutiara pemikiran AWH dalam bidang pendidikan seperti yang diuraikan di atas, kita melihat adanya relevansi antara pemikiran-pemikiran AWH tersebut dengan problematika pendidikan Indonesia yang terjadi saat ini.
1. Mengembalikan Pendidikan Agama Sesuai dengan Proporsi dan Fungsinya
Merosotnya moralitas generasi muda kita saat ini disinyalir terjadi karena Pendidikan Agama dan Budi Pekerti yang mereka dapatkan di sekolah sudah tidak lagi sesuai dengan proporsi dan fungsi idealnya.
Pendidikan Agama yang mereka dapatkan di sekolahnya saat ini lebih banyak menekankan pada aspek kognitif semata. Para siswa lebih banyak dituntut untuk menghapal materi dibandingkan bagaimana mereka mengimplementasikan ajaran agama tersebut dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Aspek psikomotorik dan afektif tidak terlalu mendapatkan perhatian. Padahal, kedua aspek tersebut justru menjadi ruh/inti dari Pendidikan Agama dan Budi Pekerti. Untuk apa mereka hapal tentang rukun dan syarat sahnya salat jika mereka tidak pernah melakukannya dalam kehidupan nyata?
Belajar dari pengalaman AWH saat mendirikan Madrasah Nidhomiyah, proporsi ideal perbandingan antara ilmu umum dan ilmu agama adalah 70%-30%.  Kondisi ini berbeda sekali dengan realitas yang terjadi di dunia pendidikan kita saat ini, khususnya di sekolah-sekolah milik pemerintah.
Pendidikan Agama mendapatkan porsi yang sangat sedikit dibandingkan ilmu-ilmu umum, biasanya hanya dua jam pelajaran dalam satu minggu. Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya keteladanan dari orang yang lebih tua dalam kehidupan para siswa sehari-hari.
2. Membangun Suasana Dialogis dalam Pembelajaran
Saat AWH melontarkan ide untuk mengganti metode bandongan dengan metode tutorial sepertinya didasari pada kesadaran bahwa santri/siswa adalah manusia merdeka yang memiliki kreativitas dan inisiatif pribadi. Mematikan kreativitas santri/siswa sama halnya dengan membunuh potensi mereka, bahkan sebelum potensi itu tumbuh dan berkembang.
Metode tutorial memberi ruang antara guru/kyai dan siswa/santri untuk terlibat dalam dialog yang seakan ditabukan dalam metode bandongan. Suasana dialogis sangat penting dikembangkan dalam pembelajaran karena melatih daya kritis dan logika.
Metode tutorial sama sekali tidak akan menurunkan kewibawaan dan pamor guru/kyai di mata siswa/santri karena hubungan yang dibangun dalam metode tutorial adalah kesetaraan. Ketika seseorang diperlakukan sejajar maka akan tumbuh rasa saling menghormati.
Metode tutorial juga dipandang lebih efektif untuk memantau perkembangan kemampuan individual masing-masing siswa/santri. Metode tutorial juga akan mempererat hubungan antara guru/kyai dan siswa/santri.
3. Perpustakaan adalah Pusat Ilmu Pengetahuan
Banyak lembaga pendidikan di Indonesia yang tidak melihat urgensi dan manfaat dari perpustakaan. Akibatnya, perpustakaan sekolah seringkali hanya menjadi pemanis belaka. Tidak jarang hanya sekadar papan nama tanpa memiliki koleksi bahan pustaka yang memadai.
Membangun dan mengembangkan perpustakaan belum menjadi prioritas utama para pengelola lembaga pendidikan di Indonesia. Mereka lebih senang membangun laboratorium fisika, lapangan olahraga, atau ruang komputer yang lengkap karena dianggap lebih prestisius dan lebih ‘menjual’.
Namun tidak demikian halnya dengan yang dilakukan AWH puluhan tahun silam. AWH sadar  betul bahwa kehadiran perpustakaan yang memadai adalah prasyarat mutlak untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. AWH memfungsikan perpustakaan bukan sebagai gudang tempat penyimpanan buku semata namun sebagai pusat ilmu pengetahuan.
D. PENUTUP
KH. A. Wahid Hasyim meninggal dunia akibat kecelakaan mobil dalam usia yang relatif masih muda, 39 tahun. Dalam usianya yang relatif singkat tersebut, AWH telah meninggalkan banyak pelajaran berharga yang dapat kita petik dan terapkan untuk kehidupan kita saat ini.
Jejak-jejak perjuangan AWH tersebut kemudian dilanjutkan oleh putra sulungnya Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Saat ini, Gus Dur pun telah menyusul sang ayahanda. Tugas dan tanggung jawab kita bersama-lah sekarang untuk melanjutkan perjuangan kedua Bapak Bangsa kita tersebut yang masih jauh dari kata selesai

PEMBELAJARAN IPA DI LUAR KELAS

IPA merupakan salah satu Mata Pelajaran yang mempunyai ruang lingkup sangat luas. Di dalam IPA dipelajari tentang sesuatu yang berhubungan ...