“HABIS gelap terbit terang, masa depan jelang!” Lirik lagu yang menjadi soundtrack iklan layanan masyarakat tentang BOS (bantuan operasional sekolah) dengan Dik Doank-nya itu belakangan begitu akrab di telinga kita. Iklan tersebut begitu gencar dimunculkan di televisi, yang menggambarkan bahwa semua anak Indonesia sekarang bisa sekolah. Tentu saja, mereka yang tidak mampu dibantu dana BOS.
Gencarnya iklan layanan masyarakat itu juga mengingatkan saya pada gencarnya iklan wajib belajar 9 tahun, yang dulu identik dengan Bang Doel-nya. Keduanya sama, sama-sama mengingatkan bangsa ini bahwa pendidikan sangat penting. Pendidikan tidak boleh disepelekan. Sebab, tidak bisa dimungkiri, kualitas sebuah bangsa sangat ditentukan kualitas sumber daya manusianya, yang notabene kualitas itu berasal dari pendidikan.
Dengan adanya keinginan untuk memperbaiki kualitas SDM bangsa ini, yang mutlak dilakukan adalah memperbaiki pendidikan. Puluhan cara sudah dilakukan untuk mencapai hal itu. Triliunan dana sudah dikeluarkan. Tapi, semua tahu, kenyataannya tak seindah yang dibayangkan. Boro-boro mau memperbaiki kualitas, yang bisa mengenyam pendidikan saja masih sedikit kok.
Sekolah Internasional
Salah satu cara untuk meningkatkan standar pendidikan, akhir-akhir ini banyak didirikan sekolah dengan embel-embel bertaraf internasional. Berbagai sekolah unggulan pun tak ketinggalan membuka kelas-kelas yang juga bertaraf internasional. Diharapkan dengan model pendidikan seperti itu, kualitas pendidikan kita tak kalah dengan kualitas pendidikan negara lain.
Namun, banyak hal yang sebenarnya tersembunyi di balik kata-kata internasional tersebut. Saya sepakat dengan yang diungkapkan Eko Prasetyo dalam bukunya, Guru: Mendidik Itu Melawan, bahwa berdirinya sekolah internasional malah memberi kekerasan pada murid.
Betapa tidak, model pendidikan seperti itu seolah-olah menggambarkan bahwa sekolah adalah tempat bagi mereka yang dianggap unggul dan cerdas saja, yang bisa memenuhi standar keunggulan sekolah. Padahal, orientasi dasar penetapan standar itu belum jelas.
Selain itu, sekolah bertaraf internasional sangat jelas dapat dimaknai sebagai jalur pendidikan yang berorientasi pasar. Ada kecenderungan bahwa standar kecerdasan yang dimaksud mengikuti kebutuhan-kebutuhan industri. Yaitu, menciptakan murid-murid yang kemampuan intelektualnya sesuai dengan sistem produksi dunia industri.
Hal itu dibuktikan dengan penerapan pengetahuan pasar dalam metode pengajaran. Misalnya, berhitung dengan metode cepat, penguasaan bahasa asing dan bahasa mesin, serta memfungsikan waktu sekolah sesuai dengan program produksi. Waktu sekolah diperpanjang mulai pagi hingga sore, seperti jam kerja. Tentu saja, itu membuat murid menjadi lebih eksklusif dengan tidak membiarkannya bergaul dengan masyarakat sekitar lebih lama.
Hasilnya hanya akan membuat bangsa kita kian terpuruk. Dengan segala model pendidikan seperti itu, mustahil akan terlahir murid-murid yang kritis dan mengerti esensi pendidikan yang sebenarnya.
Pendidikan model sekolah internasional tersebut hanya melahirkan kumpulan murid dengan kemampuan cepat menerima segala macam sampah informasi dan pemahaman bahwa pendidikan hanya sebagai batu loncatan untuk menyejahterakan dirinya kelak.
Internasional atau Nasional ?
Menurut saya, yang lebih efisien untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah menerapkan standar nasional terlebih dahulu. Hal itu tentu bukan hanya terletak pada angka-angka hasil akhir yang dicapai dalam unas (ujian nasional).
Memang, sekolah bertaraf internasional sangat bagus untuk memacu pendidikan dan membuktikan bahwa pendidikan bangsa ini tak ketinggalan dengan pendidikan di negara lain. Tetapi, apakah hal itu tidak terlalu berlebihan jika pendidikan di seluruh negara ini saja belum merata. Yang ada hanya menciptakan eksklusivitas dan kesenjangan sosial antara sekolah di kota-kota besar dan sekolah-sekolah di pelosok daerah.
Makin menjamurnya sekolah-sekolah bertaraf internasional juga tidak dapat dijadikan acuan untuk melihat kualitas pendidikan. Sebab, yang bersekolah di sana tentu hanya segelintir murid elite yang mampu membayar iuran sekolah yang harganya selangit.
Karena itu, lebih baik kita hidupkan sekolah-sekolah yang berstandar nasional dulu di seluruh negeri ini. Kalau perlu, tenaga-tenaga pendidik yang katanya berkompeten dalam mengajar di sekolah internasional diperbantukan di sana.
Dengan begitu, seluruh murid di Indonesia mampu tersenyum saat memandang sesama temannya. Bukan malah mendongakkan atau menundukkan kepala akibat banyaknya kesenjangan.
* Maya Susiani, mahasiswi Fakultas Ekonomi Universitas Jember, pemimpin redaksi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ecpose FE Unej