DALAM sebuah tayangan di televisi swasta beberapa hari lalu, pada program khusus sempat mengangkat soal topik yang persis seperti judul di atas, yakni “Bahaya Dalam Gengaman” dan jelas sekali bahwa isu ini memang tidak ada batas basinya.
Dengan hanya melihat beberapa cuplikan dari tayangan tersebut atau bisa saya sebutkan sekilas, saya menangkap bahwa program yang memang menyebutkan kata-kata gengaman ini tak lain adalah tamsilan untuk gadget atau ponsel yang sehari-hari kita gunakan.
Terlebih dari itu masuk pada sub inti dari peran teknologi adalah perangkat lunak yang bernama media sosial atau kerap juga dipahami dengan jejaring sosial.
Kebebasan yang berkedok media sosial memang sering luput dari penggunanya, dalam tayang di TV swasta tersebut sempat mengungkapkan panjang lebar soal betapa seringnya muncul tindakan kriminalitas dalam kehidupan sehari-hari yang bisa kita sebut dalam tatanan sosial berbasis dunia nyata.
Kita tidak bisa menyalahkan perangkat dari teknologi semisal produk dari banyaknya media sosial, karena hal tersebut diciptakan justru untuk kepentingan pengguna, bukan untuk melanggar batas ataupun merusak seseorang dan privasi. Terkadang, banyak pengguna tidak sadar akan batasan dan ketentuan dari produk teknologi, sebut saja pelanggaran TOS yang tidak mendapat banyak perhatian dari pengguna teknologi daring.
Media Sosial Tak Pernah Basi
Ketika mendengar media sosial kita akan dengan mudah menemukan kesempatan bagi pengguna dengan seluas-luasnya untuk berpendapat atau mengomentasi siapapun. Sebut saja lewat kicauan di Twitter, status di Facebook, Path, ataupun video di Youtube, pengguna bebas menyatakan dan menulis apa saja pada media yang mereka inginkan.
Tak jarang pula, aturan baku (UU dan KUHP) yang telah ada juga kerap tidak mendapat tempat di pengguna media sosial, selain itu aturan tak tertulis pun yang disebut norma atau etika juga terkadang mendapat tempat yang tidak ‘laku’ di mata penikmat media sosial, baik melihat dari sisi umur, latarbelakang, dan tingkat pemahaman.
Secara umum pengguna internet di Indonesia juga naik signifikan, walaupun dari sisi penetrasi masih lemah (baca Pertumbuhan Digital Indonesia). Namun, data-data tersebut tidak menjamin bahwa etika dari netizen ikut juga terus berkembang sejalan dengan waktu, inilah yang menjadi pekerjaan rumah pribadi dari setiap anak bangsa di tanah air ini, apa mungkin revolusi mental juga menjadi bagian penting yang harus dilakukan oleh netizen (internet citizen) di Indonesia?
Jadi sangat wajar sekali, jika aturan dan batasan dari setiap pengguna internet khususnya dalam media sosial akan terus menjadi hal yang tidak akan pernah basi untuk dibahas atau sekedar mejeng disejumlah laman berita daring nasional hingga global.
Data Digital Jadi Bukti Hukum
Sejumlah kasus yang bermunculan di media sosial dari rentang waktu tahun 2008 hingga sekarang, sejak adanya UU ITE memang bukan soal gampangan.
Praktisi teknologi informasi, I Putu Agus Swastika pernah mengatakan, dahulu menghina seseorang melalui omongan masih memerlukan banyak saksi dan bukti untuk bisa menyeret pelakunya ke pengadilan. Namun, kini cukup dengan capture screen aktivitas social media, seseorang bisa melaporkan kasus penghinaan dan pencemaran nama baik.
Hal tersebut difasilitasi dalam pasal 27 ayat (3) UU ITE. Pasal itu berbunyi, ”Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik.”
“Artinya, seorang netizen harus hati-hati menggunakan media sosial. Sebab, dengan hanya me-retweet atau menge-share sebuah posting-an bernada penghinaan, juga bisa dilaporkan karena dianggap ikut mendistribusikan,” tutur pria yang menjadi tim ahli Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) ini. (baca UU ITE: Mencari Keseimbangan Antara Etika dan Kebebasan Berekspresi)
Kita sadar bahwa, media sosial lahir dari para pencetusnya (founder) yang beragam maksud dan tujuan tetap pada koridor untuk membangun sebuah sistem baru, yakni mempererat jalinan pertemanan dan menjangkau dunia lebih jauh searah dengan perkembangan teknologi. Tapi lagi-lagi praktik yang digunakan oleh pengguna, tak jarang dengan media sosial si pengguna bisa menyerang, mem-bully orang atau pihak/kelompok lain baik lewat akun anonim maupun akun pribadi secara terang-terangan itu merusak tatanan kehidupan sosial.
“Media sosial atau social media awalnya digunakan untuk bersosialisasi satu sama lain dan dilakukan secara online yang memungkinkan manusia untuk saling berinteraksi tanpa dibatasi ruang dan waktu. Media sosial dianggap mampu menghapus batasanbatasan manusia untuk bersosialisasi, batasan ruang maupun waktu,” jelas Pengurus Pusat Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia, Hendrata Yudha. (Baca: Media Massa tak Sebangun dengan Media Sosial)
Sejatinya media sosial saat ini adalah menggiring kita untuk menjadi masyarakat yang berkehidupan sosial tanpa memiliki batas jarak dan waktu, namun bukan membuat kita (netizen) menjadi orang-orang yang bersikap anti-sosial.
Jadi, semuanya kembali pada diri masing-masing dan termasuk menjaga orang-orang sekitar agar menjadi pribadi yang sehat, sehat dalam artian pengguna media sosial yang memiliki etika sosial.[]Sem