TAK terasa seiring berputar waktu, bulan dilangit pun menuntun garis edarnya dengan segala kuasa dan karya Maha Agung, tepatnya Minggu (27/11) yang lalu kita pun memasuki tahun baru 1 Muharram 1433 H.
Berbicara masalah waktu, memang sering membuat kita tanpa sadar terlewatkan. Dan seiring waktu itu pula umurnya kita bertambah serta tak kurang jatah kita untuk berada di dunia yang serba fana ini pun makin mendekati ke alam berikutnya.
Pada hari jum’at (25/11) beberapa waktu lalu sempat mengingat beberapa petikan dari isi khutbah, dimana sang khatib kembali memberikan sebuah nasehat yang tentunya menyambut tahun baru yang sarat kita peringati sesuai dengan ketentuan yang telah banyak dicontohkan dalam Al-Qur’an maupun sunnah.
Ada beberapa fakta tercengang juga pada khutbah waktu itu, salah satu keistimewaan hari Senin bagi Nabi Muhammad SAW yang dijelaskan sang khatib, yakni kelahiran beliau pada hari Senin, diangkat menjadi rasul, menerima wahyu pertama kali serta sampai Rasulullah wafat untuk selamanya juga bertepatan pada hari senin.
Tentunya keistimewaan pada hari-hari tersebut tidak membuat Rasul berlebihan, namun sebaliknya Rasulullah telah memberikan teladan untuk kita semua lewat cara dan perbuatannya dalam mensyukuri setiap nikmat yang diberikan Allah SWT.
Begitupula dengan keistimewaan hari Asyura atau tepatnya dengan 10 Muharram, sejarah ini juga berawal dari bulan haram yang ada disisi Allah. “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu…” (QS. At-Taubah (9): 36).
Kedudukan bulan Muharram pun dapat dilihat dari nama bulan itu sendiri serta julukan yang diberikan kepadanya. Nama Muharram merupakan sighat maf’ul dari kata Harrama-Yuharrimu, yang artinya diharamkan. Maka pada bulan-bulan yang telah mendapat julukan tersebut, terdapat pengharaman terhadap perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah SWT, sehingga memiliki tekanan khusus yang sangat kuat pada bulan ini.
Kemudian dari sisi istilah, bulan ini disebut sebagai “Bulan Allah” (Syahrullah), sebagaimana terdapat riwayat yang akan disebutkan dalam pembahasan berikut. Berarti bulan ini disandingkan kepada Lafzul Jalalah (Lafaz Allah). Para ulama menyatakan bahwa penyandingan makhluk kepada Lafzul Jalalah, memiliki makna tasyrif (pemuliaan), sebagaiman istilah Baitullah, Rasulullah, Abdullah, dan sebagainya.
Asal Usul Muharram
Banyak yang mengira bahwa penetapan bulan Muharram sebagai awal tahun Hijriah adalah karena peristiwa Hijrah Rasulullah SAW ke Madinah terjadi pada bulan itu. Perkiraan tersebut keliru, karena Rasulullah SAW memulai perjalanan Hijrahnya pada akhir bulan Shafar dan tiba di Madinah pada awal bulan Rabi’ul Awal.
Benar bahwa peristiwa hijrah dijadikan sebagai patokan untuk memulai penanggalan Hijriah, dimana tahun kejadiannya dijadikan sebagai tahun pertama dalam penanggalan hijriah. Maka kalau sekarang dikatakan sebagai tahun 1427 H, hal itu berarti telah berlalu 1427 tahun sejak peristiwa hijrahnya Rasulullah ke Madinah. Namun penetapan Muharram sebagai awal tahun Hijriah adalah karena alasan lain.
Bahkan ketika dimusyawarahkan pada zaman Umar bin Khattab tentang bulan apa yang akan dijadikan sebagai bulan pertama dalam penanggalan Hijriah, pada awalnya diusulkan adalah bulan Rabi’ul Awal, ada pula yang mengusulkan bulan Ramadhan. Namun akhirnya yang disepakati adalah bulan Muharram, karena pada bulan ini kaum muslimin telah pulang dari melaksanakan ibadah haji yang merupakan akhir dari rukun Islam yang lima.
Disamping itu –terkait dengan peristiwa hijrah– karena bulan Muharram dianggap sebagai awal dari keinginan Hijrah, mengingat peristiwa Bai’atul Aqabah kedua terjadi pada pertengahan bulan Dzulhijjah, dan karenanya diperkirakan bahwa pada bulan Muharram keinginan untuk melakukan hijrah sudah bulat.
Puasa Asyura
Dibulan Muharram ini berdasarkan syariat Islam, terdapat sebuah hari yang dikenal dengan istilah Yaumu ‘Asyura atau dikenal dengan puasa Asyura, yaitu hari tanggal sepuluh bulan Muharram. Asyura berasal dari kata ‘asyarah’ yang artinya sepuluh.
Pada hari Asyura inilah terdapat sebuah sunnah yang telah diajarkan Rasulullah SAW kepada umatnya untuk dilaksanakan sebagai bentuk ibadah dan ketundukan kepada Allah SWT, yaitu ibadah puasa Asyura.
Diriwayatkan dari Aisyah ra, dia berkata: Dahulu orang-orang Quraisy pada masa jahiliah berpuasa pada hari ‘Asyuro, maka ketika beliau (Rasulullah SAW) datang ke Madinah beliau berpuasa dan memerintahkannya, kemudian ketika telah ditetapkan kewajiban puasa bulan Ramadhan, beliau meninggalkan (perintah wajib) puasa ‘Asyuro, siapa yang berkehendak maka dia berpuasa, dan siapa yang tidak maka dia (boleh) meninggalkannya. (Muttafaq alaih)
Fase Penetapan Puasa Asyura
Dari sejumlah riwayat yang ada, dapat disimpulkan bahwa pada masa Rasulullah SAW, ketetapan puasa Asyura memiliki beberapa fase penetapan, yaitu:
Pertama, Rasulullah SAW telah melakukan puasa Asyura sejak awal sebagaimana orang-orang Quraisy pada masa Jahiliah melakukannya, namun beliau tidak memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa.
Kedua, Ketika beliau datang ke Madinah dan mengetahui orang-orang Yahudi juga berpuasa pada hari Asyura, beliau berpuasa dan memerintahkan para shahabatnya untuk berpuasa juga. Sebagian ulama berpendapat bahwa saat itu puasa Asyura wajib hukumnya, sebagian lagi menyatakan Sunnah Mu’akkadah (Sunnah yang sangat ditekankan).
Ketiga, Setelah diturunkan kewajiban puasa Ramadhan (tahun 2 H), maka setelah itu beliau beliau tidak memerintahkannya lagi namun juga tidak melarangnya dan membiarkannya sebagai perkara Sunnah. Kebanyakan para ulama menyatakan bahwa saat itu, puasa Asyura sebagai Sunnah ghairu mu’akkadah (sunnah yang tidak ditekankan).
Keempat, Diakhir kehidupannya Rasulullah SAW bertekad untuk tidak hanya puasa pada hari Asyura saja, tetapi juga menyertakan hari lainnya (tangal sembilan), agar berbeda dengan ibadahnya orang Yahudi.
Bagaimana Berpuasa Asyura?
Ibnu Qoyim dalam kitabnya, Zaadul Ma’ad –Berdasarkan riwayat-riwayat yang ada- menjelaskan tentang urutan puasa ‘Asyuro: Yang paling sempurna adalah puasa tiga hari, yaitu puasa tanggal sepuluh dan sehari sebelum dan sesudahnya (9, 10, dan 11), urutan yang kedua adalah puasa tanggal sembilan dan sepuluhnya dan inilah yang banyak disebutkan dalam hadits, sedang urutan ketiga adalah puasa tanggal sepuluhnya saja.
Terkait dengan dalil yang memerintahkan puasa sebanyak tiga hari (9,10 dan 11) para ulama mengatakan bahwa riwayat Ibnu Abbas yang sering dijadikan landasannya adalah dha’if, dan karenanya tidak dapat dijadikan dalil. Akan tetapi pengamalannya tetap dibenarkan oleh para ulama dengan dua alasan.
Sebagai kehati-hatian, yaitu kemungkinan penetapan awal bulannya tidak tepat, maka puasa tanggal sebelasnya akan dapat memastikan bahwa seseorang mendapatkan puasa Tasu’a dan Asyura. Dimasukkan dalam puasa tiga hari pertengahan bulan (Ayyamul Bidh).
Adapun puasa tanggal sembilan dan sepuluh, dinyatakan jelas dalam hadits yang shahih, dimana Rasulullah SAW pada akhir kehidupannya sudah berencana untuk puasa pada tanggal sembilannya. Hanya saja beliau lebih dahulu meninggal. Beliau juga memerintahkan para shahabatnya untuk berpuasa pada tanggal sembilannya (bersama tanggal sepuluh) agar dapat membedakan diri dari perbuatan orang-orang Yahudi. Bahkan jika seseorang tidak sempat berpuasa tanggal sembilannya, maka setelah tanggal sepuluh, dia disunnahkan berpuasa pada tanggal sebelasnya untuk membedakan dirinya dari puasa orang Yahudi.
Sedangkan puasa tanggal sepuluhnya saja, sebagian ulama menyatakannya makruh, meskipun pendapat ini tidak dikuatkan sebagian ulama lainnya. Secara keseluruhan dan berdasarkan keumuman hadits-hadits yang ada, puasa Asyura adalah ibadah yang sangat dianjurkan Rasulullah SAW.