Satu-satunya, tak akan ada yang lain. Hanya dia seorang. Cinta pertamaku. Kak R.
Setiap hari, aku hanya bisa memandang Kak R. Kenapa hanya dia? Karena semua debaran ini, semua perasaan suka ini, hanya ada untuknya.
Kami mengikuti ekskul yang sama di sekolah, yaitu sepak bola. Meskipun aku tidak suka bola, tapi deminya aku mau bersusah payah belajar sepak bola. Semua untuknya, hanya untuknya.
Kami berbeda kelas. Aku berada di kelas 8.4, sedangkan dia berada di kelas 9.1. Aku yang jauh ini, senang berkunjung ke kelasnya dengan alasan bertemu dengan Kakakku yang kebetulan sekelas dengan Kak R. Dan kegiatannya sehari-hari hanyalah berdiam di kelas, merenungkan sesuatu. Meski aku takut berada di wilayah kelas 9, tapi aku berani hanya untuknya. Hanya untuknya.
Setiap kami tidak sengaja bertemu, aku menunduk sambil menyapanya. Dan ketika aku meliriknya, dia membalasnya dengan senyuman lebar. Membuat aku menjadi berdebar. Meski pun aku menahan rasa malu dan salah tingkah di depannya, tapi aku melakukannya hanya untuknya. Hanya untuknya.
“Aaaah, Dini! Kamu itu kan cantik, baik, pintar, kenapa harus malu-malu sih!”
Seperti pisau, kata-kata Rara cukup menusuk. Meski pun aku cantik, tapi yang namanya malu tetap saja malu. Rara memang tidak mengerti!
Seperti pisau, kata-kata Rara cukup menusuk. Meski pun aku cantik, tapi yang namanya malu tetap saja malu. Rara memang tidak mengerti!
Rara duduk di bangkunya. Ia membolak-balik halaman bukunya. Lalu dia menunjukkan sesuatu kepadaku. “Ini kisah cinta yang kubuat. Belajarlah dari cerita ini!”
Rara menyerahkan bukunya. Aku menerima buku itu sambil menerka-nerka isinya.
Rara menyerahkan bukunya. Aku menerima buku itu sambil menerka-nerka isinya.
Pulang sekolah tiba. Aku dan Rara berdampingan menuju gerbang sekolah. Dan terpanalah aku. Kak R sedang bermain gitar sambil menyanyi di depan kelas 9.1. Meski pun suaranya fals, tapi permainan gitarnya memikat. Aku bersembunyi di belakang tangga bersama Rara untuk menikmati permainan gitarnya.
“Kak R, kamu keren banget main gitar!” Seseorang memuji Kak R. Di situlah aku mulai mengerti rasa sakit. Sakit yang tidak mengeluarkan darah, tapi tidak bisa ditahan.
Ya, di sampingnya telah duduk seorang wanita yang disayangi Kak R. Anak kelas 7 yang bisa mempesona Kak R. Dista.
Ya, di sampingnya telah duduk seorang wanita yang disayangi Kak R. Anak kelas 7 yang bisa mempesona Kak R. Dista.
Rara menatapku khawatir. Aku mengepalkan tanganku sekuat-kuatnya, menahan rasa kepedihan sekaligus kenyataan bahwa di sampingnya sudah ada orang lain. Tidak ada tempat yang tersisa untukku.
Kak R hanya tertawa kecil. Ia membelai lembut rambut Dista yang lurus dan harum. Jujur, aku tak tahan pemandangan ini. Pemandangan yang bisa menusuk lebih dari perkataan Rara.
Aku langsung melarikan diri, disusul oleh Rara. Pedih rasanya. Bahwa cinta ini bertepuk sebelah tangan. Harusnya aku bisa melupakan orang yang memang sudah mempunyai belahan jiwa. Tapi perasaan ini hanya untuk Kak R. Hanya untuknya.
Aku langsung melarikan diri, disusul oleh Rara. Pedih rasanya. Bahwa cinta ini bertepuk sebelah tangan. Harusnya aku bisa melupakan orang yang memang sudah mempunyai belahan jiwa. Tapi perasaan ini hanya untuk Kak R. Hanya untuknya.
Esoknya, aku menemui Rara di depan gerbang sekolah. Ketika kami akan meninggalkan tempat, seseorang datang dengan sebuah surat. Surat yang bisa membuat aku salah tingkah. Kenapa? Karena surat itu dari Kak R.
Dengan sedikit canggung, Kak R menyerahkan surat itu. Aku menatap surat itu lekat-lekat, berharap ini adalah harapan untuk cintanya.
Tapi harapan itu langsung hancur. Aku bisa melihat nama yang terpampang di amplop itu. “Riko”. Kak Riko adalah orang yang ternyata mengirimkan surat itu. Untuk kedua kalinya hatiku remuk. Aku hanya bisa tersenyum pahit ketika menatap surat itu. Aku mau tersenyum pahit untukmu. Hanya untukmu.
Tapi harapan itu langsung hancur. Aku bisa melihat nama yang terpampang di amplop itu. “Riko”. Kak Riko adalah orang yang ternyata mengirimkan surat itu. Untuk kedua kalinya hatiku remuk. Aku hanya bisa tersenyum pahit ketika menatap surat itu. Aku mau tersenyum pahit untukmu. Hanya untukmu.
Kami berdua meninggalkan Kak R. Aku memikirkan rasa sakit hati ini. Berapa kali lagi dia akan menyakiti hatiku? 100 kali?
Rara telah pulang karena ada urusan mendadak. Jadi hanya ada aku di kelas. Merasa bosan, aku meninggalkan kelas.
Hari ini aku belum melihat Kak R. Bahkan pulang sekolah. Terlintas di benakku untuk melihat ke kelas Kak R.
Aku mengintip diam-diam. Ternyata Kak R berada di dalam. Tapi kini Kak R berhadapan dengan Dista. Aku menguping karena penasaran.
“Kak R, maafin Dista ya, Dista nggak bisa lagi sama Kak R. Dista capek dicaci maki orang-orang. Dista mau minta putus!”
Mataku membulat. Dista mengambil tas dan meninggalkan kelas tanpa melihatku. Aku melihat Kak R. Kak R yang kini menunduk, merenungkan hubungannya dengan Dista. AKu bisa melihat hati Kak R yang pedih, meski pun tak ada air mata di pipinya.
Aku mengintip diam-diam. Ternyata Kak R berada di dalam. Tapi kini Kak R berhadapan dengan Dista. Aku menguping karena penasaran.
“Kak R, maafin Dista ya, Dista nggak bisa lagi sama Kak R. Dista capek dicaci maki orang-orang. Dista mau minta putus!”
Mataku membulat. Dista mengambil tas dan meninggalkan kelas tanpa melihatku. Aku melihat Kak R. Kak R yang kini menunduk, merenungkan hubungannya dengan Dista. AKu bisa melihat hati Kak R yang pedih, meski pun tak ada air mata di pipinya.
Kakiku melangkah ke arahnya. Kaki ini sudah tidak bisa dikontrol lagi. Hati ini sudah mantap. Aku tak kuat melihat orang yang aku suka bersedih.
Kini aku berada di depan Kak R yang duduk di bangkunya. Aku tak tahu mengapa, air mataku berjatuhan.
“Kak R, jangan sedih Kak. Masih banyak yang sayang sama Kakak. Jodoh Kakak itu bukan dia. Tuhan sudah menciptakan jodoh yang lebih baik untuk Kakak. Jadi jangan sedih Kak.”
Aku berkata-kata sambil menangis. Kak R yang semula kaget, kini tersenyum. Tangannya menyentuh kepalaku. Aku terkejut.
“Terima kasih.”
Ia tersenyum lebar. Bagaikan sihir, senyuman Kak R membuat aku bahagia.
Kini aku berada di depan Kak R yang duduk di bangkunya. Aku tak tahu mengapa, air mataku berjatuhan.
“Kak R, jangan sedih Kak. Masih banyak yang sayang sama Kakak. Jodoh Kakak itu bukan dia. Tuhan sudah menciptakan jodoh yang lebih baik untuk Kakak. Jadi jangan sedih Kak.”
Aku berkata-kata sambil menangis. Kak R yang semula kaget, kini tersenyum. Tangannya menyentuh kepalaku. Aku terkejut.
“Terima kasih.”
Ia tersenyum lebar. Bagaikan sihir, senyuman Kak R membuat aku bahagia.
Kak R, masa SMP ini berharga karenamu. Andai Tuhan membuat dirimu tidak menjadi jodohku, tapi kau bagian dari sejarahku. Cinta ini hanya untukmu Kak R. Hanya untukmu.
TAMAT