Hasan Ahmad selama ini memiliki banyak panggilan beken. Di kalangan anak baru gede (ABG) yang pernah dikencaninya, dia menggunakan nama Ihsan. Namun, di kalangan masyarakat Sampang, dia dikenal dengan nama Ra Hasan. Gelar di depan nama Hasan itu memang menunjukkan ketokohannya. Dia memang dikenal sebagai anak ulama terpandang di Madura.
Kemarin siang Hasan menjalani pemeriksaan oleh penyidik Subnit Vice Control Unit Kejahatan Umum Satreskrim Polrestabes Surabaya. Usai diperiksa, Hasan menuju ke ruang Kasubnit Vice Control Iptu Iwan Hari Purwanto. Di ruang itu dia tampak menikmati tayangan TV kabel sembari sesekali menyeruput kopi yang disediakan Iwan.
Sambil ngopi, dia menunggu kawan yang akan menjenguknya. Hasan hanya senyum-senyum saat koran ini mulai membuka pembicaraan. Berkali-kali dia mengatakan bahwa kejadian itu merupakan musibah dan pelajaran dalam hidupnya.
“Saya ini blenger (nakal), tapi ya ini mungkin cobaan dan pelajaran bagi saya,” ujarnya. Menurut dia, dalam kehidupan, seseorang pasti akan mengalami pelajaran. Itu yang bisa membuat seseorang lebih baik atau lebih buruk. “Saya ya tentu ingin menjadi lebih baik setelah ini. Maka dari itu, selepas perkara ini saya ingin umrah dan melakukan tobatan nasuha,” ujarnya.
Usai berkata demikian, dia melihat ke arah Iwan (Iwan Hari Purwanto). Dia kemudian ngguyoni Iwan. “Pak Iwan itu mau saya ajak umrah nanti,” ujarnya lantas terkekeh.
Dalam pembicaraan itu Hasan memang banyak bercanda. Menurut dia, jika memikirkan kasus itu terus, dirinya takut stres. “Makanya, dibuat guyon saja. Mau bagaimana lagi, namanya cobaan,” lanjutnya.
Mengapa sejak awal penangkapan tidak mengaku sebagai anggota dewan? Hasan mengatakan tidak ingin mentang-mentang. Dia akan mengaku jika nanti kasusnya di kepolisian sudah selesai dan dilimpahkan ke persidangan.
“Sebenarnya saat sudah di sini (tahanan) saya ingin mengaku ke Pak Iwan (mengaku sebagai anggota dewan). Tapi, saya keder dengan Pak Iwan. Apalagi, ketika itu dia tidak ingin bertemu saya lagi,” paparnya.
Hingga hari H sebelum kasus ini dirilis (Senin, 15/4), Iwan memang tidak mengerti bahwa tangkapannya seorang anggota dewan. Sebab, sejak awal Hasan hanya mengaku sebagai pengusaha sandal. Iwan baru sadar bahwa Hasan adalah anggota dewan ketika dia dihubungi Kepolisian Sampang.
Bahkan, menurut Hasan, rekannya sesama tahanan di dalam sel juga tidak tahu jika dia pejabat negara. Para tahanan itu tahu ketika kasus tersebut sudah ramai di media. “Meski begitu, mereka (sesama tahanan) perlakuannya ke saya sama baiknya kok,” ujarnya.
Hasan mengatakan, selama ini memang sering ke Surabaya untuk berbagai urusan. Mulai kepentingan bisnis sampai keperluan bertemu sejumlah pengurus DPW Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Jawa Timur.
“Saya banyak kawan baik di DPW. Tapi, setelah kasus ini mungkin mereka sudah kecewa dengan perbuatan saya. Bagaimanapun saya sadar telah mencoreng nama partai,” ujarnya.
Nah, ketika datang ke Surabaya itulah, Hasan mengaku sering melampiaskan hasrat seksualnya. Menurut dia, awalnya dirinya dikenalkan kepada seseorang yang bisa menyediakan perempuan sebagai teman kencan. Dari perkenalan itu Hasan kemudian menghubungi sendiri si mucikari saat butuh.
“Ya, namanya lelaki, nakalnya ya seperti ini,” ujarnya, lantas terkekeh lagi. Menurut Hasan, apa yang dilakukannya bukan termasuk zina. Sebab, dia selalu mengajak nikah pasangan kencannya. Nah, untuk keperluan itu, dia selalu meminta temannya yang dianggap mengerti agama agar menjadi modin (penghulu).
Sayangnya, Hasan merahasiakan identitas modin itu. “Janganlah, sudah cukup saya saja yang bersalah,” katanya. Hanya, bapak enam anak ini mengaku kenal modin itu sejak tinggal di Arab Saudi.
Hasan mengaku pada 1992-1997 sempat tinggal di sejumlah kota di Arab Saudi. Menurut dia, banyak saudaranya yang menetap dan menjadi warga negara Arab Saudi. “Waktu krisis moneter, saya balik ke Indonesia dan mencoba bisnis perjalanan umrah dan haji,” paparnya.
Anggota Komisi A DPRD Sampang itu mengaku, modin yang diminta menikahkannya itu tidak dia bayar. Itu semua dilakukan murni pertemanan. “Dia benaran modin, bukan awu-awu,” ujarnya.
Dalam pandangannya, seorang perempuan bisa hanya diwakili seorang modin dalam melangsungkan pernikahan. Karena itu, menurut dia, pernikahan yang dia lakukan sah meskipun tidak ada wali maupun saksi.
“Saya juga tidak memaksa kok. Yang tidak mau saya nikahi, ya tidak saya ajak ke hotel,” terangnya. Hal itu pula yang terjadi pada perceraian dengan ABG-ABG yang dikencaninya.
“Saya tidak serta merta menceraikan. Kalau minta tidak ada hubungan lagi, ya sudah, saya ceraikan. Itu buktinya ada yang belum saya ceraikan,” ujarnya.
Salah seorang korban Hasan, SDH, 16, memang mengaku tidak pernah ditalak oleh Hasan. Namun, SDH tidak memedulikan statusnya dengan Hasan. Sebab, ABG lugu itu juga menilai bahwa pernikahannya hanya main-main.
Menurut Hasan, jika tidak takut dosa, dirinya akan lebih memilih ke lokalisasi. Namun, dia sadar bahwa perempuan di lokalisasi pasti tidak bersedia diajak nikah siri.
“Menurut ilmu yang saya tahu, apa yang saya lakukan itu tidak berdosa. Sebab, saya nikahi mereka. Kalau saya tidak takut dosa, ya ke Dolly (lokalisasi terbesar di Surabaya) saja,” paparnya.
Warga Desa Samaran, Tambelangan, Sampang, itu mengaku memiliki enam anak. Yang paling besar laki-laki sudah kelas 3 SMA dan saat ini menempuh unas. Yang paling kecil baru berusia empat bulan. Namun, saat ditanya apakah dia tidak ingat anaknya sendiri yang seusia dengan ABG yang dikencani itu, Hasan hanya diam.
Dia mengaku siap mempertanggungjawabkan perbuatannya jika dinilai salah. Hasan mengaku siap menjalani hukuman. Namun, dia mengaku kepikiran kondisi psikologis keluarga dan anak-anaknya. “Saat kasus saya muncul di mana-mana, saya hanya kepikiran keluarga saya,” ujarnya.
Karena itu pula, Hasan keberatan ketika dikorek mengenai keluarganya. “Jangan ditanya soal keluarga ya, kasihan, jangan dikait-kaitkan,” pintanya.
Ditanya perihal kegiatannya di dewan yang disebut sering membolos, Hasan tertegun. Menurut dia, isu itu tidak sepenuhnya benar. Namun, pemilik gelar sarjana pendidikan Islam (SPdI) itu mengaku, selama ini memang banyak mengembangkan bisnis pembuatan sandal.
“Saya ini kan di dewan tidak menjabat apa-apa, hanya anggota biasa dan tidak memiliki kegiatan banyak,” jelasnya. Menurut dia, bisnisnya itu dikembangkan juga untuk menghidupi masyarakat sekitar desanya. Di pabrik sandal miliknya, setidaknya bekerja 75 orang dan semuanya dari satu desa, Samaran, Tambelangan, Sampang.
“Daripada di dewan bengong tidak ada kerjaan, kan lebih baik mengembangkan usaha itu. Itu untuk masyarakat dan warga saya juga,” jelas Hasan lalu menyeruput secangkir kopi hitam di depannya.
Pasca kejadian ini, Hasan pasrah mengenai statusnya sebagai wakil rakyat. Menurut dia, yang terpenting, selepas keluar dari penjara, dia ingin benar-benar mengakhiri petualangannya mencari kepuasan seksual di luar.
Hasan mengaku bukan sekali itu saja mendekam di penjara. Saat masih anak-anak dan belajar pesantren di Kalimantan, dia sempat ditahan dengan tuduhan mencuri amplifier.
“Padahal, saat itu saya hanya disuruh kerabat saya membawa amplifier ke kantor polisi. Pengalaman itu sangat membekas di diri saya. Semogalah ini pengalaman pahit yang terakhir,” katanya.