PARTAI politik sudah mulai sibuk dengan aktivitas pemilihan calon wakil rakyat yang akan diusung menjadi wakil rakyat. Sejumlah parpol sibuk mencari orang hingga ke pelosok desa demi memenuhi persyataran yang ditentukan.
Sekarang, orang-orang secara bim salabim bisa disulap jadi tiba-tiba pintar dan merasa pantas untuk menjadi wakil rakyat. Tak peduli paham politik atau tidak, yang penting punya wakil yang dimajukan untuk menjadi anggota legislatif dari kota atau kabupaten tertentu.
Penulis pernah mendapatkan pengakuan langsung dari seorang juragan ternak di salah satu kota di Jawa Timur. Bisa dibayangkan si juragan ternak yang maju untuk menjadi caleg harus merelakan kalah dari karyawannya yang sehari-hari bekerja merawat ternaknya. Alasannya, partai si karyawan tersebut jadi partai pemenang pemilu di kota tersebut.
Cerita lucu tapi membuat hati kita miris justru terjadi di Ibukota. Hanya karena mendapatkan nomor urut yang sama dengan partai politik pemenang pemilu, seorang calon anggota senat DKI Jakarta lolos ke Senayan karena dicoblos 253 ribu warga Ibukota.
Belajar dari dua kejadian di atas jelas sekali bahwa partai politik di Tanah Air lagi-lagi masih belum berfungsi sebagai agen pendidikan dan pencetak kader politik yang berkualitas. Parpol, nyaris hanya bekerja ketika musim pemilihan dimulai. Selebihnya, kantor parpol pun bagaikan rumah hantu.
Seharusnya parpol bisa dengan baik menjalankan fungsinya sebagai pendidik politik dan juga mencetak kader yang berkualitas. sehingga, kejadian-kejadian aneh seperti di atas ke depan seharusnya tidak perlu terjadi. Parpol harus memulai dari sekarang menentukan para wakilnya yang terbaik tanpa harus grasak-grusuk di detik-detik akhir pendaftaran dengan mekanisme pengkaderan internal yang baik.
Seperti persyaratan calon wanita minimal 30 persen juga tak perlu membuat parpol panik jika memang parpol tersebut sudah menjalani mekanisme pengkaderan secara internal dengan baik. Rakyat pun ingin menjadi pemilih yang cerdas dan tentu saja mendambakan caleg yang berkualitas.
Sekarang, orang-orang secara bim salabim bisa disulap jadi tiba-tiba pintar dan merasa pantas untuk menjadi wakil rakyat. Tak peduli paham politik atau tidak, yang penting punya wakil yang dimajukan untuk menjadi anggota legislatif dari kota atau kabupaten tertentu.
Penulis pernah mendapatkan pengakuan langsung dari seorang juragan ternak di salah satu kota di Jawa Timur. Bisa dibayangkan si juragan ternak yang maju untuk menjadi caleg harus merelakan kalah dari karyawannya yang sehari-hari bekerja merawat ternaknya. Alasannya, partai si karyawan tersebut jadi partai pemenang pemilu di kota tersebut.
Cerita lucu tapi membuat hati kita miris justru terjadi di Ibukota. Hanya karena mendapatkan nomor urut yang sama dengan partai politik pemenang pemilu, seorang calon anggota senat DKI Jakarta lolos ke Senayan karena dicoblos 253 ribu warga Ibukota.
Belajar dari dua kejadian di atas jelas sekali bahwa partai politik di Tanah Air lagi-lagi masih belum berfungsi sebagai agen pendidikan dan pencetak kader politik yang berkualitas. Parpol, nyaris hanya bekerja ketika musim pemilihan dimulai. Selebihnya, kantor parpol pun bagaikan rumah hantu.
Seharusnya parpol bisa dengan baik menjalankan fungsinya sebagai pendidik politik dan juga mencetak kader yang berkualitas. sehingga, kejadian-kejadian aneh seperti di atas ke depan seharusnya tidak perlu terjadi. Parpol harus memulai dari sekarang menentukan para wakilnya yang terbaik tanpa harus grasak-grusuk di detik-detik akhir pendaftaran dengan mekanisme pengkaderan internal yang baik.
Seperti persyaratan calon wanita minimal 30 persen juga tak perlu membuat parpol panik jika memang parpol tersebut sudah menjalani mekanisme pengkaderan secara internal dengan baik. Rakyat pun ingin menjadi pemilih yang cerdas dan tentu saja mendambakan caleg yang berkualitas.