Langkah-langkah Penelitian Sejarah- Mengapa dalam sejarah ada penelitian? Apakah tujuan dilakukannya penelitian? Bagaimanakah langkah-langkah yang harus dilakukan dalam penelitian
sejarah? Dalam sejarah ada penelitian karena sejarah merupakan suatu
ilmu. Apakah yang disebut dengan ilmu? Apa ciri-ciri dari ilmu? Kata ilmu berasal dari bahasa Arab, yaitu ‘alama yang berarti pengetahuan. Istilah tersebut kemudian disamakan dengan science dalam bahasa Inggris. Science berasal dari bahasa Latin, yaitu scio atau scire yang juga berarti pengetahuan. Apabila pengetahuan itu tersusun secara sistematis dari suatu subjek yang pasti, maka disebut dengan ilmu pengetahuan. Jadi,
tidak setiap pengetahuan adalah ilmu, sedangkan setiap ilmu pengetahuan
mengandung unsur pengetahuan. Ilmu pengetahuan memiliki ciri-ciri
tertentu, yaitu:
- merupakan seperangkat pengetahuan yang sistematis;
- memiliki metode yang efektif;
- memiliki objek;
- memiliki rumusan kebenaran-kebenaran umum;
- bersifat objektif;
- dapat memberikan perkiraan atau prediksi.
Sebuah
pengetahuan dapat disusun secara sistematis dengan menggunakan metode
yang dimilikinya. Secara sederhana, metode dapat diartikan sebagai
langkah-langkah yang harus ditempuh untuk menjelaskan objek yang
dikajinya. Setiap ilmu pengetahuan memiliki objeknya masing-masing,
seperti sejarah objeknya adalah manusia sehingga sejarah dimasukkan ke
dalam kelompok ilmu sosial. Hasil dari penjelasan terhadap objek yang
ditelitinya, akan melahirkan rumusan-rumusan kebenaran atau sering
disebut dengan teori. Rumusan kebenaran dalam sejarah bersifat unik tidak umum atau universal. Unik dalam
pengertian ini yaitu kebenaran sejarah hanya berlaku pada situasi atau
tempat tertentu saja, belum tentu berlaku pada situasi dan tempat yang
lainnya. Contohnya, penjelasan tentang penyebab-penyebab terjadinya
pemberontakan. Ada beberapa penyebab timbulnya pemberontakan. Misalnya,
orang berontak karena lapar atau miskin, ada yang karena hak-hak dirinya
yang sudah mapan terganggu, ada yang karena rasa frustasi dan tertekan,
ada yang karena harga dirinya terasa terinjak-injak, ada yang karena
memimpikan hadirnya seorang ratu adil yang akan menciptakan kemakmuran,
dan faktor-faktor lainnya.
Dalam
sejarah Indonesia banyak sekali terjadi pemberontakan-pemberontakan,
yang masing-masing penyebabnya berbeda-beda. Misalkan berdirinya Negara
Pasundan 1947 yang diproklamirkan oleh Surya Kartalegawa. Sikap
Kartalegawa ini dianggap sebagai pemberontakan, sebab dia menentang
negara yang sah yaitu Republik Indonesia. Menurut sumber, faktor
penyebab tindakan Kartalegawa tersebut ialah karena Kartalegawa sebagai
orang Sunda dan mantan pegawai pemerintah (Bupati) merasa berhak untuk
menjadi Gubernur di Jawa Barat. Sementara itu sejak awal kemerdekaan,
Presiden Soekarno mengangkat Gubernur Jawa Barat bukan berasal dari
orang Sunda.
Lain halnya dengan kasus
pemberontakan yang dilakukan oleh Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa Kahar Muzakar melakukan pemberontakan
disebabkan ia merasa tidak dihormati sebagai pejuang yang telah ikut
berjuang melawan Belanda. Akibatnya, harga dirinya merasa tidak
dihargai. Sebagai orang Sulawesi Selatan, timbul sikap siri yang artinya mempertahankan atau memperjuangkan harga diri yang merasa dihina oleh orang lain. Sikap siri itu ia lakukan dengan cara memberontak kepada pemerintah Republik Indonesia dalam bentuk gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan.
Sartono
Kartodirdjo melihat pemberontakan-pemberontakan petani yang terjadi
pada akhir abad ke-19 di Indonesia, disebabkan oleh adanya keinginan
dari para petani akan datangnya seorang Ratu Adil, yaitu seorang figur
yang diharapkan dapat membawa kehidupan yang lebih baik dari zaman yang
sedang dialami oleh petani. Para petani merasa tertekan secara
struktural oleh penjajah. Akibat tekanan itu, para petani memimpikan
lahirnya seorang Ratu Adil. Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa
ilmu sejarah memiliki rumusan-rumusan kebenaran atau teori yang unik,
bersifat kasuistis, belum tentu berlaku untuk kondisi dan tempat yang
lainnya.
Penelitian dilakukan
bertujuan untuk mencari kebenaran. Kebenaran yang dimaksud adalah
kebenaran menurut ukuran ilmu pengetahuan. Ciri umum dari kebenaran ilmu
pengetahuan yaitu bersifat rasional, empiris, dan sementara. Rasional artinya
kebenaran itu ukurannya akal. Sesuatu dianggap benar menurut ilmu
apabila masuk akal. Sebagai contoh dalam sejarah kita menemukan adanya
bangunan Candi Borobudur yang sangat menakjubkan.
Secara
akal pembangunan Candi Borobudur dapat dijelaskan, misalnya bangunan
tersebut dibuat oleh manusia biasa dengan menggunakan teknik-teknik
tertentu sehingga terciptalah sebuah bangunan yang megah. Janganlah kita
menjelaskan bahwa Borobudur dibangun dengan menggunakan
kekuatan-kekuatan di luar manusia, misalnya jin, sihir, setan, atau
jenis makhluk-makhluk lainnya. Kalau penjelasan seperti ini, maka
sejarah bukanlah sebagai ilmu pengetahuan. Empiris artinya ilmu
itu berdasarkan kenyataan. Kenyataan yang dimaksud di sini yaitu
berdasarkan sumber yang dapat dilihat langsung secara materi atau wujud
fisik. Empiris dalam sejarah yaitu sejarah memiliki sumber sejarah yang
merupakan kenyataan dalam ilmu sejarah. Misalnya kalau kita bercerita
tentang terjadinya Perang, maka perang itu benar-benar ada berdasarkan
bukti-bukti atau peninggalan-peninggalan yang ditemukannya. Kemungkinan
masih adanya saksi yang masih hidup, adanya laporan-laporan tertulis,
adanya tempat yang dijadikan pertempuran, dan bukti-bukti lainnya.
Dengan demikian, cerita sejarah merupakan cerita yang memang-memang
empiris, artinya benar-benar terjadi. Kalau cerita tidak berdasarkan
bukti, bukan sejarah namanya, tetapi dongeng yang bersifat fiktif.
Sementara artinya
kebenaran ilmu pengetahuan itu tidak mutlak seperti halnya kebenaran
dalam agama. Kemutlakan kebenaran agama misalkan dikatakan bahwa Tuhan
itu ada dan memiliki sifat yang berbeda dengan makhluknya. Ungkapan ini
tidak dapat dibantah harus diyakini atau diimani oleh manusia. Lain
halnya dengan ilmu pengetahuan, kebenarannya bersifat sementara, artinya
dapat dibantah apabila ditemukan teori-teori atau bukti-bukti yang
baru. Dalam sejarah, kesementaraan ini dapat dalam bentuk perbedaan
penafsiran terhadap suatu peristiwa. Perbedaan ini dapat diterima selama
didukung oleh bukti yang akurat. Kesementaraan inilah yang membuat ilmu
pengetahuan itu berkembang terus. Sejarah sebagai ilmu memiliki metode
atau langkah-langkah dalam penelitiannya. Langkah-langkah dalam
penelitian sejarah yaitu sebagai berikut.
1. Pemilihan topik
Sebelum
melakukan penelitian sejarah, langkah pertama yang harus dilakukan
ialah menetapkan topik yang akan diteliti. Topik yang diteliti haruslah
merupakan topik yang layak untuk dijadikan penelitian dan bukan
merupakan pengulangan atau duplikasi dari penelitian sebelumnya.
Kelayakan topik penelitian sejarah dapat dilihat dari ketersediaan
sumber yang dapat dijadikan sebagai bahan untuk penelitian. Jangan
sampai kita menetapkan topik yang menarik untuk diteliti, tetapi
sumbernya ternyata tidak ada. Berbeda dengan penelitian ilmu pengetahuan
lainnya, penelitian sejarah sangat bergantung pada ketersediaan sumber.
Jadi, topik yang diteliti harus merupakan hal yang baru dan diharapkan
dapat memberikan informasi yang baru atau ditemukan suatu teori baru.
Pemilihan
topik ini penting agar penelitian sejarah lebih terarah dan terfokus
pada masalah yang akan diteliti. Untuk mengarahkan masalah yang akan
diteliti dalam topik tersebut, sebaiknya kita ajukan terlebih dahulu
pertanyaan-pertanyaan yang akan menjadi masalah yang akan diteliti.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut meliputi sebagai berikut ini.
Pertama apa (what)
yang akan kita teliti, apakah kita akan meneliti aspek ekonomi,
politik, sosial, budaya, keluarga, militer, dan lain-lain. Pertanyaan
tentang apa, lebih melihat pada aspek-aspek yang akan kita teliti.
Misalnya kita ingin membuat sejarah desa kita, maka apanya yang ingin
kita lihat dari desa tersebut, apakah ekonominya, sosialnya, politiknya,
budayanya, dan aspek-aspek lainnya.
Kedua, yaitu siapa (who)
yang akan diteliti. Dalam menulis sejarah desa misalnya, kita harus
menetapkan siapa-siapa saja yang akan kita teliti, atau
kelompok-kelompok sosial mana yang akan diteliti, apakah para tokohnya,
masyarakat petani, masyarakat pengrajin, aparat desanya, kaum wanitanya,
dan lain-lain. Kalau kita ingin meneliti bagaimana perkembangan sosial
ekonomi suatu desa, maka salah satu komponen yang harus kita teliti
yaitu kaum petani dan pengrajin dari desa tersebut. Pengrajin dan petani
ini perlu kita teliti karena kelompok inilah yang berhubungan langsung
dengan kehidupan ekonomi. Kita bisa melihat berapa jumlah petani dan
pengrajin di desa tersebut, berapa pendapatannya, bagaimana cara mereka
bekerja, berapa jumlah produksi yang dihasilkannya, dan lain-lainnya.
Ketiga, pertanyaan yang diajukan yaitu di mana (where)
yang akan kita teliti. Pertanyaan ini merupakan aspek spasial atau
keruangan yang menjadi ciri dari disiplin ilmu sejarah. Spasial dapat
berupa tempat atau geografis yang akan diteliti. Apakah kita akan
meneliti kota atau desa, atau wilayah yang bersifat administratif
seperti desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, dan negara. Kalau kita
meneliti geografis desa, maka harus jelas batasan geografis desa yang
kita teliti.
Keempat, yang diajukan adalah kapan (when).
Maksud dari pertanyaan ini adalah menyangkut aspek batasan waktu atau
periodisasi yang akan dijadikan objek penelitiannya. Salah satu ciri
penting dari ilmu sejarah adalah adanya konteks waktu. Misalnya
perubahan sosial desa 1950-1955. Penetapan angka tahun ini harus
memiliki pertimbangan-pertimbangan yang bersifat akademis, misalnya
karena pada tahun tersebut merupakan awal dari perubahan sampai dengan
tahun menurunnya perubahan-perubahan penting. Perubahan tersebut bisa
dalam konteks sosial, ekonomi, politik, dan konteks lainnya. Kelima, pertanyaan berikutnya yaitu mengapa (why).
Pertanyaan ini lebih bersifat analitis dan mendalam. Dengan contoh tema
penulisan tentang perubahan sosial desa 1950-1955, pertanyaan mengapa
dapat menyangkut mengapa pada tahun tersebut terjadi perubahan sosial?
Perubahan sosial ini bisa dilihat dari berbagai ciri, misalkan status
pekerjaan, pemilikan tanah, pendidikan, dan lain-lain. Perubahan pada
status pekerjaan misalnya perubahan dari petani menjadi buruh bangunan,
menjadi buruh perkebunan, menjadi buruh pabrik, dan perubahan ke arah
pekerjaan-pekerjaan lainnya.
Perubahan
pemilikan tanah bisa dilihat, misalnya adanya pemilikan lahan yang
semakin sempit atau pemindahan pemilikan dari penduduk setempat ke orang
lain atau orang di luar desanya. Perubahan sosial dalam pendidikan,
misalnya terjadi peningkatan masyarakat yang terlibat langsung dalam
pendidikan sekolah, jumlah anak yang sekolah baik di tingkat Sekolah
Dasar, Sekolah Menengah, maupun di tingkat Perguruan Tinggi semakin
meningkat.
Berbagai faktor dapat
menjadi penyebab terjadinya perubahan sosial, misalnya akibat
kebijakan-kebijakan politik pemerintah atau bisa saja merupakan akibat
terjadinya perubahan geografis atau iklim. Dari pertanyaan mengapa, dapat dicari jawaban yang lebih mendalam dengan mengajukan pertanyaan bagaimana (How) perubahan itu terjadi. Pertanyaan bagaimana ini, misalnya bagaimana hubungan
kebijakan politik pemerintah terhadap perubahan sosial di pedesaan.
Misalnya, kebijakan pemerintah yang mengembangkan sektor industri
berakibat berdirinya pabrik-pabrik di daerah pedesaan. Sektor industri
ini kemudian memakan lahan pertanian yang ada di pedesaan. Akibatnya,
penduduk yang berpenghidupan dari pertanian beralih ke sektor industri.
Akibat perubahan iklim, misalnya terjadi musim kemarau yang
berkepanjangan, sehingga para petani berpindah pekerjaan dari
mengerjakan atau menggarap sawah, menjadi buruh bangunan di kota.
Pertanyaan-pertanyaan
di atas amatlah penting dalam menetapkan topik penelitian. Fungsi dari
pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk mengarahkan ketika kita mencari
sumber-sumber yang akan dijadikan data penelitian. Misalnya kita ingin
melihat bagaimana perubahan sosial yang dicirikan dengan perubahan
status pekerjaan, maka kita harus mencari apa saja pekerjaan masyarakat
pedesaan tersebut, berapa jumlahnya, apa saja produk yang dihasilkan,
dan berapa jumlah pendapatan mereka selama kurun waktu yang telah kita
tentukan.
2. Pengumpulan sumber
Setelah menetapkan topik penelitian, langkah berikutnya adalah pengumpulan sumber atau istilah lainnya disebut dengan heuristik.
Sumber yang kita cari adalah sumber yang berkaitan dengan topik yang
telah kita tetapkan. Ke manakah kita harus mencari sumber? Banyak sekali
tempat yang dapat kita jadikan sebagai tempat sumber sejarah. Tempat
yang kita jadikan sebagai pencarian sumber sejarah tergantung pada jenis
sumber yang kita butuhkan. Kalau kita membutuhkan sumber tertulis,
dapat kita peroleh di perpustakaan-perpustakaan, kantor arsip,
kantor-kantor pemerintah, dan tempat-tempat lainnya. Lokasi yang kita
jadikan penelitian pun dapat dijadikan tempat pencarian sumber. Di
tempat ini kita dapat menemukan sumber-sumber yang berbentuk benda atau
artefak, seperti bentuk geografis daerah, atau mungkin saja kita
menemukan benda-benda peninggalan sejarah. Selain sumber-sumber benda,
di lokasi penelitian kita dapat pula menemukan orang-orang yang masih
hidup dan menjadi saksi dari peristiwa sejarah yang kita teliti.
Salah
satu tempat yang sangat penting sebagai sumber sejarah yaitu Arsip
Nasional yang berada di Jakarta. Di tempat itu banyak sekali tersimpan
arsiparsip sejak zaman kolonial. Berbagai topik penelitian sejarah dapat
kita lakukan berdasarkan arsip yang tersedia, misalnya kalau kita ingin
menulis sejarah perkebunan pada zaman kolonial Belanda, kita dapat
menemukan arsip khusus tentang perkebunan yang tersedia cukup banyak.
Dari arsip perkebunan ini, kita tidak hanya bicara perkebunannya saja,
kita juga bisa secara khusus meneliti tentang kehidupan kaum buruh
perkebunannya. Di beberapa daerah pun terdapat kantor-kantor arsip
daerah yang menyimpan sumber-sumber sejarah daerahnya. Dari bahan-bahan
yang terdapat di arsip daerah, kita dapat menulis topik tentang sejarah
lokal.
Pada kantor-kantor pemerintah
yang lainnya, kita dapat pula mencari sumber, termasuk kantor
pemerintahan desa. Kalau kita menulis, misalnya tentang Perubahan Sosial
Desa 1970-1980, barangkali laporan-laporan tertulis atau arsip-arsip
yang ada di desa dapat kita lacak. Dengan tema tentang perubahan sosial
di desa, kita dapat mencari arsip-arsip tentang pertanahan, berapa
luasnya, bagaimana kepemilikannya, bagaimana pengalihan kepemilikannya,
untuk apa tanah di desa, apakah untuk pertanian atau industri. Selain
laporan-laporan tertulis di kantor desa, kita pun dapat mewancarai
masyarakat di desa tersebut yang hidup pada masa periode penelitian
kita. Dengan tema tentang perubahan sosial di desa, kita bisa mewancarai
para petani di desa tersebut. Kita bisa menanyakan, bagaimana gambaran
mereka tentang pertanian pada saat itu; bagaimana kehidupan mereka dari
hasil pertaniannya; apakah mereka sebagai pemilik tanah atau penggarap;
apakah dari pekerjaannya itu dapat mencukupi kehidupannya; dan
pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Di
perpustakaan, sumber yang kita cari lebih banyak pada sumber sekunder
atau sumber kedua yang berupa buku-buku. Buku-buku yang kita cari sudah
barang tentu buku-buku yang berkaitan dengan topik penelitian yang akan
kita teliti. Untuk memudahkan cara mencari sumber di perpustakaan,
sebaiknya sebelum kita datang ke perpustakaan terlebih dahulu kita catat
judul-judul buku atau sumber yang akan kita cari. Setelah itu kita
mencarinya di perpustakaan. Cara mencari sumber di perpustakaan
sebaiknya terlebih dahulu kita lihat katalog yang tersedia di
perpustakaan. Kalau di perpustakaan itu tidak ada katalognya,
tanyakanlah buku-buku yang akan kita cari kepada petugas perpustakaan.
3. Kritik sumber
Penelitian
sejarah sebagaimana telah dikatakan merupakan upaya yang dilakukan oleh
seorang peneliti untuk mencari kebenaran. Dalam penelitian sejarah,
seorang peneliti berusaha menduga dan membuktikan kebenaran tentang apa
yang terjadi pada masa lalu. Untuk membuktikan kebenaran tersebut, maka
harus berdasar pada sumber sejarah. Akan tetapi, sumber sejarah yang
digunakan pun harus sumber yang memang benar-benar bukti yang sesuai
dengan apa yang terjadi pada masa lalu. Dengan demikian, sumber sejarah
pun harus memiliki kebenarannya. Untuk menguji kebenaran sumber sejarah
tersebut, maka dilakukanlah kritik sumber.
Kritik
sumber dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu kritik eksternal dan kritik
internal. Kritik eksternal adalah kritik yang ingin melihat keaslian
atau orisinalitas dari sumber. Jadi, kritik ini lebih bersifat fisik,
bukan isi dari sumber tersebut. Kalau kita menemukan sumber tertulis,
kritik eksternal yang kita lakukan adalah melihat jenis kertasnya, jenis
tulisannya, jenis hurufnya. Jadi, kritik eksternal lebih melihat pada
aspek luarnya. Misalkan, kita meneliti tentang Perubahan Sosial
Desa 1950-1955. Kita menemukan sumber tertulis misalnya laporan
pemerintah dari kecamatan tempat kita melakukan penelitian.
Dalam
laporan tersebut, kita temukan jumlah penduduk desa, mata
pencahariannya, pendapatannya, luas wilayah lahan pertanian, dan
kegiatan ekonomi penduduk desa. Setelah kita teliti sumber tersebut
ternyata ditulis dengan menggunakan ketikan komputer dan jenis kertas
HVS A4 dan dijilid dengan menggunakan jilid hard cover. Kalaulah kita
teliti dengan melihat fisik dari sumber tersebut, maka pertanyaan kita
adalah aslikah sumber tersebut?
Jawabannya tentu sumber tersebut tidak asli. Mengapa
demikian? Sebab, penelitian sejarah kita periodisasinya tahun
1950-1955, pada tahun tersebut belum ada penggunaan komputer dalam
pengetikan administrasi di pemerintahan. Begitu pula jenis kertas dan
penjilidan yang demikian, belum ada pada tahun itu. Jadi, sumber
tersebut bukan sumber yang asli.
Bagaimana
halnya dengan isi sumber tersebut? Dalam sumber tersebut kita temukan
angka tahunnya 1950-1955, bahkan ejaan yang digunakannya pun menggunakan
ejaan yang lama belum menggunakan EYD. Ada kemungkinan sumber tersebut
diketik ulang oleh petugas administrasi. Jadi, bisa saja isinya
kemungkinan bisa benar, tetapi dari segi fisiknya bukan sumber asli.
Walaupun demikian, kita harus hati-hati dalam menggunakan sumber
tersebut, sebab dapat saja ada kesalahan pengetikan sehingga data yang
tercantum dalam sumber tersebut kurang dapat dipercaya.
Lain
halnya kalau laporan tersebut menggunakan kertas yang sudah agak
menguning dan diketik dengan mesin tik atau ditulis tangan. Dari segi
fisik tersebut, sumber tersebut bisa dikatagorikan ke dalam sumber yang
asli. Sebab kalau kita lihat dari periode penelitian kita, pada tahun
1950-1955 sudah ada penggunaan mesin tik di kantor administrasi
pemerintahan.
Dalam kritik eksternal
dibutuhkan pula pengetahuan-pengetahuan yang bersifat umum dalam konteks
zaman. Misalkan kapan mulai adanya penggunaan komputer, mesin tik,
fotokopi, dan jenis-jenis alat tulis lainnya. Pengetahuan pun bukan
hanya dalam konteks zaman, tetapi juga dalam konteks wilayah, misalkan
apakah pada tahun 1950-an sudah ada penggunaan mesin tik di desa kita.
Bisa saja pada tahun tersebut di desa kita belum mengenal mesin tik,
sementara di kabupaten sudah ada.
Setelah
melakukan kritik eksternal, kemudian kita melihat secara kritis
terhadap isi dari sumber tersebut, apakah isi sumber itu dapat dipercaya
atau tidak. Langkah ini disebut dengan kritik internal. Jadi, kritik
internal adalah kritik terhadap isi sumber atau kritik terhadap
kredibilitas sumber. Misalkan perubahan agraria di pedesaan pada tahun
1950-1955. Kita menemukan sebuah laporan tertulis dari kecamatan yang
berisi tentang laporan yang dibuat oleh Lembaga Ketahanan Masyarakat
Desa (LKMD). Dalam laporan tersebut dicantumkan pula nama-nama pengurus
LKMD.
Bagaimanakah kritik yang kita
lakukan terhadap sumber yang kita temukan tersebut. Apakah sumber
laporan tersebut dapat dipercaya? Sumber tersebut tidak bisa dipercaya
kalau dilihat dari segi isinya. Mengapa demikian? Sebab, dalam sumber
tersebut disebutkan adanya lembaga yang bernama LKMD. Dalam hal ini kita
harus kritis, karena istilah LKMD merupakan istilah baru. Pada tahun
itu belum ada di desa suatu lembaga yang bernama LKMD. Jadi, kritik
secara internal atau isi harus kita lakukan seperti itu.
Pada
umumnya para sejarawan tidak terlalu banyak melakukan kritik terhadap
sumber bangunan. Kritik terhadap sumber bangunan lebih banyak dilakukan
para ahli arkeologi. Para ahli arkeologi dengan teknologi yang
dimilikinya melakukan pengujian terhadap bahan-bahan yang digunakan
dalam pembangunan bangunan-bangunan sejarah. Dengan demikian, akan
ketahuan mana bangunan yang asli dan yang tidak.
Kritik
yang dilakukan oleh para peneliti sejarah dilakukan terhadap
sumber-sumber lisan. Cara ini dilakukan terutama untuk melihat apakah
yang disampaikan oleh informan mengandung kebenaran, atau ia hanya
berbohong. Peneliti sejarah melakukan kritik dengan cara sebagai
berikut. Pertama melihat usia dari informan. Semakin tua usia informan
tersebut, kemungkinan akan semakin lupa apa yang ia ingat. Kedua,
melihat peran yang dilakukan oleh informan dalam peristiwa yang
diteliti. Apakah ia menyaksikan langsung kejadian itu atau tidak. Ketiga, melakukan cek silang antara informan yang satu dengan informan yang lainnya.
4. Interpretasi
Interpretasi
artinya penafsiran. Penafsiran dilakukan terhadap sumber-sumber yang
ditemukan. Dalam melakukan penafsiran, peneliti sejarah melakukan
analisis sesuai dengan fokus penelitiannya. Kajian sejarah yang bersifat
ilmiah, dalam penafsiran biasanya menggunakan teori-teori dari
ilmu-ilmu sosial. Dengan cara seperti ini, diharapkan penulisan sejarah
akan lebih objektif dalam batas keilmiahannya. Walau demikian,
penafsiran dalam sejarah tidak bisa terlepas sama sekali dari unsur
subjektivitas penulisnya. Subjektivitas terjadi disebabkan penulis
sejarah memiliki pandangan tersendiri terhadap sumber yang ia temukan.
Bahkan data yang sama tidak menutup kemungkinan menimbulkan interpretasi
yang berbeda. Apabila hal ini terjadi, dalam penelitian sejarah sah-sah
saja dan dibenarkan, asalkan peneliti menggunakan sumber yang valid.
Dalam
melakukan penafsiran, kita harus memiliki keterampilan membaca sumber.
Keterampilan yang dimaksud ini bisa berupa keterampilan dalam menfsirkan
bahasa yang digunakan oleh sumber yang ditemukan, terutama untuk
sumber-sumber tertulis. Misalkan sumber itu berbahasa Belanda atau
bahasa-bahasa daerah yang kuno, misalkan bahasa Sunda Kuno atau Jawa
Kuno. Apalagi bahasa-bahasa yang lama, struktur kalimatnya akan berbeda
dengan struktur kalimat bahasa yang sekarang. Bahasa Indonesia pun,
mengalami perkembangan. Kalau kita membaca sumber berbahasa Indonesia
yang terbit tahun 1950-an, sudah barang tentu memiliki struktur kalimat
yang berbeda dengan bahasa Indonesia saat sekarang.
Penafsiran
sumber pada dasarnya merupakan langkah yang kita lakukan dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan dari topik yang kita teliti. Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan penelitian, maka kita mencoba menguraikan
data-data atau sumber-sumber yang sudah kita pilih atau seleksi.
Misalnya, tema penelitian Perubahan Sosial Desa Tahun 1950-1955. Dengan
tema ini, maka kita akan menguraikan berbagai sumber yang menunjukkan
adanya perubahan sosial. Sumber-sumber atau data-data yang diuraikan
misalnya adanya laporan tentang jumlah orang-orang yang sekolah,
jenis-jenis sekolah yang dimasuki, jenis-jenis pekerjaan penduduk dan
jumlah pendapatannya, jumlah luas tanah di desa, adanya catatan tentang
transaksi pembelian hasil-hasil pertanian oleh petani dengan pedagang
yang berasal dari kota, catatan rapat di desa dan kecamatan tentang
penyuluhan pertanian yang akan dilakukan oleh petugas pertanian kepada
petani di desa, dan laporan dari desa tentang program pengembangan
pertanian.
Bagaimanakah penulis
sejarah atau sejarawan memberikan penafsiran berdasarkan contoh
sumber-sumber yang ditemukan tersebut? Sumber-sumber tersebut harus
dihubungkan antara yang satu dengan yang lainnya, terutama bisa
dihubungkan dalam konteks hubungan sebab akibat atau adanya hubungan
yang sangat signifikan. Berdasarkan sumber-sumber tersebut, sejarawan
bisa memberikan penafsiran bahwa di desa itu pada tahun 1950-1955
terjadi perubahan sosial. Bagaimana perubahan sosial itu bisa dilihat?
Perubahan sosial itu bisa dilihat, misalnya dengan semakin banyaknya
atau meningkatnya jumlah anak-anak yang sekolah di desa itu, semakin
tingginya tingkat pendidikan masyarakat desa. Pertanyaan berikutnya
ialah bagaimana bisa terjadi peningkatan jumlah anak yang sekolah dan
meningkatnya jenjang pendidikan? Untuk menjawab pertanyaan ini bisa
dihubungkan dengan menafsirkan sumber yang menunjukkan adanya
peningkatan pendapatan pada masyarakat petani. Faktor penyebab
meningkatnya pendapatan petani bisa disebabkan oleh peningkatan produksi
pertanian.
Para petani dapat
meningkatkan hasil produksinya, dari panen yang biasanya hanya dua kali
setahun menjadi tiga kali setahun. Bahkan dalam mengelola sawahnya
petani juga menggunakan tepian-tepian sawahnya dengan menanam palawija
dan jenis-jenis tanaman lainnya yang bisa dijual, sehingga bisa menambah
pendapatan petani. Mengapa produksi pertanian bisa meningkat? Untuk
menjawab pertanyaan ini, maka bisa dijawab dengan bukti dari
sumber-sumber laporan desa yang menunjukkan adanya program pengembangan
pertanian dan notulen rapat tentang penyuluhan pertanian dari petugas
pertanian kepada petani.
Berdasarkan
sumber tersebut dapat ditafsirkan bahwa peningkatan produksi pertanian
karena adanya intervensi langsung dari pemerintah yang melaksanakan
program pengembangan bidang pertanian. Dalam memberikan penafsiran,
biasanya sejarawan akan melihat berbagai faktor yang menjadi faktor
penentu perubahan. Secara garis besar, faktor penentu perubahan dalam
sejarah dapat ditentukan oleh manusia sendiri dan faktor di luar
manusia. Faktor di luar manusia misalnya lingkungan fisik atau alam di
mana manusia itu hidup, seperti iklim, tanah, dan sumber-sumber daya
alam lainnya.
Interpretasi sejarah
dengan melihat manusia sebagai faktor penentu perubahan dalam sejarah,
bisa dilihat dari manusia sebagai individu maupun manusia sebagai
kelompok atau masyarakat. Contoh interpretasi sejarah yang melihat
individu sebagai faktor penentu sejarah misalnya sejarah tentang
“orang-orang besar” atau tokoh. Dalam sejarah-sejarah yang lama, sering
ditampilkan peran sentral seorang tokoh dalam sebuah peristiwa. Tokoh
tersebut sangat menentukan terjadinya sebuah peristiwa sejarah, misalnya
Perang Dunia II banyak ditentukan oleh peran-peran individu yang
menyebabkan perang tersebut terus berlangsung.
Tokoh-tokoh
individu yang menentukan dalam Perang Dunia II misalnya Hitler dari
Jerman, Musolini dari Italia, dan Kaisar Hirohito dari Jepang. Manusia
sebagai kelompok dapat ditinjau dari manusia sebagai sebuah masyarakat. Masyarakat
dalam pengertian di sini bisa didefinisikan sebagai sekumpulan individu
yang terintegrasi dalam suatu struktur. Interpretasi dalam pendekatan
ini dilakukan dengan melihat perubahan masyarakat secara struktur.
Misalnya dengan tema penulisan sejarah Perubahan Sosial Desa 1950-1955,
perubahan struktur yang terjadi yaitu dari struktur masyarakat yang
tadinya berprofesi sebagai petani kemudian berubah menjadi buruh
perkotaan. Interpretasi sejarah dengan melihat lingkungan fisik atau
alam sebagai faktor penentu dalam sejarah dapat berupa interpretasi
geografis. Dalam interpretasi model ini, kehidupan manusia sangat
ditentukan oleh faktor geografis. Model seperti ini misalnya sejarah
timbulnya peradaban-peradaban atau kerajaankerajaan kuno.
Peradaban-peradaban kuno yang lahir banyak terletak di tepian sungai,
seperti peradaban Lembah Sungai Indus di India, peradaban Cina di Lembah
Sungai Huang Ho, peradaban Lembah Sungai Nil di Mesir, dan
peradaban-peradaban lainnya. Mengapa peradaban-peradaban itu selalu
terletak di tepi sungai? Dengan interpretasi geografis, dapat dikatakan
bahwa sungai pada waktu itu merupakan sumber kehidupan dan tempat lalu
lintas, karena pada saat itu belum ada kendaraan darat yang bermesin
seperti sekarang ini. Kehidupan manusia masih banyak tergantung pada
faktor alam. Pada daerah-daerah sungai yang demikian, akan muncul sebuah
masyarakat manusia. Dengan demikian, kehidupan manusia sangat
ditentukan oleh faktor geografis. Selain interpretasi geografis,
terdapat pula interpretasi ekonomi. Interpretasi ekonomi artinya bahwa
faktor ekonomi sangat menentukan perubahan dalam sejarah atau kehidupan
manusia. Sejarah perang misalnya, tidak hanya dilihat dari faktor
politik atau peran sentral individu atau tokoh. Sebuah perang dapat pula
terjadi lebih disebabkan oleh faktor ekonomi. Misalnya perang itu
terjadi disebabkan oleh adanya perebutan dari kedua negara terhadap
sumber-sumber daya alam. Kedua negara itu ingin menguasainya. Bahkan
penjajahan atau imperialisme bisa dilihat dari perspektif ekonomi.
Negara-negara Barat melakukan penjajahan terhadap bangsa-bangsa Asia
Afrika pada abad ke-19, lebih disebabkan oleh adanya keinginan
bangsa-bangsa Barat menguasai sumber-sumber daya alam Subjektivitas
dalam interpretasi sejarah mungkin terjadi, karena seorang penulis
sejarah atau sejarawan memiliki kewenangan untuk memberikan interpretasi
terhadap sumber-sumber atau fakta-fakta yang telah ditemukannya.
Walaupun demikian, seorang sejarawan harus berusaha semaksimal mungkin
untuk menghindari subjektivitas yang berlebih-lebihan, apalagi
kepentingan pribadi atau golongannya yang mewarnai interpretasinya. Cara
yang dilakukan untuk menghindari subjektivitas yaitu dengan menggunakan
pendekatan-pendekatan tertentu yang bersifat ilmiah atau menggunakan
konsep-konsep atau teoriteori, dalam menginterpretasikan sumber yang
ditemukannya. Dengan cara seperti ini, diharapkan interpretasi sejarah
akan lebih objektif.
5. Historiografi
Historiografi secara harfiah berarti penulisan sejarah. Langkah
ini merupakan langkah terakhir dalam penelitian sejarah. Dalam langkah
ini dapat dilihat bagaimana peneliti sejarah mengkomunikasikan hasil
penelitiannya kepada orang lain atau dalam bentuk apa tulisannya dibaca
untuk umum. Menulis sejarah dalam bentuk historiografi pada dasarnya
merupakan bentuk rekonstruksi sejarawan atau peneliti sejarah terhadap
sumber-sumber yang telah ia temukan dan telah diseleksi dalam bentuk
kritik. Historiografi ibarat membuat suatu bangunan. Dalam membuat suatu
bangunan, seorang ahli bangunan mencoba memasang bahan-bahan yang telah
disediakan. Dia memasang kayu untuk kusen, pintu, jendela; semen,
pasir, dan batu bata untuk dinding; cat untuk mencat dinding. Apabila
kita perhatikan bahan-bahan tersebut dalam keadaan masih tersimpan
secara terpisah-pisah atau belum digunakan, maka kesan yang akan timbul
dalam diri kita ialah menjadi tidak menarik. Akan tetapi, apabila
bahan-bahan itu kita coba susun akan menjadi suatu bangunan yang indah.
Hal tersebut sama pula halnya dalam merekonstruksi sumber-sumber
sejarah. Ketika sumber-sumber sejarah masih dalam bentuk yang
terpisah-pisah belum dikonstruksi, maka itu akan menjadi barang yang
mati. Akan tetapi, ketika sumber-sumber sejarah itu kita rekonstruksi,
akan menjadi suatu bangunan tulisan atau karya tulis yang hidup. Karya
ini menjadi suatu cerita yang menarik dan enak dibaca. Sebagai contoh
kita menemukan catatan rapat desa, laporan jumlah penduduk desa beserta
pendapatannya, jumlah luas tanah, jumlah orang-orang desa yang
bersekolah, catatan transaksi jual beli hasil pertanian antara petani
dengan pedagang dari kota, laporan program pengembangan pertanian di
desa, dan sumber-sumber lainnya. Kalau sumber-sumber itu masih
terserak-serak, belum direkonstruksi, belum bisa bercerita apa-apa akan
barang-barang yang mati.
Akan tetapi,
ketika sumber-sumber itu direkonstruksi oleh sejarawan, sumber-sumber
itu menjadi hidup. Dari sumber-sumber itu tersusunlah bagaimana cerita
perkembangan desa tersebut. Hal yang harus diperhatikan dalam
historiografi adalah kemampuan menulis. Dalam menulis sejarah, dituntut
kemampuan untuk berimajinasi. Dalam hal ini, tulisan sejarah ibarat
suatu karya seni. Apabila seorang penulis sejarah memiliki kemampuan
berimajinasi yang baik, maka tulisannya akan enak dibaca. Pembaca akan
diajak ke masa lampau. Apa yang diceritakan dalam tulisannya itu
seolah-olah telah menghidupkan masa lampau yang telah mati. Ada tiga
bentuk penulisan sejarah, yaitu penulisan yang bersifat narasi,
deskripsi, dan analitis. Penulisan yang naratif, lebih banyak bercerita
sesuai dengan apa yang diinformasikan oleh sumber sejarah. Hal yang
diceritakan dalam tulisannya itu hanya menjawab pertanyaan tentang apa
dan di mana peristiwa itu terjadi. Deskriptif yaitu penulisan yang
hampir sama dengan naratif, sama-sama berorientasi terhadap sumber.
Selain menceritakan apa yang ada dalam sumber, dalam penulisan yang
deskriptif lebih detail dan kompleks. Kekayaan sumber sangat menentukan
deskripsi penulisannya sehingga banyak yang diceritakannya.
Penulisan
sejarah sebenarnya merupakan bagian dari hasil penelitian. Langkah
utama yang harus dilakukan dalam penelitian adalah membuat pertanyaan
masalah yang akan dijadikan masalah penelitian. Penulisan yang bersifat
analitis pada dasarnya mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah
diajukan. Uraian penulisannya bersifat problem solving, yaitu
memecahkan masalah. Pertanyaan lebih diperluas tidak hanya terbatas pada
apa, siapa dan di mana, tetapi mengajukan pertanyaan mengapa dan
bagaimana. Untuk menjawab pertanyaan mengapa dan bagaimana, dibutuhkan
kemampuan yang bersifat analitis dari peneliti sejarah. Sebagai contoh,
sejarah pemberontakan. Dalam penulisan yang bersifat naratif, hanya
banyak bercerita tentang bagaimana awal pemberontakan itu timbul,
berlangsung, dan sampai dengan berakhirnya.
Jadi,
uraian lebih bersifat kronologis semata. Penulisan yang bersifat
deskriptif akan menguraikan lebih detail mengenai pemberontakan itu,
tidak hanya keberlangsungan dan berakhirnya, tetapi mungkin menguraikan
sebab-sebab yang lebih detail dan kompleks serta bagaimana kondisi
masyarakat sebelum terjadinya pemberontakan. Dengan demikian, akan
memberikan informasi yang lebih banyak dalam menguraikan pemberontakan
itu dibandingkan dengan uraian yang bersifat naratif. Adapun pendekatan
yang bersifat analitis, melihat pemberontakan dari berbagai faktor.
Pemberontakan sebagai sebuah tema penelitian, diuraikan dengan pembagian
tema-tema atau topik-topik yang lebih kecil. Misalkan dililihat dari
aspek politik, sosial, dan ekonomi masyarakat sebelum dan sesudah
terjadinya pemberontakan. Dengan uraian yang lebih analitis, diharapkan
dapat diperoleh kesimpulan-kesimpulan yang bersifat unik dan khas, yang
bisa membedakan dengan pemberontakan lainnya. Bahkan dapat ditemukan
satu model tersendiri tentang teori dari suatu pemberontakan.
Apabila
kita perhatikan, langkah-langkah penelitian sejarah sepertinya harus
melakukan tahapan-tahapan yang sifatnya berjenjang. Artinya, kita harus
mendahulukan nomor yang awal, baru kemudian nomor langkah berikutnya.
Misalnya kita harus melakukan dulu kritik, baru memberikan interpretasi.
Dalam prakteknya, sesungguhnya tahapan-tahapan penelitian sejarah
tidaklah kaku. Artinya, kita tidak seharusnya mengikuti tahapan-tahapan
awal baru berikutnya. Kita dapat melakukan tahapan tersebut secara
bersamaan, misalnya ketika kita sedang melakukan kritik sesungguhnya
kita pun sudah melakukan interpretasi. Karena pada saat itu, kita sudah
bisa menentukan mana sumber sejarah yang cocok dengan topik penelitian.
Begitu pula ketika kita sedang melakukan interpretasi, kita sendiri
sudah melakukan penulisan. Sebab, ketika kita melakukan penulisan, pada
dasarnya kita pun sedang memberikan penafsiran terhadap sumber-sumber
sejarah yang digunakan.