Pelangi,
Hanya sekejap kau datang, sejuta kebahagiaan telah mewarnai sepinya hariku
Kau datang saat aku terjatuh, terpuruk
Namun, kau pergi ketika aku belum sempat berdiri dan akhirnya kuterjatuh lagi…
Pelangi, kuingin kau tahu
Disini, aku ‘kan selalu mengagumimu sekarang, esok dan selamanya
Hanya sekejap kau datang, sejuta kebahagiaan telah mewarnai sepinya hariku
Kau datang saat aku terjatuh, terpuruk
Namun, kau pergi ketika aku belum sempat berdiri dan akhirnya kuterjatuh lagi…
Pelangi, kuingin kau tahu
Disini, aku ‘kan selalu mengagumimu sekarang, esok dan selamanya
Senja menyingsing, langit sore tampak memerah menghiasi cakrawala. Mentari nampaknya mulai lelah bersinar kembali, serasa ingin bersembunyi. Hening sejenak, kuterpekur dalam lamunan, lamunan di qobla maghrib. Kulepaskan genggaman pena di tanganku, berhenti kugoreskan…
“Than, ini catatan biologi kemarin. Kamu nggak masuk tho?”sapa Fisa menyodorkan buku tulis bersampul kertas kado warna merah muda.
“Oh, makasih ya Mbak! Jadi ngrepotin!”sahutku sedikit kaget, sedikit nggak percaya.
“Nggak apa-apa kok, kebetulan besok juga nggak ulangan. Kamu salin aja dulu.”
“Nggih, Insya Allah besok tak kembaliiin.”
“Ayo Than, aku mau ke perpust dulu.”
“Silakan Mbak!”lirihku.
Segera saja buku Fisa kumasukkan ke laci, bersama catatan biologiku, kebetulan baru aja selesai jamnya. “Fisa kok baik banget ma aku ya?”pikirku. Di sekolah, aku memang terkenal banget, maksudnya terkenal pendiam en nggak gaul. Tampang unmarketable, apalagi gaya jelas tentu unfashionable. Aku tipe cowok misterius, susah ditebak en paling anti sama monster yang namanya cewek (ih sereeem!!!), janganin ngobrol, ngelihat wajahnya aja sudah buat ngeh.
“Tet, tet, tet!!!”bel pulang sekolah berteriak memanggil.
Sedikit buru-buru, aku pulang. Scheduleku hari ini lumayan padat, banyak tugas, PR terus ekskul. Pikiran lumayan stress.
“Than, ngapain buru-buru? Mampir markas dulu yuk!”ajak Fajar, friend sekelas.
“Sorry boz, aku nggak bisa. Pusing banget nich, maksudnye banyak PR gitu.”
“PR atau PR? Jangan-jangan kena TBC (Tekanan Beban Cinta-pen) atau malahan DBD (Demam Bercinta Disekolah-pen) ya? Hayoo!”
“TBC dari Hongkong, DBD dari Papua. Ngaco banget kamu Jar!”
“Ya udah, pulang sana. Perasaanku nggak enak. Hati-hati aja ya! Cuma bercanda lho Than!”
“Aku duluan. Sampe ketemu besok plus titip salam buat anak-anak!”
Kuambil kuda besiku di parkiran, kumainkan gas berharap bisa pulang secepatnya. Naas, di jalan ada trouble, truk fuso main kayang, maksudnye terbalik. Jalan ditutup, tinggal satu arah, otomatis romantis lalu lintas padat merayap (kaya operator tol ya?-pen). Maksud hati pulang cepet, eh malah kesorean banget.
***
Nonton TV sambil belajar, rutinitas harian yang nggak bisa ditinggalkan. Kulihat jadwal pelajaran yang tertempel di dinding. Setelah kuputar otak, ternyata nggak ada PR. Tinggal tugas kelompok buat bulan depan. “Alhamdulillah!”lirihku sambil mengelus dada. Sambil merapikan buku buat besok, sentak kuingat sesuatu. Yupz, bener banget aku mesthi nyalin catatan biologinya Fisa. Refleks tanpa komando, kubongkar tas yang masih tergeletak di kasur tempat tidur. Kuacak-acak isi tas, tapi buku Fisa nggak ketemu juga, buku biologikupun ikut-ikutan raib, entah kemana rimbanya.
Kuputar otakku sekali lagi, kubuka memory hari ini. Kuingat-ingat dimana aku menyimpan buku Fisa. Glodakz!!! “Astagfirullah, bukunya pasti ketinggalan di laci . Tadi aku soalnya buru-buru banget pulang. Kapan aku nyalinnya? Padahal udah janji lagi sama Fisa mau kembaliin besok. Terus gimana dunk???”rentetan tanya mengultimatum hatiku. Rasa bersalah dan kecewa, serasa campur aduk menjadi rujak kegelisahan dalam benakku. Sekalinya ada orang yang mau berbuat baik sama aku, malah aku kecewain. Aku jadi ngerasa bersalah banget-nget-nget.
“Besok bilang aja sama Fisa, pasti dimaklumi kok. Kelihatannya dia anak baik? Tenang aja, nggak usah ngerasa bersalah gitu!” hati kecilku menenangkanku.
Kurangkai semua yang kurasakan hari ini dalam bahasa kata. Kugoreskan pena perasaanku, terus kugerosken sampai akhirnya kuterlelap tidur, dalam dan semakin dalam ditemani desis angin malam yang terasa dingin, dan semakin dingin.
Andainya cinta boleh kuberi nama,
Maka akan ada namamu disana.
Andainya rindu boleh kutitipkan lewat kuntum bunga,
Maka tak cukup sejuta bunga tuk membawanya
Maka akan ada namamu disana.
Andainya rindu boleh kutitipkan lewat kuntum bunga,
Maka tak cukup sejuta bunga tuk membawanya
***
“Than, bangun Than!!! Sudah subuh, ayo bangun!!!”terdengar ummi membangunkanku dari luar kamar.
“Nggih Mi! Fathan sudah bangun kok! Nanti Fathan nyusul ke masjid!”sahutku setengah sadar, mata masih sulit terbuka, berat sekali.
Silau, kulihat lampu langit kamar. Sempoyongan, kumulai beranjak bangun. Bergegas ke belakang mengambil air wudhu. Mata baru benar-benar terbuka, setelah selesai wudhu. Langkah seribu bayangan, kuberlari menuju masjid, berharap nggak ketinggalan shalat jamaah.
***
“Assalamu’alaikum. Fathan berangkat ya Mi, sudah siang takut telat!”aku pamitan dengan Ummi. Kebetulan sudah tiga hari ini Abi nggak ada di rumah, sedang pergi ke luar kota ada seminar gitu.
“Walaikumsalam. Belajar yang rajin. Hati-hati nak, nggak usah ngebut!”seperti biasa ummi memberi wejangan.
“Beres Mi, InsyaAllah kalau nggak kepepet!”jawabku sedikit bergurau.
Sampai di sekolah.
Seperti biasa, aku masuk golongan anak rajin. Parkiran masih sepi, aku bebas pilih tempat parkir. Segera saja, kubergegas berjalan menapaki tangga menuju lantai dua, tempat kelasku berada. Tiba-tiba…
“Than, ini buku catatan biologimu kemarin. Ketinggalan di laci.” Fisa menyapaku dari belakang sembari menyodorkan sebuah buku.
“Buku siapa ini Mbak? Kelihatannya bukan buku saya kok. Buku saya nggak disampuli Mbak.”
“Ya bukumu dunk Than.Ini ada namanya, Fathan Attira, bener khan?”
“Gimana ceritanya, sampai bisa Mbak bawa? Saya masih bingung.”
“Kemarin pas piket, nggak sengaja aku lihat bukumu ketinggalan di laci. Eh malahan sama buku catatanku juga. Sekalian aja aku bawa pulang. Kebetulan, di rumah lagi nggak sibuk, jadi udah aku salinin sekalian catatannya. Maaf lho, nggak bilang-bilang dulu!” jelas Fisa, sedikit merasa bersalah.
“Nggak apa-apa kok Mbak. Saya malahan yang berterima kasih. Lha kalo sampulnya gimana? Kebetulan juga?”
“Cuma sisa aja kok. Kemarin aku bungkus kado adikku buat temennya, eh masih sisa. Daripada mubadzir aku sampulin dibukumu, nggak suka ya?”
“Suka kok, malahan suka banget. Tetapi jadi ngrepotin lagi. Sudah disalinin catatannya eh malah sampe nyampulin segala. Saya jadi nggak enak lho Mbak.”
“Nggak usah dipikirkan. Tolong-menolong khan hukumnya wajib. Bener khan? Ya udah ayo masuk!”Fisa bergegas masuk ke kelas.
“Ya udah, terima kasih Mbak! Ayo…”aku ikut masuk, berjalan di belakangnya.
Kebingungan mulai merasuki benakku. “Ada apa dengan Fisa? Kenapa dia begitu baik padaku?” Entahlah, mudah-mudahan nggak ada hal buruk yang akan menimpaku. “Possitive Thinking alias Husnudzan aja Than!”lagi-lagi, hati kecilku ikut bicara.
Apa yang terjadi pada diriku, aku sendiri nggak tahu persis. Dulu, aku paling anti yang namanya deket dengan cewek, tapi kenapa nggak berlaku untuk Fisa. Apa yang terjadi? Cewek itu monster yang mengerikan, banyak orang besar hancur karena wanita. Apa itu juga berlaku buatku? Entahlah… Yang jelas, Fisa jauh berbeda dengan Cleopatra ataupun Zulaikha. Dia begitu baik…
***
Seiring waktu berjalan. Roda kehidupanpun ikut berputar. Kulalui hari-hari biasa-biasa saja, nggak jauh beda dengan kemarin atau kemarinnya lagi. Yang membuatnya sedikit berbeda adalah kehadiran Fisa. Dia membuat hariku semakin berwarna, nggak sepi seperti dulu. Persahabatan ini terkesan aneh, tak terpikirkan sebelumnya. Tapi entah kenapa, rasanya begitu dalam membekas dalam ingatan.
Namun, itu tak bertahan begitu lama. Hingga….
Beberapa orang teman Fisa datang menghampiriku dari belakang. Tatapan wajah mereka nampak sinis, memendam emosi yang cukup dalam. Aku belum begitu paham maksud kedatangan mereka. Tiba-tiba, rasa takut mulai menyeruak, menghinggapiku…
“Than, jangan dekati Fisa lagi titik!”tegas Ika, salah seorang diantara mereka diamini yang lain.
“Sebentar Mbak, sebenarnya ini ada apa? Saya belum begitu paham. Apa salah saya pada Fisa sehingga saya harus menjauhinya?”jawabku sedikit takut.
“Kamu memberi harapan semu pada Fisa dengan terlalu dekat bersahabat dengannya. Kami khawatir kamu hanya akan menyakiti perasaannya saja. Fisa begitu berharap denganmu Fathan? Dia baerharap bisa jadi lebih dari sekedar sahabat, seperti yang kalian jalani saat ini.” Tandas Rima, sahabat Fisa yang lain.
“Saya rasa kami bersahabat biasa saja, nggak lebih. Menurutku, begitu juga dengan Fisa.”
“Fath, coba kamu pikir! Fisa itu terlalu baik untuk ukuran sahabat. Dia begitu karena ingin kamu perhatikan Fath, ingin kamu lindungi. Sebelum Fisa semakin berharap, lebih baik kamu jauhi dia Fath, daripada dia semakin sedih bila harapannya pupus. Tolong pikirkan Fath, kasihani Fisa, jangan buat dia melambung dengan harapan semu!”ujar Ika mengakhiri perbincangan denganku. Kemudian berlalu pergi.
Aku semakin gelisah dengan semua yang aku alami. Aku bingung harus bagaimana. Sulit untuk berpisah dengan Fisa apalagi memutuskan hubungan dengannya. Entahlah aku harus bagaimana…
Keesokan harinya…
Aku sudah membatasi bertemu dengan Fisa. Jangankan ngobrol dengannya, melihat wajahnyapun aku tak sanggup. Setiap kali aku bertemu dengannya, aku hanya diam, seolah tak melihatnya. Sulit dan benar-benar sulit. Setiap kali kumencoba melupakan Fisa, bayangan wajahnya semakin nyata menghiasi dimensi fikirku. Aku takut dengan teman-temannya yang sudah memberi amanah kepadaku untuk menjauh darinya. “Fisa, mungkin ini yang terbaik!”lirihku dalam hati.
Kuberusaha membenci Fisa, menganggapnya tak pernah ada dalam hidupku. Kuungkap rasa itu lewat goresan pena, yang selalu mewarnai putihnya buku agenda harianku.
Fisa, aku benci melihat senyummu, aku benci mendengar tawamu, aku benci tak bisa melupakanmu. Dari semua kebencianku itu, ada satu hal yang paling aku benci, yaitu aku tak bisa benar-benar membencimu.
***
Semua akhirnya menemui puncaknya…
Kuberanikan raga ini untuk berbicara langsung dengan Fisa untuk mengakhiri semua ini. Kukirim Fisa sepucuk surat tentang isi hatiku padanya. Sepucuk surat yang kutulis dengan berat hati dan penuh perasaan. Rasa takut menyakiti perasaanmu dan rasa bersalah karena mengecewakan perasaanmu.
Fisa, andai kekaguman sudah menjelma, merasuk dalam kalbumu karenaku, kuingin tahu apa yang kau kagumi dariku. Jika kau kagum karena ketampananku, diluar sana masih banyak orang yang jauh lebih tampan dariku. Fisa, aku tidak setampan Nabi Yusuf as. Jika kau kagum karena kekayaanku, diluar sana masih banyak orang yang jauh lebih kaya dariku. Fisa, aku tidak sekaya Nabi Sulaiman as. Jika kau kagum karena kebijaksanaanku, diluar sana masih banyak orang yang jauh lebih bijaksana dariku. Fisa, aku tidak sebijaksana Rasulullah Muhammad SAW. Fisa, aku memang bukan orang yang sempurna yang pantas untuk kau kagumi.
Fisa, sungguh berat rasa hati ini untuk mengungkapkannya. Jujur, aku memang menyimpan rasa suka kepadamu, tetapi sebatas sahabat, akupun berharap begitu juga perasaanmu padaku. Persahabatan memang jauh lebih indah, tanpa ada rasa saling menguasai satu sama lain. Fisa, kau telah mewarnai hariku dengan kebahagiaan walau hanya sebentar. Jangan pernah membenciku Fisa.
Kukirimkan dua puisi yang sempat kutulis saat aku bersamamu, beberapa waktu yang telah lalu, mudah-mudahan bisa menjadi kenangan bagimu tentang diriku.
Allah, jika Kau ciptakan cinta ini hanya untuk membenci, aku akan memilih hidup tanpa cinta, tapi jika Kau ciptakan cinta ini untuk saling menyayangi, aku akan memilih hidup penuh cinta, tapi jika Kau ciptakan cinta ini untuk memilih, aku tidak akan pernah memilih, karena akan kubiarkan cinta yang memilihku.
Aku tak ingin menjadi bulan yang tak selamanya utuh, Aku tak ingin menjadi matahari yang redup jika tertutup awan, Aku tak ingin menjadi karang yang akan pecah diterjang ombak, tetapi… Aku ingin menjadi Aku… Aku yang berdiri dengan kedua kakiku, Aku yang berfikir dengan akal sehatku, Aku yang berdzikir dengan nuraniku.
Kuakhiri goresan penaku ini dengan satu harapan Fisa, semoga persahabatan kita terus berkepanjangan, sekarang, esok dan selamanya.
Sejak kukirim surat itu, semuanya sudah sedikit berubah. Beban perasaanku pada Fisa sedikit berkurang. Kulihat dia biasa-biasa saja, sama seperti dulu. Namun, aku belum mampu untuk menjalani hari-hari baruku. Aku belum berani bertemu dengan Fisa, rasa takut masih mendera, memasung keinginan untuk berubah, bersikap biasa dan apa adanya. Sulit dan memang begitu sulit, tetapi akan terus kucoba, setapak demi setapak tangga perubahan akan kulalui, berubah menjadi aku yang lebih baik dari aku saat ini. Tomorrow must be better than today. Fathan, bangun dari mimpimu!!!
***
“Allahu Akbar, Allahu Akbar!!!”terdengar adzan Maghrib berkumandang. Walau setengah sadar, kuterbangun dari buaian lamunan panjang yang seolah nyata kualami. “Oh itu cuma mimpi tho?”pikirku dalam hati. Ternyata aku masuk ke dunia khayal yang kuciptakan sendiri, masuk ke cerpen yang kutulis.
Emang sich, nggak heboh-heboh amat, tapi lumayan lah buat iseng-iseng di waktu luang. Toh nggak ada ruginya khan? Hitung-hitung ngrapiin tulisan tangan, biar diterima jadi PNS gitu (bercanda aja kok).
“Than, mandi dulu! Nanti sholat maghrib jamaah!”panggil ummi dari dapur menyiapkan makan malam.
“Siap Mi!”sahutku sambil sejenak berpikir. Sampai akhirnya kugoreskan pena penutup cerpenku. Cinta itu memang nggak bisa dijelaskan dengan kata-kata, bahkan seluruh pengetahuan yang kita milikipun takkan pernah mampu menerjemahkan cinta dalam bahasa kata-kata. Tapi otak, hati dan aliran darah kita akan merasakan cinta yang sesungguhnya. Perlahan kulangkahkan kakiku menuju kamar mandi dengan tatapan penuh harap,“Andai Fisa benar-benar ada???”.
“Cinta menyakitkan bila Anda putuskan hubungan dengan seseorang. Itu malah lebih sakit lagi bila seseorang memutuskan hubungan denganmu. Tapi cinta yang paling menyakitkan, bila orang yang kau cintai sama sekali tidak mengetahui perasaanmu terhadapnya.”