Andainya cinta boleh kuberi nama,
Maka akan ada namamu disana.
Andainya rindu boleh kutitipkan lewat kuntum bunga,
Maka tak cukup satu juta bunga tuk membawanya.
Maka akan ada namamu disana.
Andainya rindu boleh kutitipkan lewat kuntum bunga,
Maka tak cukup satu juta bunga tuk membawanya.
“Tunggu,…! Tunggu sebentar!”teriakku memanggil-manggil seseorang, gadis yang belum pernah kukenal sebelumnya. Dia tak begitu jelas kulihat, hanya samar-samar dari kejauhan. Mendengar teriakankupun dia sama sekali nggak menghiraukan aku, bahkan semakin cepat menapaki jalan menjauh dariku. Dengan langkah seribu bayangan, kukejar dia, tapi… akhirnya aku terperosok ke jurang dan…
“Aduh,…!”rintihku setengah sadar. Apes banget, aku terjatuh dari tempat tidur. “Alhamdulillah, cuma mimpi! Untung aja nggak jadi kecemplung jurang beneran! Tapi, gadis dalam mimpiku tadi siapa ya, bidadari atau jangan-jangan…,”aku ngobrol sendiri di depan cermin. Aku masih bingung, apa arti mimpiku tadi. “Halah, mimpi kan cuma bunga tidur, tapi mungkin bisa aja kan jadi realita! Entahlah…!”ujarku.
Suatu hari habis libur semester…
Pagi itu, hari pertama masuk habis liburan. Dengan sedikit terburu-buru, aku berlari menapaki tangga ke kelas baruku, kelas XI. “Bruuk!!!”aku nggak sengaja nabrak seseorang tepat di depan kelas baruku. “Ngapunten mbak! Saya nggak sengaja!”aku meminta maaf sambil ikut membantu merapikan novel-novel Kahlil Gibrannya yang terjatuh. “Nggak apa-apa kok! Biar aku beresi sendiri aja!”jawabnya lembut. Seketika itu akupun terpaku, diam seolah-olah terkenang sesuatu. Yupz, terkenang mimpiku dulu itu. “Apakah dia gadis dalam mimpiku itu?”tanyaku dalam hati. Ketika kutersadar, dia sudah berlalu pergi, entah kemana.
Dari wajahnya, dia nggak terlihat asing bagiku. Sepertinya aku pernah bertemu dia sebelumnya tapi aku lupa dimana. Maybe, dia dulu beda kelas sama aku, so jadi jarang banget ketemu. “Mudah-mudahan, ketemu lagi!”harapku dalam hati.
***
Entah kebetulan atau takdir, aku dipertemukan lagi dengannya di perpust. Seperti biasa, aku sering ngabisin jam istirahat kedua disana, sekedar baca koran atau nonton tv. Kadang-kadang juga konsultasi sama Pak Seno, guru Bahasa Indonesiaku. Kulihat dia sudah asyik membaca novel, entah novel apa, mungkin novel Kahlil Gibran, tapi aku nggak tahu pasti.
“Tet…tet…tet…,”bel tanda masuk berbunyi. Kebetulan aku keluar rada belakangan soalnya dapet tugas piket perpust. Kulihat ada sebuah novel Kahlil Gibran tergeletak diatas meja, kelihatannya ketinggalan. Kulihat di sampul depan tertulis sebuah nama “Nafisa Astari Eleven Class, Aisha Kost” Atas instruksi Pak Seno, aku disuruh ngembaliin novel itu.
“Aduh, novelnya siapa ya? Pasti yang punya nyariin nih,”pikirku dalam hati. Tapi, karena udah habis istirahat kedua, so aku putusin buat ngembaliin novelnya besok aja. Lagi pula, aku kan ada pelajaran Biologinya bu Widya.
***
Keesokan harinya…
Selidik punya selidik, berkat bantuan dari temen-temen, akhirnya aku tahu siapa pemilik novel itu. Emang bener, novel itu milik Nafisa Astari, anak kelas Sebelas, nggak jauh dari kelasku sih. Tapi, anaknya susah banget ditemuin, masuk OSS (Orang Super Sibuk), maklumlah dia kan anggota OSIS, en ikut seabrek kegiatan. Salah satunya ekskul CSC (Creative Students Community), kebetulan sama denganku. “Yang bener Nafisa gabung CSC? Kayanya aku belum pernah ketemu dia deh?”tanyaku dalam hati.
Entah sudahlah yang penting aku sekarang sudah tahu siapa dia. Tinggal nunggu waktu yang tepat buat ngembaliin novel itu. Saking sulitnya ketemu Fisa, biasa dia disapa, novel itu sampe nginep di kamarku berhari-hari. Bahkan aku sudah finish bacanya. “Kelihatannya Fisa suka sastra banget, maybe dia punya novel-novel yang lain kali ya? ”pikirku.
Akhirnya…
“Assalamu’alaikum! Ngapunten mbak, saya mau ngembaliin novel ini. Kemarin saya temukan di perpustakaan, kelihatannya punya njenengan!”sapaku sedikit canggung sambil menyodorkan novel itu kearahnya.
“Walaikumsalam. Syukran! Kebetulan saya juga sedang nyari novel itu. Kirain hilang. Terimakasih lho, jadi ngrepotin!”jawabnya lembut.
“Ya udah mbak, saya permisi dulu, masih ada perlu. Assalamu’alaikum!”akhirku berlalu pergi meninggalkannya.
“Walaikumsalam!”sayup-sayup kudengar Fisa membalas salamku.
Dari kejauhan sempat kulihat, sedikit simpul senyumnya. Entah bahagia bukunya kembali atau gembira bisa ketemu aku, keGR-an kali ya. “Aduh, kenapa nggak ngobrol dulu tadi, tanya alamat, no hape atau apa gitu?”aku sedikit mengeluh.
“Ngapain boz? Kelihatannya serius amat?”Ipul menggodaku.
“Nggak ngapa-ngapain kok. Lagi baca buku aja. Kebetulan baru dapat pinjeman. Asyik lho, judulnya “Melukis Cinta”. Pengin baca? Ntar dulu brow, tak rampungin dulu.”jawabku sekenannya sambil sedikit pamer.
“Soorry, buku kaya gituan aku nggak nafsu. Palingan isinya itu-itu aja. Cinta, cinta dan cinta lagi. Masa’cinta dilukis? Nggak salah tuh. Sekali-kali baca buku mbok yang lebih gaul, kaya Harry Potter.”tandas Ipul lagi.
“Huz, seterah kamu aja. Aku mau nglanjutin baca, satu guru satu ilmu jangan ganggu. OK brow!!!”Kuakhiri percakapanku dengan Ipul sembari nglanjutin baca buku itu.
Buku “Melukis Cinta” emang bagus banget. Mas Sakti Wibowo, sang penulisnya emang pinter banget nggambarin apa itu cinta dari perspektif (sudut pandang-pen) remaja Muslim walau nggak sampe jadi lukisan sich. Pengin baca bukunya, cepetan beli keburu kehabisan lho! (nggak ada niat buat promosi lho-pen).
Kembali ke…kisah.
Aku nggak tahu ini mujur apa apes, kebetulan itu terjadi lagi. (Udah pada ngira apa yang bakal terjadi? Kayaknya sich bener tapi belum tahu juga. Yang jelas beda banget sama cerpen-cerpen terdahulu, 14 Februari atau Ketika “Cinta”…). Aku dipertemukan lagi dengan Fisa. Kali ini bukan gara-gara tabrakan, atau ngembaliin buku, tapi karena pulang kampung bareng (ndeso banget ya?).
At that time, minibus yang aku tumpangi sedikit penuh and kebetulan juga, masih ada satu kursi kosong di belakang. Langsung aja aku meringsek masuk buat duduk. Nggak tahunya… Yang duduk di sebelahku itu, coba tebak? Yupz, emang bener Nafisa. Aku bingung banget mesthi ngapain, jadi rada gimana gitu. Mau ngajak ngobrol, malu-malu kucing. Bingung mulainya. Tapi akhirnya…
“Baca buku apa mbak? Kok kelihatannya asyik!”aku mulai memancing pembicaraan.
“Oh ini tho, bukunya Kahlil Gibran yang kemarin itu lho. Kan belum sempat aku baca dah ketinggalan di perpust. Oh iya ya, kemarin yang ngembaliin bukunya kamu tho?”
“Soory lho mbak, bukunya malahan dah selesai aku baca. Habis mau tak kembaliin, mbaknya susah banget ditemuin. Sibuk banget tho?”
“Gak papa kok! Suka baca juga tho? Pasti punya banyak buku deh? Kalau boleh aku tak pinjem dong?”
“Nggak kebalik tuh.”
Nggak tahu kenapa, Fisa itu asyik banget diajak ngobrol. Aku ngerasa nyaman banget di dekatnya, melihat senyumnya, symphoni tutur katanya hatiku gimana gitu. Jangan pikir macem-macem lho! Biasa aja kali… Satu hal yang membuatku heran plus kagum dari sosok Nafisa yaitu caranya bergaul yang beda banget sama cewek-cewek lainnya. Dia sangat menjaga kehormatannya, nggak pernah bersentuhan ataupun bertatap muka dengan nonmuhrim, termasuk aku. Aku kagum banget sama dia, di zaman edan seperti ini masih ada juga sosok seperti Fisa. Aku jadi makin tertarik untuk mengenalnya lebih dekat, maksude jadi sahabatnya. Bukan TTM ataupun Pacaran lho. Naudzubillahimindzalik.
Kebetulan untuk kesekian kalinya. Ternyata… Kenapa??? Tanyakan saja…. Aku dapet no hapenya Fisa pas dapet tugas daftar ulang anggota CSC. Awalnya sich, nggak aku apa-apain (maksude sms, missedcall atau CM-an,-pen). Tapi gara-gara tugas, suruh menghubungi semua anggota CSC buat koordinasi study banding ke kotane Pak SBY, (maksude Pacitan-pen), akhirnya aku sms dia deh.
Tragedi SMS…
Nggak tahu kenapa, aku kok rasanya beda gimana gitu kalo SMS-an sama Nafisa, padahal cuma ngasih pengumuman lho! Maksud hati mau jadi temen deket, so aku kadang-kadang SMS dia, sekedar nanya ato ngasih tahu ini itu, bahkan akhirnya sampe curhat-curhat segala. Nah, mungkin ini dia titik awal kesalahanku. Dibilang VSA (Virus SMS-an Akhwat-pen), aku nggak mau karena aku nggak segitunya sih, palingan seminggu sekali atau pol-polnya sehari sekali.
Dari situlah, aku mulai lebih akrab sama si Fisa. Aku ngerasa enjoy, en sering banget dapet motivasi dari Fisa yang membuat hari-hariku jadi lebih hidup dan berwarna. Pokoknya, Fisa itu ibarat pelangi yang menghiasi kesunyian hatiku (berlebihan kali ya???). Entah kenapa, motivasi ato sekedar kata mutiara dari Fisa bisa membuatku lebih semangat ngelakuin sesuatu. Kekagumanku pada Fisa pun makin bertambah.
Kedekatanku dengan Fisa, emang hanya sebatas teman, nggak lebih. Di sekolah, aku biasa aja, ngobrol nggak sering-sering banget soalnya aku ngerti itu nggak mungkin. Kalopun ngobrol, pasti rame-rame plus yang diobrolin palingan cuma masalah CSC, nggak ada yang lain. Wis nggak tahu gimana awalnya, yang jelas karena bodohnya aku. Dah tau kan, aku ini hobby banget yang namanya nulis artikel atopun cerpen. Salah satu cerpenku yang nggak bagus-bagus amat, Februari kemarin kebetulan dimuat di TABIR, buletin siswa di sekolahku.
Cerpen yang kumuat emang sedikit kontoversial sich, eh salah konvensional. Nyeritain cinta lokasi seorang aktivis dakwah. Emang kebetulan aku ikut gabung dengan FOKIS (Forum Kajian Islam), mungkin di sekolah lain namanya Rohis. Dah pada ngira belum apa isi cerpenku? Yupz, tepat sekali bangetz. Nggak usah dibahas yah! Pasti dah pada tahu.
Kembali ke… kisah.
Ternyata kedekatanku dengan Fisa ditanggapi miring oleh anak-anak FOKIS. Dikiranya aku menghalalkan TTM, HTS ataupun Pacaran lewat cerpen yang aku buat itu. Jujur, sama sekali aku nggak ada maksud kaya gitu. Emang bener aku kagum sama Fisa, tetapi nggak lebih. Lewat cerpen itu mungkin tersirat hal itu. Emang salah sich, perasaan kok dibawa-bawa.
Sampai akhirnya…
“Assalamu’alaikum Akh, ini ada titipan dari sahabat-sahabat!” sapa Zahra, anggota FOKIS Nisaa’ sambil menyodorkan sebuah amplop paperline sinar dunia.
“Walaikumsalam. Ngapunten, ini apa mbak? Buat saya ato yang lain?”
“Buat Akhi sendiri. Tolong akhi renungkan ya!”
“Syukran! Insya Allah!”jawabku lirih penuh tanda tanya.
Dalam benakkku masih tersibak kegelisahan, segitu pentingnya masalah sampai-sampai aku dapet surat dari FOKIS Nisaa’. “Isinya apa ya? Kelihatannya penting banget? Mungkin ada hubungannya dengan Fisa ato cerpenku itu kali ya?” tanyaku dalam hati. Entahlah…
…Kami harap Akhi datang ke kelas X.7 sepulang sekolah. Ajak salah seorang teman…
Kubaca bagian akhir surat itu, langsung saja. Kucari Hamzah, ketua FOKIS buat nemenin aku ketemu sahabat-sahabat FOKIS Nisaa’.
Selanjutnya…
Kulihat semua anggota FOKIS Nisaa’ sudah berkumpul lengkap termasuk Fisa. Aku jadi makin takut dan gelisah. Kelihatannya aku mau disidang. Entah kasus apa dan yang mana.
“Assalamu’alaikum.” FOKIS Nisaa’ memulai.
“Walaikumsalam.”jawabku
“Langsung saja. Maksud kami mengundang akhi datang kemari adalah untuk meminta penjelasan akhi tentang beberapa hal, pertama maksud dari cerpen yang antum buat, kedua tentang sikap akhi terhadap Fisa. Kami tahu akhi termasuk orang penting di FOKIS ini, tetapi kenapa antum berbuat seperti itu? Bukankah akhi sangat anti dengan VSA, tetapi kenapa akhi melakukannya? Akhi juga menjalin hubungan dengan salah seorang anggota FOKIS Nisaa’, maksud kami Fisa? Akhwat itu hatinya sangat sensitif akh. Lebih baik akhi lupakan Fisa dan jangan dekati Fisa lagi. Sekali lagi kami tanya, maksud akhi itu apa? Jangan munafik akh! Akhi itu FOKIS, harus memberi teladan yang baik kepada teman yang lain.” Ultimatum tanya memberondongku.
Aku hanya tertunduk mendengar rentetan tanya yang terus menyerbu. Aku merasa seperti terdakwa yang siap dieksekusi. Tapi akhirnya, akupun berusaha menjawab.
“Ngapunten sebelumnya. Jujur, saya memang merasa bersalah atas kekurangan dalam cerpen yang saya buat. Sama sekali saya tidak bermaksud menjelek-jelekkan FOKIS, menghalalkan VSA, TTM, HTS maupun Pacaran. Naudzubillahimindzalik. Tetapi sebaliknya, melalui cerpen itu saya ingin berbagi tentang bahaya VSA, walaupun hanya tersirat. Saya minta maaf sekali karena mungkin cerepn itu sedikit banyak telah menceritakan Fisa. Hubungan saya dengan Fisa hanya saya anggap sahabat, nggak lebih. Jujur, saya memang suka dengan Fisa. Tetapi saya tidak pernah yang namanya jalan berdua, bersentuhan, berpandang-pandangan ataupun yang lazimnya dilakukan orang yang berpacaran. Terserah kalau sahabat-sahabat Nisaa’ menganggap saya munafik, tetapi tolong antum lihat anggota antum sendiri, yang notabene jelas-jelas berpacaran sahabat biarkan saja. Bahkan dia adalah seorang koordinator dakwah. Adilkah ini buat saya? Tolong sahabat pikirkan!” aku berusaha menjawab.
FOKIS Nisaa’ diam sejenak. Terlihat berpikir sesuatu. Akupun melanjutkan.
“Afwan, disini saya tidak bermaksud membela diri. Saya mengaku salah terlalu dekat dengan Fisa. Memang saya kadang-kadang SMS-an dengan Fisa, tetapi SMS-nya saya rasa wajar saja. Nggak ada unsur yang gimana-gimana. Kalo boleh jujur, memang SMS Fisa bisa membuat saya lebih bersemangat. Seandainya saya harus menjauhi Fisa, akan saya lakukan semampu saya. Mbak Fisa, ngapunten nggih. Gara-gara saya, njenengan ikut kebawa-bawa.”
FOKIS Nisaa’ tak bergeming. Mungkin menyediakan meriam penghancur bagiku. Enggan menunggu lama lagi. Aku melanjutkan.
“Saya rasa hanya itu yang bisa saya sampaikan. Sekali lagi maaf atas segala kekhilafan. Semoga ALLAH menerima taubat saya dan memberikan ampunanNYA. Saya kira sudah cukup, saya masih ada keperluan lain. Assalamu’alaikum.”aku mengakhiri dan bergegas meninggalkan ruangan dengan hati sedikit lega namun harus siap menerima kenyataan. “Sampai jumpa pelangi, sampai jumpa Fisa!”ujarku dalam hati.
Hari-hariku kulewati begitu hambar, nggak berwarna seperti dulu. Setiap kali bertemu Fisa, hanya rasa bersalah yang muncul. Apalagi bertemu FOKIS Nisaa’, aku tak punya keberanian. Fisa yang sudah aku anggap sebagai pelangi sudah jauh pergi. Sulit dan benar-benar sulit, menghapus ingatanku tentang sosok Fisa. “Pelangi, kapan kau kembali?”lirihku dalam hati.
***
Suatu hari…
Pasti sudah bosen, tapi hidupku emang penuh dengan kebetulan.
Aku dapet kesempatan ikut Seminar, kali ini di Kotane Habiburrahman el Shirazy (maksude Semarang-pen). Disini aku dapet kenalan baru, anak Wonogiri juga. Jangan kaget ya! Namanya Fisa juga, tepatnya Nafisa Lidya Untari. “Dunia ini apa memang sempit ya? Sekali dapet kenalan baru namanya kok sama banget? Takdir kali ye?” tanyaku dalam hati sedikit nggak percaya.
Fisa yang satu ini mirip banget sama Fisa yang dulu. Sama-sama aktivis, cantik dan pastinya pinter. Orangnya juga ramah en murah senyum, enak diajak ngobrol pula. Tapi aku sedikit takut kalo ngobrol sama dia, nggak tahu kenapa, mungkin trauma kali ya? Walau baru mengenalnya plus sekolahnya juga beda, aku ngerasa sudah begitu mengenalnya. Ngobrolnya pun juga nyambung. Takdir atau kebetulan? Nggak usah dipikir.
“Ya Allah, apakah Fisa pelangi lagi yang kau kirimkan untuk mewarnai sepinya hariku? Pelangi, kapan kau kembali???” rintihku dalam hati. Sampai akhirnya kutertidur lagi, tertidur ditemani sepotong lagu, yang membawaku tidur semakin dalam, dan terus semakin dalam…
Mungkin, ini memang jalan takdirku, mengagumi tanpa dicintai… Tak mengapa bagiku asal kau bahagia dalam hidupmu, dengan hidupmu… Telah lama kupendam perasaan itu, menunggu hatimu menyambut diriku… Tak mengapa bagiku, cintaimu pun adalah bahagia untukku, bahagia untukku… KUINGIN KAU TAHU, DIRIKU DISINI MENANTI DIRIMU, MESKI KUTUNGGU HINGGA UJUNG WAKTUKU… (Cinta Dalam Hati-Ungu).