Dalam beberapa tahun terakhir paska revolusi rakyat Mesir, Cairo dan beberapa kota besar lainnya di negeri seribu menara tersebut, kerap dilanda demo besar, yang diiringi dengan berbagai aksi anarkhis. Baik dilakukan oleh para demostran sendiri, maupun pasukan keamanan setempat, sehingga menyebabkan banyaknya jatuh korban jiwa di kedua belah pihak.
Namun apa jadinya jika unjuk rasa tersebut beralih ke dalam komplek KBRI Cairo, dimana seluruh aktifitas kenegaraan Republik Indonesia di Mesir berada di dalamnya, pasti alur ceritanya pun akan lain, dengan unjuk rasa yang digelar oleh masyarakat Mesir umumnya.
Sebagai negara hukum dan demokrasi, aksi publik dalam menyampaikan pendapatnya, dilindungi oleh undang-undang negara RI, selama tidak diikuti dengan aksi anarkhis lainnya yang dapat mengancam ketertiban umum.
Aksi damai yang dilakukan oleh ratusan Masisir (masyarakat Indonesia di Mesir), adalah gambaran nyata dari penerapan undang-undang tersebut. Bahkan dalam sejarah KBRI Cairo sendiri, aksi unjuk rasa tanggal 26/7/2015 kemaren yang terjadi dalam komplek KBRI Cairo, adalah yang pertama kali dalam sejarah, sejak terjalinnya hubungan diplomatik antara Indonesia dan Mesir yaitu 69 tahun yang lalu.
Memburuknya hubungan antara Masisir yang didominasi oleh mahasiswa tersebut, dengan pejabat Atase Pendidikan (Atdik) KBRI Cairo, nampaknya sudah menjadi rahasia umum. Konon hal itu dipicu oleh berbagai kebijakan Atdik KBRI Cairo yang tidak bersahabat dengan sikon Masisir di Mesir. Salah satunya adalah, sejak dua tahun terakhir ini KBRI Cairo dalam hal ini Atdik, sudah tidak memfasilitasikan lagi acara tahunan Shalat Eid dan halal bi halal bersama para Masisir, dengan alasan minimnya dana dari pusat untuk kegiatan tersebut, serta alasan yang tidak logis lainnya.
Situasi panas ini semakin diperparah dengan diutak-atiknya sistem perekrutan tenaga musiman haji (temus) khusus masisir, yang sebelumnya dibagi rata berdasarkan kekeluargaan dan elemen masyarakat Indonesia di Mesir. Dimana teknis tersebut kini malah dilakukan secara terbuka lewat ujian yang rentan dengan berbakai praktik KKN, tanpa adanya musyawarah dan sosialisasi luas dikalangan Masisir sebelumnya. Belum lagi berbagai masalah krusial lainnya menyangkut permasalahan kenyamanan proses study para Masisir di negeri kinanah tersebut.
Perlu diketahui, bekerja sebagai tenaga musiman haji di Arab Saudi, adalah salah satu harapan Masisir, disamping mendapat kesempatan melaksanakan ibadah haji secara gratis, juga sebagai upaya mendapatkan biaya tambahan guna menopang dana study mereka selama di Mesir.
Unjuk rasa damai yang dilakukan oleh berbagai elemen mahasiswa Indonesia di Mesir pada tanggal 27/7/2015 kemaren, bertujuan untuk menurunkan pejabat Atdik KBRI Cairo yaitu Dr. Fahmi Lukman, M.Hum yang menurut para Masisir telah gagal menjalankan amanat jabatannya sebagai Atdik di Mesir. Berbagai upaya mediasi telah dilakukan sebelumnya untuk mendinginkan suasana, namun titik temu tetap tidak tercapai.
Rencananya, para Masisir akan terus berkonsentrasi di pelataran KBRI Cairo hingga pejabat Atdik KBRI Cairo bersedia menandatangani surat pengunduran dirinya. Namun, setelah mendapat konfirmasi dari Dubes RI Cairo Nurfaizi, yang akan membuka dialog dengan para Masisir pada Selasa 28/7/2015, dimana saat unjuk rasa terjadi beliau sedang tidak berada di tempat, maka para Masisir pun melunak. Selanjutnya, sedikit demi sedikit mereka mulai membubarkan diri, serta kembali ke rumah-masing-masing.
Semoga pemerintah pusat cepat menanggapi permasalahan ini dan tidak berlarut-larut. Sehingga anak bangsa pun dapat menuntut ilmu dengan tenang di negeri para nabi tersebut, serta cepat kembali ke tanah air untuk membangun bangsa yang besar ini.