Raja Gowa XVI, I Mallombasi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin, digelari “Haaantjes van het Oosten” yang berarti “Ayam Jantan dari Timur”. Lambang Universitas Hasanuddin pun adalah gambar ayam. Hal ini membuat saya sering bertanya sendiri, mengapa dilambangkan dengan hewan ayam? mengapa bukan singa, harimau, singa, gajah, atau burung garuda yang secara simbolis jauh lebih "jantan" dari seekor ayam? Teringat kata teman saya, kalau orang "barat" mengolok-olok orang lain, akan memanggil dengan sebutan "chicken" atau "chick" saja. Mungkin, sebagai perumpamaan saja kalau "barang" (alat kelamin pria) orang yang di olok kemampuannya hanyalah seperti ayam, bukan elang atau bahkan singa. Sehingga (di Barat sana), kata-kata "you chicken" sebenarnya untuk menyatakan orang yang diolok adalah seorang yang lemah, bahkan pengecut. Saya membatin, jangan sampai orang Belanda sebenarnya tidak memuji, namun sebaliknya mengolok-olok Sultan Hasanuddin.
Namun, setelah membaca ulasan yang lengkap soal ayam dari M. Farid W.Makkulau (budayawan, penulis), saya sedikit tercerahkan dan membuang jauh-jauh (untuk sementara) persoalan ayam sebagai "umpatan" atau "pujian".
Kata, Manu’ (Bugis) atau Jangang (Makassar) yang berarti ayam, merupakan kata yang sangat lekat dalam kehidupan masyarakat Bugis Makassar. Menurut orang Bugis - Makassar, ayam adalah simbol kejantanan. Ayam merupakan hewan simbolis sekaligus pertaruhan gengsi laki-laki. Mungkin jika diambilkan perumpamaan, sekarang ini tidak disebut seseorang itu laki-laki jika tidak menggemari bola dan kalau dahulu, tidak disebut seseorang itu laki-laki jika tidak menggemari sabung ayam. Hanya saja, kini terjadi pergeseran cara pandang, apa-apa dijudikan. Sabung ayam dijudikan, Sepak bola dijudikan. Padahal dulunya, sabung ayam malah menjadi tontonan yang sangat menarik, termasuk para bangsawan dan raja.
Masyarakat Bugis Makassar selain menjadikan ayam sebagai ternak peliharaan juga menjadikannya sebagai hewan aduan. Karena keakraban dengan ayam ini dengan senantiasa memperhatikan tanda-tanda fisik, bulu dan bunyi kokoknya, orang Bugis Makassar pun memiliki kepercayaan, firasat, alamat atau pertanda dari ayam ini.
Dalam kitab La Galigo diceritakan bahwa tokoh utama dalam epik mitik itu, Sawerigading, kesukaannya menyabung ayam. Dahulu, orang tidak disebut pemberani jika tidak memiliki kebiasaan minum arak (angnginung ballo), judi (abbotoro’), dan adu ayam (massaung manu’), dan untuk menyatakan keberanian orang itu, biasanya dibandingkan atau diasosiasikan dengan ayam jantan paling berani di kampungnya (di negerinya). Bahkan, awal konflik dan perang antara dua negara adikuasa, penguasa semenanjung barat dan timur jazirah Sulawesi Selatan, Kerajaan Gowa dan Bone diawali dengan “Massaung Manu”. (Manu Bakkana Bone Vs Jangang Ejana Gowa).
Kisahnya seperti ini.
Pada tahun 1562, Raja Gowa X, I Mariogau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipalangga Ulaweng (1548 – 1565) mengadakan kunjungan resmi ke Kerajaan Bone dan disambut sebagai tamu negara. Kedatangan tamu negara tersebut dimeriahkan dengan acara ’massaung manu’ (Sabung Ayam = Adu Ayam). Oleh Raja Gowa, Daeng Bonto mengajak Raja Bone La Tenrirawe Bongkange’ bertaruh dalam sabung ayam tersebut. Taruhan Raja Gowa adalah 100 katie emas, sedang Raja Bone sendiri mempertaruhkan segenap orang Panyula (satu kampung). Sabung ayam antara dua raja penguasa semenanjung timur dan barat ini bukanlah sabung ayam biasa, melainkan pertandingan kesaktian dan kharisma. Alhasil, Ayam sabungan Gowa yang berwarna merah (Jangang Ejana Gowa) mati terbunuh oleh ayam sabungan Bone (Manu Bakkana Bone).
Kematian ayam sabungan Raja Gowa merupakan fenomena kekalahan kesaktian dan kharisma Raja Gowa oleh Raja Bone, sehingga Raja Gowa Daeng Bonto merasa terpukul dan malu. Tragedi ini dipandang sebagai peristiwa siri’ oleh Kerajaan Gowa. Di lain pihak, kemenangan Manu Bakkana Bone menempatkan Kerajaan Bone dalam posisi psikologis yang kuat terhadap kerajaan-kerajaan kecil yang terletak di sekitarnya. Dampak positifnya, tidak lama sesudah peristiwa sabung ayam tersebut serta merta kerajaan-kerajaan kecil di sekitar Kerajaan Bone menyatakan diri bergabung dengan atau tanpa tekanan militer, seperti Ajang Ale, Awo, Teko, serta negeri Tellu Limpoe.
Peristiwa itu menunjukkan betapa besar pengaruh psikologis ’Massaung Manu’ tersebut sehingga menjadi pangkal konflik dan perang Bone Vs Gowa. Bergabungnya Tellu Limpoe menjadi wanua palili Bone yang sebelumnya berstatus wanua palili Kerajaan Gowa dijadikan dalih oleh Gowa melancarkan serangan militer pertama ke Bone dalam tahun 1562. Tahun berikutnya, serangan militer kedua menyusul dengan jumlah pasukan yang lebih besar, Serangan militer ketiga dan keempat dilancarkan lagi dalam tahun 1565. Raja Gowa XI, I Tajibarani Daeng Marumpa Karaeng Data Tunibata yang hanya naik takhta selama 20 hari ini tewas dalam peperangan ini. Dalam setiap serangan militer Gowa ke Bone, Gowa tidak pernah menaklukkan betul Bone sehingga selalu diakhiri dengan perjanjian Perdamaian, namun Gowa selalu mengingkari perjanjian itu dan tetap menunggu kesempatan yang baik untuk menaklukkan Bone. Dalam tahun 1575, dilancarkanlah serangan militer kelima sampai akhirnya Bone benar-benar dikalahkan dan ditaklukkan dimasa pemerintahan Raja Gowa I Mangerangi Daeng Manrabia Sultan Alauddin Tumenanga ri Gaukanna dalam tahun 1611.
Sejarah konflik dan Perang Gowa Vs Bone ini menarik dicermati karena diakhir penaklukan Bone oleh Gowa, alasan perang yang dipakai Sultan Alauddin adalah alasan ”Bundu Kasallangan” atau ”Musu Sellenge”, yaitu memerangi suatu kerajaan supaya masuk Islam. Sementara dalam istana Bone, beranggapan bahwa apa yang dilakukan oleh Gowa merupakan satu pelanggaran kedaulatan negara atas negara lain sehingga setiap peperangan harus dibalas dengan peperangan. Di belakang hari, sebab inilah yang memicu kebangkitan semangat Arung Palakka untuk memerdekan Bone (Negeri Bugis) atas "penjajahan Gowa", terlebih lagi setelah pengerahan sekitar 40.000 tenaga kerja paksa orang Bone – Soppeng membangun benteng-benteng Makassar.
Namun, setelah membaca ulasan yang lengkap soal ayam dari M. Farid W.Makkulau (budayawan, penulis), saya sedikit tercerahkan dan membuang jauh-jauh (untuk sementara) persoalan ayam sebagai "umpatan" atau "pujian".
Kata, Manu’ (Bugis) atau Jangang (Makassar) yang berarti ayam, merupakan kata yang sangat lekat dalam kehidupan masyarakat Bugis Makassar. Menurut orang Bugis - Makassar, ayam adalah simbol kejantanan. Ayam merupakan hewan simbolis sekaligus pertaruhan gengsi laki-laki. Mungkin jika diambilkan perumpamaan, sekarang ini tidak disebut seseorang itu laki-laki jika tidak menggemari bola dan kalau dahulu, tidak disebut seseorang itu laki-laki jika tidak menggemari sabung ayam. Hanya saja, kini terjadi pergeseran cara pandang, apa-apa dijudikan. Sabung ayam dijudikan, Sepak bola dijudikan. Padahal dulunya, sabung ayam malah menjadi tontonan yang sangat menarik, termasuk para bangsawan dan raja.
Masyarakat Bugis Makassar selain menjadikan ayam sebagai ternak peliharaan juga menjadikannya sebagai hewan aduan. Karena keakraban dengan ayam ini dengan senantiasa memperhatikan tanda-tanda fisik, bulu dan bunyi kokoknya, orang Bugis Makassar pun memiliki kepercayaan, firasat, alamat atau pertanda dari ayam ini.
Dalam kitab La Galigo diceritakan bahwa tokoh utama dalam epik mitik itu, Sawerigading, kesukaannya menyabung ayam. Dahulu, orang tidak disebut pemberani jika tidak memiliki kebiasaan minum arak (angnginung ballo), judi (abbotoro’), dan adu ayam (massaung manu’), dan untuk menyatakan keberanian orang itu, biasanya dibandingkan atau diasosiasikan dengan ayam jantan paling berani di kampungnya (di negerinya). Bahkan, awal konflik dan perang antara dua negara adikuasa, penguasa semenanjung barat dan timur jazirah Sulawesi Selatan, Kerajaan Gowa dan Bone diawali dengan “Massaung Manu”. (Manu Bakkana Bone Vs Jangang Ejana Gowa).
Kisahnya seperti ini.
Pada tahun 1562, Raja Gowa X, I Mariogau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipalangga Ulaweng (1548 – 1565) mengadakan kunjungan resmi ke Kerajaan Bone dan disambut sebagai tamu negara. Kedatangan tamu negara tersebut dimeriahkan dengan acara ’massaung manu’ (Sabung Ayam = Adu Ayam). Oleh Raja Gowa, Daeng Bonto mengajak Raja Bone La Tenrirawe Bongkange’ bertaruh dalam sabung ayam tersebut. Taruhan Raja Gowa adalah 100 katie emas, sedang Raja Bone sendiri mempertaruhkan segenap orang Panyula (satu kampung). Sabung ayam antara dua raja penguasa semenanjung timur dan barat ini bukanlah sabung ayam biasa, melainkan pertandingan kesaktian dan kharisma. Alhasil, Ayam sabungan Gowa yang berwarna merah (Jangang Ejana Gowa) mati terbunuh oleh ayam sabungan Bone (Manu Bakkana Bone).
Kematian ayam sabungan Raja Gowa merupakan fenomena kekalahan kesaktian dan kharisma Raja Gowa oleh Raja Bone, sehingga Raja Gowa Daeng Bonto merasa terpukul dan malu. Tragedi ini dipandang sebagai peristiwa siri’ oleh Kerajaan Gowa. Di lain pihak, kemenangan Manu Bakkana Bone menempatkan Kerajaan Bone dalam posisi psikologis yang kuat terhadap kerajaan-kerajaan kecil yang terletak di sekitarnya. Dampak positifnya, tidak lama sesudah peristiwa sabung ayam tersebut serta merta kerajaan-kerajaan kecil di sekitar Kerajaan Bone menyatakan diri bergabung dengan atau tanpa tekanan militer, seperti Ajang Ale, Awo, Teko, serta negeri Tellu Limpoe.
Peristiwa itu menunjukkan betapa besar pengaruh psikologis ’Massaung Manu’ tersebut sehingga menjadi pangkal konflik dan perang Bone Vs Gowa. Bergabungnya Tellu Limpoe menjadi wanua palili Bone yang sebelumnya berstatus wanua palili Kerajaan Gowa dijadikan dalih oleh Gowa melancarkan serangan militer pertama ke Bone dalam tahun 1562. Tahun berikutnya, serangan militer kedua menyusul dengan jumlah pasukan yang lebih besar, Serangan militer ketiga dan keempat dilancarkan lagi dalam tahun 1565. Raja Gowa XI, I Tajibarani Daeng Marumpa Karaeng Data Tunibata yang hanya naik takhta selama 20 hari ini tewas dalam peperangan ini. Dalam setiap serangan militer Gowa ke Bone, Gowa tidak pernah menaklukkan betul Bone sehingga selalu diakhiri dengan perjanjian Perdamaian, namun Gowa selalu mengingkari perjanjian itu dan tetap menunggu kesempatan yang baik untuk menaklukkan Bone. Dalam tahun 1575, dilancarkanlah serangan militer kelima sampai akhirnya Bone benar-benar dikalahkan dan ditaklukkan dimasa pemerintahan Raja Gowa I Mangerangi Daeng Manrabia Sultan Alauddin Tumenanga ri Gaukanna dalam tahun 1611.
Sejarah konflik dan Perang Gowa Vs Bone ini menarik dicermati karena diakhir penaklukan Bone oleh Gowa, alasan perang yang dipakai Sultan Alauddin adalah alasan ”Bundu Kasallangan” atau ”Musu Sellenge”, yaitu memerangi suatu kerajaan supaya masuk Islam. Sementara dalam istana Bone, beranggapan bahwa apa yang dilakukan oleh Gowa merupakan satu pelanggaran kedaulatan negara atas negara lain sehingga setiap peperangan harus dibalas dengan peperangan. Di belakang hari, sebab inilah yang memicu kebangkitan semangat Arung Palakka untuk memerdekan Bone (Negeri Bugis) atas "penjajahan Gowa", terlebih lagi setelah pengerahan sekitar 40.000 tenaga kerja paksa orang Bone – Soppeng membangun benteng-benteng Makassar.