Sebagai negara yang kaya sumber daya alam dan memiliki populasi terbesar keempat dunia, menjadikan Indonesia senantiasa menjadi incaran negara-negara penjajah tak terkecuali AS. Intervensi AS terhadap Indonesia telah berlangsung sejak awal kemerdekaan negeri ini. Menurut catatan Timo Kivimaki (76:2003) negara tersebut telah terlibat dalam pembebasan Indonesia dari Belanda seperti pada perjanjian Renville tahun 1948. Perjanjian tersebut mampu menekan Belanda untuk keluar dari Indonesia setelah adanya ancaman dari AS untuk mengurangi bantuan ekonomi dan militernya ke Belanda. Ketergantungan Belanda pada pemerintah AS pasa saat itu memang sangat tinggi mengingat negara itu bersama sejumlah negara Eropa lainnya menghadapi masalah ekonomi akibat keterlibat mereka pada perang Dunia II.
Bahkan pada tahun 1947-1950, Departemen Luar Negeri AS menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang sangat strategis bagi kepentingan ekonomi dan politik negara itu di Asia. Setidaknya untuk tiga hal: sebagai sumber bahan baku bagi rekonstruksi Jepang yang porak-poranda akibat perang, bagian dari rencana integrasi ekonomi regional dan mencegah pengaruh komunisme di Asia. Ketika pamor PKI menguat Indonesia, AS meningkatkan kerjasamanya seperti pemberian bantuan teknis pengembangan pangan dan program bantuan dan pelatihan militer yang bertujuan mencetak perwira militer yang bervisi modern dan sejalan dengan kepentingan AS.
Di bidang pendidikan, Indonesia merupakan negara yang paling banyak mendapatkan bantuan dari AS. Antara tahun 1950-1964 saja, Ford Fondation dan Rockefeller Fondation membiayai hampir US$20 juta untuk pendidikan, pertanian, medis, bantuan teknis di AS dan Indonesia. Selain itu, lembaga tersebut juga gencar mengirim teknisi, perwira militer, ekonom, guru dan ahli pertanian Indonesia ke AS. Tujuannya sebagaimana yang dinyatakan oleh Dubes AS (1958-1965), Howard Jones, sebagai upaya untuk merubah pemikiran orang-orang Indonesia. Salah satu yang paling berhasil dari program tersebut adalah pengiriman mahasiswa ke Universtias California di Barkley, Cornell, MIT dan universitas lainnya di AS. Program ini kemudian melahirkan sejumlah teknokrat yang sangat berpengaruh dalam mejalankan kebijakan ekonomi rezim Orde Baru. Mereka antara lain: Widjojo Nitisastro, Mohammad Sadli, Subroto, Ali Wardhana dan Emil Salim.
Hubungan AS dengan pemerintah Indonesia tersebut merenggang setelah Sukarno mendeklarasikan Gerakan Non-Blok 1955 yang diikuti keberpihakannya kepada Uni Soviet dan China (Simpson, 16-17: 2008). Namun setelah Sukarno tumbang yang dilanjutkan dengan pembersihan pendukung komunisme yang didukung CIA, hubungan AS dengan pemerintah Indonesia dari Orde Baru kembali membaik. Demikian pula setelah Orde baru berakhir, kedekatan AS terhadap rezim yang berkuasa tetap berlanjut, bahkan semakin kuat dari waktu ke waktu.
Meski demikian, hubungan AS dengan Indonesia khususnya dalam bidang ekonomi, jika ditelaah bukanlah hubungan yang saling menguntungkan namun sebaliknya merugikan Indonesia. Indikasi tersebut setidaknya dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu: perdagangan, investasi, utang luar negeri dan pembuatan UU di bidang ekonomi.
a. Investasi
Setelah kejatuhan Sukarno pada tahun 1965, hubungan AS dengan Indonesia kembali harmonis. Presiden AS di masa itu, Lyndon B. Johnson misalnya meminta IMF, bank Dunia dan ADB untuk berkerjasama dengan Indonesia dalam menciptakan stabilitas ekonomi yang sesuai dengan arahan kreditor Barat dan lembaga internasional, peningkatan belanja publik dan peningkatan peran investasi swasta (Simpson, 209:2008). Beberapa bulan setelah dilantik, Presiden Suharto menghapus dekrit April 1965 tentang nasionalisasi perusahaan asing yang dibuat Sukarno. Selain itu, ia juga memberlakukan UU Investasi yang baru pada Desember 1965. Menariknya UU tersebut dibuat setelah adanya permintaan petinggi Freeport, Forbes Wilson dan Robert Duke ke Departemen Luar Negeri AS yang meminta tiga hal terkait dengan rencana investasi mereka di Indonesia: perjanjian jaminan investasi (IGA), iklim investasi yang mendukung dan adanya hak konsesi yang jelas tanpa ada production sharing (ibid., 232).
Karena saat itu belum ada regulasi tentang investasi, maka pemerintah AS menunjuk Van Sickle Associates yang berbasis di Denver untuk membantu Widjoyo Nitisastro menulis draft UU Investasi. Mirisnya, setelah selesai, draft tersebut diserahkan kepada pemerintah AS untuk dimintai persetujuan. Karena masih memberikan peran yang dominan kepada pemerintah, draft tersebut kembali direvisi hingga sejalan dengan permintaan AS untuk memaksimalkan liberalisasi (ibid., 234).
Setelah pemberlakuan UU tersebut, di Washington dilakukan pertemuan perusahaan-perusahaan besar AS untuk membantu mereka terlibat dalam pembangunan ekonomi di Indonesia. Beberapa bulan setelahnya, sejumlah perusahaan-perusahaan pertambangan AS melakukan perjalanan ke Indonesia untuk menjajaki peluang eksplorasi dan pemilikan konsensesi tambang dan sumber alam lainnya (ibid., 236). Pada tahun 2010 AS juga telah memperbaharui kerjasama investasi dengan Indonesia tahun 1967 melalui perjanjian New Overseas Private Investment Corporation (OPIC) (USAID, 2010).
Besarnya investasi langsung (FDI) AS di Indonesia dapat dilihat dari banyaknya perusahaan negara tersebut di negara ini. Dalam situs International Trade Centre, disebutkan bahwa saat ini terdapat 277 perusahaan yang berbasis di AS(parent company) yang melakukan investasi langsung di Indonesia. Perusahaan-perusahaan tersebut tersebar di berbagai sektor. Di sektor migas misalnya ada Cevron, Conocophillips, Exxon Mobile, Halliburton dan Murphy Oil. Tiga perusahaan pertama pada 2009 menguasai 52 persen pengelolaan minyak di Indonesia. Di sektor pertambangan adaNewmont Mining dan Freeport-Mcmoran. Di sektor pertanian dan peternakan ada Monsanto, Dupon dan Chargill. Di sektor perbankan dan investasi ada Citigroup dan JP Morgan. Di bidang perhotelan ada Hyat Group dan Mariot (Ritzl Carlton dan JW Mariot). Di bidang farmasi ada: Pfizer, Abbot, Procter & Gamble dan sejumlah perusahaan multinasional lainnya seperti: Philips Morris, Kraft, dan Cocacola.
Sementara itu di pasar modal, sekitar 60% saham yang diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia dimiliki oleh investor asing. Dari total investor asing yang tercatat, selain dari investor yang tidak teridentifikasi asal negaranya (74%), pemodal asal AS merupakan investor terbanyak (9%) disusul Inggris (2,7%) Luxemburg (2,5%), Jepang (2%) dan Kanada (2%) (Depkeu: 2008).
Sebagai tambahan, berdasarkan data Biro Analisa Ekonomi AS (BEA) pada tahun 2008, nilai aset dari 165 perusahaan AS yang berinvestasi di Indonesisa mencapai US$ 54 miliar dengan net income sebesar US$8,4 miliar. Aset tersebut lebih dari seperempat dari total aset pemerintah yang mencapai Rp2,072 triliun di tahun yang sama. Meski mereka adalah perusahaan swasta, namun semakin besar keuntungan yang mereka peroleh, maka pendapatan pajak pemerintah AS, yang menjadi tumpuan pendapatan negara, pun akan semakin besar.
Oleh karena itu, tidak mengherenkan jika pemerintah AS sangat getol menuntut negara-negara lain meliberalisasi kran investastinya termasuk di Indonesia. Namun demikian, dengan liberalisasi investasi, kekayaan alam alam Indonesia yang semestinya dimanfatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyatnya justru semakin dikuasai oleh investor asing termasuk diantaranya perusahaan-perusahaan AS. Rakyat Indonesia hanya mendapatkan serpihan-serpihannya berupa pajak dan royalti yang jumlahnya sangat minim.
b.Perdagangan
Dari sisi perdagangan nilai ekspor Indonesia ke AS pada tahun 2010 sebesar US$ 14 miliar atau sembilan persen dari total ekspornya dan menjadi tujuan ekspor ke-4 seteleh China, Singapura dan Jepang. Sementara impor Indonesia sebesar US$9,4 miliar (7%) atau surplus US$5 miliar. Ekspor utama Indonesia ke AS antara lain karet, minyak bumi, garmen dan sepatu. Sementara itu impor Indonesia didominasi pesawat dan suku cadangnya dan komoditas pertanian: kedelai, kapas dan gandum.
Dengan nilai ekspor hanya satu persen dari total ekspor negara tersebut, Indonesia bukanlah pangsa pasar utama ekspor AS. Namun demikian, Indonesia tetap dipandang sebagai pasar yang sangat menjanjikan bagi produk-produk AS. Dari sisi ekspor, AS melalui National Export Initiative (NEI) telah menempatkan Indonesia sebagai salah satu dari tujuh pasar potensial produk-produk AS selain Vietnam, India, China, Taiwan dan Thailand (USAID, 2010). Perluasan pasar tersebut diperlukan negara tersebut untuk melakukan diversifikasi pasar dan meningkatkan penjualan produk-produk AS terutama saat ini dimana permintaan dalam negeri melemah akibat krisis. Sebagai negara dengan penduduk terbesar keempat dunia, Indonesia tentu saja ini merupakan potensi pasar yang sangat empuk.
Selain itu, untuk meningkatkan ekspor AS ke Indonesia, beberapa bank Indonesia juga mendapat fasilitas kredit impor dari AS sehingga memudahkan bagi importir Indonesia membeli produk-produk AS. Bukan itu saja, untuk memperkuat penetrasi produk AS di Indonesia, AS terus berupaya melakukan liberalisasi sektor perdagangan Indonesia. Pada tahun 1997 dalam laporannya kepada konggres AS, USAID menyatakan:
“Kemajuan yang mengesankan juga dicapai di bidang reformasi kebijakan perdagangan. Indonesia sepenuhnya memenuhi semua kewajiban Putaran Uruguay nya, dan pada bulan April, menjadi anggota WTO. Pada bulan Mei 1995, pemerintah menunjukkan komitmennya untuk WTO dan APEC dengan mengumumkan paket liberalisasiperdagangan yang paling signifikan hingga saat ini. Reformasi ini mengurangi tarif di seluruh lini yang mencakupsekitar dua-pertiga dari semua item tarif. Selanjutnya, pemerintah berkomitmen untuk mengurangi tarif hingga 5% pada tahun 2003. Penasihat kebijakan perdagangan AS berperan dalam membantu memajukan reformasi kunci dan dalam memperkuat kapasitas mitra mereka untuk menganalisis, merumuskan, dan melaksanakan kebijakan perdagangan yang berorientasi pasar.” (USAID, 1997)
Dampak dari liberalisasi di sektor perdagangan tersebut sangat kasat mata. Impor komoditas pertanian seperti beras, kapas, ikan, buah-buahan yang sebenarnya dapat diproduksi secara melimpah di negeri ini, setiap tahun terus mengalami peningkatan. Hal yang sama juga berlaku pada sektor manufaktur. Produk-produk tekstil, alas kaki dan elektronik dan mainan anak misalnya, yang dulu merupakan andalan produksi Indonesia, pangsa pasar domestiknya kini terus menciut karena kalah bersaing dengan produk-produk impor. Imbas dari semua itu, sektor pernian dan perindustrian perlahan mengalami degradasi yang pada akhirnya mengurangi penyerapan tenaga kerja di sektor tersebut. Pengangguran meningkat dan kesejahtreaan mereka semakin menurun.
b. Utang Luar Negeri
Sementara itu, dari sisi utang luar negeri ketergantungan Indonesia pada AS juga cukup tinggi. Lebih dari itu, AS juga secara tidak langsung memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap lembaga multilateral seperti Bank Dunia yang giat memberikan pinjaman ke Indonesia.
Pada masa Orde Baru, AS banyak campur tangan dalam mendesain pembangunan Indonesia yang berbasis utang. Di awal pemerintahannya, presiden Suharto mewarisi utang pemerintahan sebelumnya yang mencapai US$530 miliar (70% GDP). Selain itu, membengkaknya kebutuhan untuk membiayai pembangunan di saat pendapatan dalam negeri masih minim, Suharto bersama tim ekonominya yang sama-sama merupakan didikan AS, menjadikan utang sebagai sumber utama pembiayaannya.
AS merupakan negara yang memprakarsai pembentukan International Governance for Governor of Indonesia (IGGI) yang bersulih nama menjadi CGI pada 1992. Forum tersebut beranggotakan sejumlah negara dan lembaga donor seperti: Bank Dunia, IMF, ADB, UNDP, Australia, Belgia, Inggris, Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Selandia Baru, Swiss dan AS. Fungsi dari forum tersebut adalah untuk mengkoordinasikan pemberian utang kepada Indonesia agar digunakan secara efektif.
Namun dalam perkembangannya, forum tersebut justru membuat ketergantungan Indonesia terhadap utang luar negeri semakin besar. Jika pada tahun 1970 utang Indonesia hanya Rp 2,9 maka tahun 1980 angkanya melonjak menjadi Rp24 triliun atau naik delapan kali lipat (Sachs, 118:1989). Pada tahun 2003 CGI memang dibubarkan. Namun ketergantungan Indonesia terhadap utang termasuk kepada AS tetap saja tinggi. Pada tahun 2011, AS merupakan negara donor terbesar ketiga setelah setelah lembaga-lembaga multinasional (Bank Dunia, ADB, dll) dan Jepang, dengan nilai US$ 25 miliar. Utang tersebut yang mencakup pemerintah (US$20 miliar) dan swasta (5 miliar) (Depkeu, 2011).
Selain mendapatkan bunga, dan mendiktekan kepentingannya melalui syarat-syarat mengikat, AS juga mendapatkan berbagai keuntungan lainnya dari utang-utang tersebut. Studi Bappenas (2004) menujukkan bahwa bahwa 75 persen dari utang luar negeri yang diterima Indonesia justru kembali ke negara donor dalam bentuk pembelian barang (dari negara kreditur) ataupun jasa termasuk diantaranya jasa konsultan. Hal yang sama juga berlaku bagi AS. Sebagai contoh, pada proyek pembangunan 10 ribu MW yang dicanangkan pemerintah, pemerintah AS melalui USTDA’s Geothermal Development Initiative, ikut memberikan bantuan pembangunan goetermal 300MW di Jawa Barat dan 370MW di Halmahera. Agen Perdagangan dan Pembangunan AS (USTDA) memperkirakan bahwa proyek tersebut selain dapat meningkatkan ekspor peralatan dari AS juga mampu menyerap tenaga kerja dari negara tersebut dengan nilai $433 juta atau sekitar Rp 4 triliun (USAID, 2010).
Besarnya ketergantungan pada utang, membuat 20-30% porsi APBN dari dulu hingga sekarang, terbuang hanya untuk membayar utang dan bunganya. Akibatnya belanja pemerintah untuk kegiatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat tidak optimal. Celakanya, negara dan lembaga donor termasuk di dalamnya AS, selalu mendorong pemerintah untuk mengurangi belanja subsidi dan bantuan sosial dengan alasan demi efisiensi. Namun di saat yang sama mereka terus menjejali pemerintah dengan utang beserta syarat-syaratnya yang merugikan Indonesia.
c. Regulasi
Pemerintah AS melalui US Agency for International Development (USAID) juga berperan aktif dalam mengintervensi pembuatan hingga implementasi regulasi di pemerintahan. Di bidang ekonomi USAID sendiri memiliki dua agenda yaitu memajukan proses liberalisasi yang berkelanjutan pada investasi dan perdagangan internasional serta memperkuat kompetisi di pasar domestik untuk keuntungan Indonesia dan AS (ELIPS, 1998).
Dalam pembuatan UU misalnya, keterlibatan lembaga tersebut termaktub jelas dalam dokumen-dokumen yang dipublikasikan oleh USAID. UU yang lahir dari campur tangan lembaga tersebut antara lain: UU Pasar Modal, UU Perseroan Terbatas, UU Penanaman Modal, UU Otonomi Daerah, UU Kelistrikan, UU Migas, UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Perlindungan Konsumen, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan UU Hak Atas Kekayaan Intelektual (Hak Cipta, Paten, Merek).
Bukan itu saja, lembaga tersebut juga terlibat dalam mengimplementasikan berbagai regulasi tersebut termasuk membidani lahirnya sejumlah institusi seperti: PPATK dan KPPU. Dalam membantu merencanakan, mengimplementasikan dan mensosialisasikan kebijakan-kebijakan Pemerintah Indonesia khususnya dalam bidang ekonomi, USAID secara aktif bekerjasama dengan kementerian terkait, lembaga legislatif baik pusat maupun daerah, institusi pendidikan hingga lembaga-lembaga non pemerintahan. Dalam programnya yang bertajuk: Recovery of Economic and Financial Systems (USAID, 2001), USAID menyatakan:
“USAID and the Department of Treasury will provide long-term technical experts that will assist the GOI develop and implement budget, fiscal, monetary, exchange rate, and trade policy and laws. Technical assistance will also be provided to analyze and review pricing/subsidy reforms that are necessary to help the GOI reduce or eliminate budget deficits.” (USAID dan Departemen Keuangan dalam jangka panjang akan menyiapkan tenaga ahli teknis yang akan membantu Pemerintah Indonesia mengembangkan dan melaksanakan anggaran, fiskal, moneter, nilai tukar, kebijakan perdagangan dan hukum. Bantuan teknis juga akan diberikan untuk menganalisis dan meninjau perubahan harga/subsidi yang diperlukan untuk membantu Pemerintah mengurangi atau menghilangkan defisit anggaran).
Penutup
Inilah beberapa bukti nyata intervensi AS dengan ideologi kapitalismenya pada perekonomian Indonesia. Amat jelas keterlibatan tersebut hanya memberikan keuntungan bagi negara tersebut. Sementara bagi rakyat Indonesia tidak ada yang diperoleh kecuali penderitaan. Angka kemiskinan dan pengangguran yang tinggi, kesenjangan pendapatan yang semakin lebar, utang pemerintah yang terus menggunung, biaya hidup yang mahal, komersialisasi sarana publik seperti pendidikan, kesehatan, ketergantungan pada barang-barang impor merupakan sebagian masalah yang terus menggelayuti negeri ini.
Jelaslah masalah tersebut tentu tidak akan terselesaikan selama sistem Kapitalisme yang didiktekan AS dan dipelihara oleh sekutunya di negeri ini tidak dihapuskan. Sebagai gantinya, saatnya Indonesia kembali kepada sistem Khilafah Islamiyyah, sistem yang bersumber dari Allah swt, satu-satunya pencipta dan pembuat hukum yang sempurna. Wallahu a’lam bisshawab.(MI)