Negeri kita terjajah! Itulah kalimat yang pas untuk menggambarkan kesulitan demi kesulitan yang tampaknya akan terus menggelayuti rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim. Betapa tidak, di tengah penderitaan akibat penjajahan ekonomi dan politik, kini rakyat harus menanggung beban baru akibat penjajahan yang dilancarkan melalui dunia pendidikan dari tingkat dasar hingga Perguruan Tinggi.
Penjajahan dalam Perguruan Tinggi (PT), dilakukan secara sistematis dan terencana oleh kaum kafir imperialis melalui komprador-kompradornya di negeri tercinta ini. Penjajahan melalui PT dilakukan dengan dua hal: 1) penerapan paradigma sekular-materialistik yang berimplikasi pada penerapan point selanjutnya, yakni, 2) penerapan kebijakan pemerintah dalam pengelolaan perguruan tinggi yang neoliberalistik-kapitalistik.
Diakui atau tidak, paradigma pendidikan nasional saat ini adalah sekular-materialistik. Hal ini terlihat antara lain pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI, pasal 15 yang memisahkan pendidikan agama dan pendidikan umum. Sistem pendidikan dikotomis semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia salih berkepribadian Islam sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan zaman melalui penguasaan sains dan teknologi.
Mengenai Kebijakan pemerintah, melalui pembuatan UU Sisdiknas atau RUU Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN) dan sekarang sedang sedang digodog RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP), cengkeraman penjajah neoliberalisme-kapitalisme di perguruan tinggi semakin kuat. Konsep BHP dan BHMN diilhami oleh semangat mengembalikan dan melindungi fungsi institusi pendidikan sebagai alat untuk mentransformasikan nilai-nilai kemasyarakatan dan membebaskan pendidikan dari hegemoni kekuasaan, dan pendidikan harus dikembalikan kepada masyarakat dan dilaksanakan dari, oleh dan untuk masyarakat. Di balik itu, sesungguhnya terdapat upaya terselebung untuk memasukan nilai-nilai liberalisme dan kapitalisme dalam dunia pendidikan.
Liberalisme pendidikan tergambar dari upaya melepaskan tanggung jawab negara dalam pengelolaan kurikulum dan nilai-nilai pendidikan. Pengelolaan ini sepenuhnya diserahkan kepada nilai-nilai masyarakat bahkan nilai-nilai asing, sehingga hal ini membuka intervensi asing dalam upaya penghancuran akidah dan kepercayaan bangsa yang sebagian besar muslim ini. Melalui liberalisme, pencetakan agen-agen perubahan (agen penjajah) menjadi mudah dan mempercepat kerusakan bangsa. Sedangkan kapitalisasi pendidikan ditandai dengan upaya negara untuk melepaskan tanggung jawabnya dalam hal pendidikan, terutama soal pembiayaan. Ketika pendidikan diserahkan kepada publik, pendidikan tak lagi dipandang sebagai pelayanan umum, namun lebih dominan aspek komersialnya. Dalam kapitalisasi ini, Ajang bisnis kapitalis melalui Majelis Wali Amanat (MWA) dengan berkedok nirlaba menjai subur.
Derita Rakyat Akibat Kapitalisasi dan Liberalisasi Pendidikan
Upaya pemerintah untuk mendorong Perguruan Tinggi Negeri menjadi otonom sebagai BHMN telah menimbulkan kegelisahan dan kesengsaraan rakyat. Kebijakan tersebut telah menyebabkan mahalnya biaya pendidikan tinggi, terpecahnya tujuan pendidikan tinggi antara tujuan akademik dan tujun bisnis, terbukanya kurikulum pendidikan tinggi terhadap pemikiran-pemikiran liberal, dan kacaunya pelaksanaan proses pendidikan.
Setiap universitas yang berstatus BHMN ‘diberikan hak’ untuk mengelola pembiayaan pendidikannya. Artinya, pemerintah telah melimpahkan tanggung jawab pengelolaan pendidikan tinggi kepada BHMN bersangkutan. Berdasarkan hal ini, setiap BHMN yang ada harus berupaya secara mandiri untuk memenuhi seluruh pembiayaan pendidikannya. Dengan keterbatasan dana yang dimiliki, akhirnya sebagian besar BHMN yang ada mengeluarkan berbagai kebijakan yang komersial, seperti ‘jalur khusus’ penerimaan mahasiswa baru, kenaikan SPP, subsidi silang, kurikulum kompetensi, dan pengelolaan PT yang bersifat korporatif atau seperti badan usaha termasuk melakukan kerjasama dengan pihak asing meski dengan syarat tertentu. Semua itu akan mengganggu fungsi PT sebagi lembaga pendidikan di samping akan membebani masyarakat.
Kebijakan ini amat memberatkan masyarakat, terutama kalangan miskin. Amat sulit bagi mereka bisa menempuh pendidikan tinggi dan bermutu. Akibatnya, pendidikan hanya dapat dinikmati segelintir kalangan berpunya saja. Terjadilah ‘lingkaran setan’ antara kemiskinan dan kebodohan. Karena miskin, ia tidak dapat mengenyam pendidikan, akibatnya menjadi bodoh. Karena bodoh, ia tidak mempunyai keahlian dan keterampilan sehingga sulit mencari pekerjaan yang layak, dan akibatnya menjadi miskin. Itu berarti, kapitalisasi pendidikan turut melanggengkan kemiskinan yang dialami mayoritas masyarakat.
Kembali Pada Islam, Solusi Cerdas dan Bijak
Untuk menghentikan penjajahan ini, kita harus kembali pada Islam. Dalam pandangan Islam, pendidikan adalah salah satu bentuk pelayanan pemerintah kepada rakyat yang wajib diwujudkan. Artinya, penyelenggaraan pendidikan untuk rakyat sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah, bukan yang lain. Dengan kata lain, pendidikan adalah hak rakyat yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Sebagai bentuk pelayanan yang wajib diberikan kepada rakyat, pemerintah tentu tidak selayaknya membebankan biaya penyelenggaraan pendidikan tersebut kepada rakyat. Rasulullah saw. bersabda:
Seorang imam (khalifah/ kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat; ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Imam Ibn Hazm dalam kitabnya, al-Ahkâm, menjelaskan bahwa seorang kepala negara (khalifah) berkewajiban untuk memenuhi sarana-sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk masyarakat.
Lebih dari sekadar terselenggaranya pendidikan gratis atau sangat murah bagi rakyat, pendidikan harus menghasilkan setidaknya dua hal penting. Pertama, mampu melahirkan generasi yang memiliki kepribadian tangguh. Itu tercermin pada perilakunya yang baik, taat syariat, serta kokoh menghadapi berbagai godaan dan tantangan dalam kebenaran.
Kedua, mampu menghasilkan generasi yang menguasai pengetahuan; baik yang berkaitan dengan cara menjalani hidup secara benar, seperti akidah, syariat, dan sebagainya maupun berbagai pengetahuan yang dapat menopang kehidupan dan berbagai sarananya, seperti sains dan teknologi.
Selain itu, pendidikan itu sendiri haruslah ditujukan dalam rangka membekali akal masyarakat dengan pemikiran dan ide-ide yang sehat, baik yang berkaitan dengan akidah maupun hukum. (Abdurrahman al-Bagdadi, Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam, 1996). Hal itu hanya mungkin diwujudkan dengan cara menyelenggarakan sistem pendidikan yang islami. Dengan begitu, ide-ide atau pemahaman-pemahaman yang sesat lagi batil dapat diberantas.
Hentikan penjajahan!
Penderitaan dan ketertindasan takan pernah hilang dari bangsa ini selama kita tidak menyadari dan mau bergerak menyongsong perubahan. Penjajahan, apapun bentuknya harus dimusnahkan, termasuk penjajahan lewat pendidikan. Sesungguhnya, penjajahan melalui pendidikan ini merupakan bagian integral dari penjajahan lainnya, baik ekonomi mupun politik yang disusun secara sistematis oleh musuh bangsa ini. Musuh Islam. Musuh kita semua yakni penjajah kafir barat dan antek-anteknya.
Gema Pembebasan mengajak seluruh komponen kaum Muslim di negeri ini; mahasiswa, pelajar, sipil maupun militer, partai maupun non-partai, buruh, petani, dan nelayan, para ulama, para santri, para budayawan, para wartawan, para cendekiawan, serta para bisnisman dan hartawan untuk melawan ketidakadilan yang sekarang terjadi. Penjajahan gaya baru melalui instrumen pendidikan harus segera kita hentikan, tidak ada kata lain untuk menghentikan penjajahan ini dengan kata Lawan! Lawan dengan kekuatan super power melalui tegaknya syariah dan khilafah, Allahu akbar!
Penjajahan dalam Perguruan Tinggi (PT), dilakukan secara sistematis dan terencana oleh kaum kafir imperialis melalui komprador-kompradornya di negeri tercinta ini. Penjajahan melalui PT dilakukan dengan dua hal: 1) penerapan paradigma sekular-materialistik yang berimplikasi pada penerapan point selanjutnya, yakni, 2) penerapan kebijakan pemerintah dalam pengelolaan perguruan tinggi yang neoliberalistik-kapitalistik.
Diakui atau tidak, paradigma pendidikan nasional saat ini adalah sekular-materialistik. Hal ini terlihat antara lain pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI, pasal 15 yang memisahkan pendidikan agama dan pendidikan umum. Sistem pendidikan dikotomis semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia salih berkepribadian Islam sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan zaman melalui penguasaan sains dan teknologi.
Mengenai Kebijakan pemerintah, melalui pembuatan UU Sisdiknas atau RUU Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN) dan sekarang sedang sedang digodog RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP), cengkeraman penjajah neoliberalisme-kapitalisme di perguruan tinggi semakin kuat. Konsep BHP dan BHMN diilhami oleh semangat mengembalikan dan melindungi fungsi institusi pendidikan sebagai alat untuk mentransformasikan nilai-nilai kemasyarakatan dan membebaskan pendidikan dari hegemoni kekuasaan, dan pendidikan harus dikembalikan kepada masyarakat dan dilaksanakan dari, oleh dan untuk masyarakat. Di balik itu, sesungguhnya terdapat upaya terselebung untuk memasukan nilai-nilai liberalisme dan kapitalisme dalam dunia pendidikan.
Liberalisme pendidikan tergambar dari upaya melepaskan tanggung jawab negara dalam pengelolaan kurikulum dan nilai-nilai pendidikan. Pengelolaan ini sepenuhnya diserahkan kepada nilai-nilai masyarakat bahkan nilai-nilai asing, sehingga hal ini membuka intervensi asing dalam upaya penghancuran akidah dan kepercayaan bangsa yang sebagian besar muslim ini. Melalui liberalisme, pencetakan agen-agen perubahan (agen penjajah) menjadi mudah dan mempercepat kerusakan bangsa. Sedangkan kapitalisasi pendidikan ditandai dengan upaya negara untuk melepaskan tanggung jawabnya dalam hal pendidikan, terutama soal pembiayaan. Ketika pendidikan diserahkan kepada publik, pendidikan tak lagi dipandang sebagai pelayanan umum, namun lebih dominan aspek komersialnya. Dalam kapitalisasi ini, Ajang bisnis kapitalis melalui Majelis Wali Amanat (MWA) dengan berkedok nirlaba menjai subur.
Derita Rakyat Akibat Kapitalisasi dan Liberalisasi Pendidikan
Upaya pemerintah untuk mendorong Perguruan Tinggi Negeri menjadi otonom sebagai BHMN telah menimbulkan kegelisahan dan kesengsaraan rakyat. Kebijakan tersebut telah menyebabkan mahalnya biaya pendidikan tinggi, terpecahnya tujuan pendidikan tinggi antara tujuan akademik dan tujun bisnis, terbukanya kurikulum pendidikan tinggi terhadap pemikiran-pemikiran liberal, dan kacaunya pelaksanaan proses pendidikan.
Setiap universitas yang berstatus BHMN ‘diberikan hak’ untuk mengelola pembiayaan pendidikannya. Artinya, pemerintah telah melimpahkan tanggung jawab pengelolaan pendidikan tinggi kepada BHMN bersangkutan. Berdasarkan hal ini, setiap BHMN yang ada harus berupaya secara mandiri untuk memenuhi seluruh pembiayaan pendidikannya. Dengan keterbatasan dana yang dimiliki, akhirnya sebagian besar BHMN yang ada mengeluarkan berbagai kebijakan yang komersial, seperti ‘jalur khusus’ penerimaan mahasiswa baru, kenaikan SPP, subsidi silang, kurikulum kompetensi, dan pengelolaan PT yang bersifat korporatif atau seperti badan usaha termasuk melakukan kerjasama dengan pihak asing meski dengan syarat tertentu. Semua itu akan mengganggu fungsi PT sebagi lembaga pendidikan di samping akan membebani masyarakat.
Kebijakan ini amat memberatkan masyarakat, terutama kalangan miskin. Amat sulit bagi mereka bisa menempuh pendidikan tinggi dan bermutu. Akibatnya, pendidikan hanya dapat dinikmati segelintir kalangan berpunya saja. Terjadilah ‘lingkaran setan’ antara kemiskinan dan kebodohan. Karena miskin, ia tidak dapat mengenyam pendidikan, akibatnya menjadi bodoh. Karena bodoh, ia tidak mempunyai keahlian dan keterampilan sehingga sulit mencari pekerjaan yang layak, dan akibatnya menjadi miskin. Itu berarti, kapitalisasi pendidikan turut melanggengkan kemiskinan yang dialami mayoritas masyarakat.
Kembali Pada Islam, Solusi Cerdas dan Bijak
Untuk menghentikan penjajahan ini, kita harus kembali pada Islam. Dalam pandangan Islam, pendidikan adalah salah satu bentuk pelayanan pemerintah kepada rakyat yang wajib diwujudkan. Artinya, penyelenggaraan pendidikan untuk rakyat sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah, bukan yang lain. Dengan kata lain, pendidikan adalah hak rakyat yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Sebagai bentuk pelayanan yang wajib diberikan kepada rakyat, pemerintah tentu tidak selayaknya membebankan biaya penyelenggaraan pendidikan tersebut kepada rakyat. Rasulullah saw. bersabda:
Seorang imam (khalifah/ kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat; ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Imam Ibn Hazm dalam kitabnya, al-Ahkâm, menjelaskan bahwa seorang kepala negara (khalifah) berkewajiban untuk memenuhi sarana-sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk masyarakat.
Lebih dari sekadar terselenggaranya pendidikan gratis atau sangat murah bagi rakyat, pendidikan harus menghasilkan setidaknya dua hal penting. Pertama, mampu melahirkan generasi yang memiliki kepribadian tangguh. Itu tercermin pada perilakunya yang baik, taat syariat, serta kokoh menghadapi berbagai godaan dan tantangan dalam kebenaran.
Kedua, mampu menghasilkan generasi yang menguasai pengetahuan; baik yang berkaitan dengan cara menjalani hidup secara benar, seperti akidah, syariat, dan sebagainya maupun berbagai pengetahuan yang dapat menopang kehidupan dan berbagai sarananya, seperti sains dan teknologi.
Selain itu, pendidikan itu sendiri haruslah ditujukan dalam rangka membekali akal masyarakat dengan pemikiran dan ide-ide yang sehat, baik yang berkaitan dengan akidah maupun hukum. (Abdurrahman al-Bagdadi, Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam, 1996). Hal itu hanya mungkin diwujudkan dengan cara menyelenggarakan sistem pendidikan yang islami. Dengan begitu, ide-ide atau pemahaman-pemahaman yang sesat lagi batil dapat diberantas.
Hentikan penjajahan!
Penderitaan dan ketertindasan takan pernah hilang dari bangsa ini selama kita tidak menyadari dan mau bergerak menyongsong perubahan. Penjajahan, apapun bentuknya harus dimusnahkan, termasuk penjajahan lewat pendidikan. Sesungguhnya, penjajahan melalui pendidikan ini merupakan bagian integral dari penjajahan lainnya, baik ekonomi mupun politik yang disusun secara sistematis oleh musuh bangsa ini. Musuh Islam. Musuh kita semua yakni penjajah kafir barat dan antek-anteknya.
Gema Pembebasan mengajak seluruh komponen kaum Muslim di negeri ini; mahasiswa, pelajar, sipil maupun militer, partai maupun non-partai, buruh, petani, dan nelayan, para ulama, para santri, para budayawan, para wartawan, para cendekiawan, serta para bisnisman dan hartawan untuk melawan ketidakadilan yang sekarang terjadi. Penjajahan gaya baru melalui instrumen pendidikan harus segera kita hentikan, tidak ada kata lain untuk menghentikan penjajahan ini dengan kata Lawan! Lawan dengan kekuatan super power melalui tegaknya syariah dan khilafah, Allahu akbar!