Secara tidak sengaja, ketika masuk ke halaman browser, saya mendapati beberapa tulisan saya yang mejeng di sana. Anehnya, ada judul tulisan di sebuah website yang judulnya amat mirp dengan tulisan saya di sini. Lantaran penasaran, saya pun tergoda untuk mengklik judul tulisan yang mirip dengan judul tulisan itu. Wew… saya sempat terkejut. Setelah kubaca dengan saksama, ternyata hanya judulnya saja yang beda-beda tipis. Tulisan saya berjudul “Kartini-Kartini Muda: Jangan Terjebak Seremoninya!“, sedangkan di website tersebut berjudul “Kartini-kartini muda: Jangan terjebak seremonial belaka“.
Versi cetak
Saya jadi bertanya, demikian gampangkah kita melakukan kopi-paste tulisan orang lain tanpa seizin yang empunya? Menurut hemat saya, kopi-paste tulisan di sebuah blog tidak harus seizin pemliknya, apalagi jika kebetulan blog tersebut dimasukkan ke dalam sebuah agregator. Tulisan yang dipublikasikan di sebuah blog dengan sendirinya bebas dibaca dan dimanfaatkan oleh siapa saja, lebih-lebih untuk kepentingan dunia keilmuan dan pendidikan. Namun, persoalannya menjadi lain ketika tulisan tersebut kembali dipublikasikan di blog atau website lain, tanpa mencantumkan kejelasan sumbernya. Apalagi, kalau tulisan hasil kopi-paste tersebut diakui sebagai karyanya sendiri. Bagi saya, perbuatan semacam ini tak lebih dari sebuah plagiasi yang jauh dari nilai-nilai kejujuran, mengkhianati martabat intelektualnya sendiri, tidak menghargai kreativitas orang lain, sekaligus telah terjebak ke dalam budaya instan yang seharusnya tabu dalam etika kepenulisan.
Itulah yang telah terjadi. Tulisan saya telah dikopi-paste habis-habisan, tanpa memberikan track-back. Peristiwa yang jauh dari nilai-nilai kejujuran itu mengulang apa yang telah terjadi pada tahun 1999. Tulisan saya berjudul “Memaksimalkan Peran Ibu sebagai Pencerah Peradaban” yang dimuat di Republika, 22 Desember 1997 dimuat dua tahun kemudian di Suara Karya, 24 Desember 1999 dengan judul “Ibu sebagai Pencerah Peradaban”. Setelah saya baca, tulisan itu hanya mengubah judul dan menghilangkan beberapa bagian yang dianggap oleh sang plagiator kurang begitu penting. Kepada redaksiSuara Karya, saya mengirim surat pembaca bahwa penulis yang bersangkutan mohon untuk dimasukkan ke dalam “daftar hitam” alias blacklist. Syukurlah, pihak redaksi meresponnya dan tulisan-tulisan dari penulis yang bersangkutan tak pernah nongol lagi di media cetak.
Saya akan memberikan rasa hormat dan ucapan terima kasih kepada siapa pun yang telah berkenan memanfaatkan tulisan-tulisan saya demi kepentingan dunia keilmuan dan pendidikan. Tentu saja, sesuai kode etik dalam dunia kepenulisan, sumber tulisan harus dicantumkan secara jelas. Hal ini untuk menghindari adanya kesalahpahaman.
Coba kalau kita perhatikan tulisan yang terpampang di halaman mesin pencari dengan judul yang sama atau mirip! Lalu, seorang pembaca secara kebetulan membaca dua buah tulisan yang sama atau mirip tanpa ada kejelasan sumber. Aduh, repot! Pasti akan muncul pertanyaan, “siapa menjiplak siapa?” Sungguh, meskipun tidak tercantum secara tertulis, kode etik kepenulisan agaknya perlu ditegakkan. Selain untuk menjaga kejujuran intelektual, juga untuk kepentingan pribadi sang peng-kopipes. Kalau ketahuan seperti pepatah, “Ditepuk air didulang, tepercik muka sendiri”. Bahkan, bisa jadi seperti orang yang meludah ke langit yang akan menjatuhi wajahnya sendiri.
Menurut hemat saya, melakukan kopi paste tulisan yang dipublikasikan di blog, tak harus minta izin. Memberikan track-back, bagi saya, sudah cukup dan sudah merupakan bentuk penghormatan bagi sang pemilik tulisan. Nah, bagaimana menurut Sampeyan?