Tuesday, February 26, 2013

Banjir dan Daya Pikat Jakarta


Mobilitas penduduk yang amat dinamis dengan gedung-gedung permanen yang kurang bersahabat dengan lingkungan membuat kota “pusat” segala denyut kehidupan ini tak sanggup lagi menahan beban “alamiah”. Banjir yang (nyaris) melumpuhkan aktivitas segenap warga di awal tahun 2013 ini agaknya juga tak lepas dari fenomena semacam itu. Jakarta benar-benar tak berdaya. Kota yang selama ini menjadi magnet dan pusat segala aktivitas peradaban Indonesia tak ubahnya kubangan mengerikan. Air bah seakan menyapu sisa-sisa seluruh aktivitas warga selama ini. Hampir tak ada ruang yang tersisa tanpa jamahan air bah. Banjir menyapu semua sudut dan tepian kota Jakarta.
Namun, kapokkah orang hidup di Jakarta? Dari sisi mana pun, agaknya daya pikat Jakarta tak pernah surut. Ia menjadi semacam barometer denyut kehidupan yang menjanjikan banyak harapan. Jakarta menjadi “pusat” segala aktivitas peradaban. Hampir tak ada sesuatu yang tak ada di Jakarta. Produk-produk kerakyatan yang dihasilkan oleh masyarakat dusun terpencil sekalipun mengalir ke kota ini, lebih-lebih produk impor yang telah mengglobal. Jakarta benar-benar menjadi “etalase” peradaban. Oleh karena itu, Jakarta tak akan pernah kehilangan daya pikat. Banjir dinilai hanya merupakan bagian dari “siklus” alamiah. Begitu banjir surut, Jakarta akan kembali menggeliat. Ibarat pepatah “panas setahun dihapus hujan sehari”. Jakarta akan segera kembali ke “khittah”-nya sebagai sebuah ibukota dengan segenap aktivitasnya yang tak pernah mati.
Meskipun demikian, kita juga harus mengakui, tantangan hidup di Jakarta juga menghadang di setiap ruang dan waktu. Persaingan hidup yang kian kompetitif seringkali membawa imbas kekerasan di berbagai ranah kehidupan. Orang harus benar-benar punya nyali besar untuk menghadapi berbagai tantangan hidup. Mereka yang punya nyali besar dan memiliki “nasib baik” mampu menjadikan Jakarta sebagai sorga. Sebaliknya, mereka yang bernyali ciut dan mengalami deraan nasib yang kurang beruntung akan menganggap Jakarta tak ubahnya sebuah kota “neraka” yang kejam. Selain menghasilkan banyak orang yang berlimpah harta, Jakarta agaknya juga telah melahirkan banyak masyarakat pinggiran yang tersisih dan tertindas.
Mereka yang gagal mewujudkan impian dan harapan terpaksa mesti hidup di kampung-kampung kumuh yang setiap saat mesti berhadapan dengan kemiskinan dan kelaparan. Nasib mereka makin merana ketika banjir besar melanda. Gubug-gubug kardus yang mereka bangun di bantaran kali atau di bawah jembatan dengan amat mudah tersapu air bah. Kita berharap dan berdoa, semoga banjir yang melanda Jakarta segera surut dan seluruh warga bisa menjalankan aktivitasnya kembali. Kalau pusat ibukota lumpuh, diakui atau tidak, juga akan berdampak pada aktivitas daerah lain di negeri ini. Semoga makin banyak tangan-tangan dermawan yang mengulurkan bantuan kepada saudara-saudara kita di Jakarta yang tengah tertimpa musibah dan cobaan.
Banjir di awal tahun 2013 ini juga perlu dijadikan “warning” serius kepada para pejabat, kaum pemilik modal, dan segenap warga Jakarta, agar benar-benar membuat kebijakan, membangun pusat-pusat bisnis, dan memiliki kultur yang peduli terhadap lingkungan. Jangan sampai banjir di Jakarta terus kembali terulang hanya lantaran kelengahan dan sikap abai kita terhadap lingkungan yang notabene menjadi tempat beraktivitas dan berdinamika dalam hidup keseharian.

PEMBELAJARAN IPA DI LUAR KELAS

IPA merupakan salah satu Mata Pelajaran yang mempunyai ruang lingkup sangat luas. Di dalam IPA dipelajari tentang sesuatu yang berhubungan ...