Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI menetapkan target 24 jam mengajar sebagai syarat pengajuan tunjangan sertifikasi guru. Regulasi ini membuat para Oemar Bakrie yang bertugas di kawasan pelosok terpojok. Seperti yang terjadi di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar). Perjuangan pun dilakukan demi mengubah regulasi. Bagaimana hasilnya?
ANGGANA, salah satu kecamatan di Kukar yang memiliki pulau-pulau kecil. Kawasannya jauh dari ibu kota kabupaten, Tenggarong. Tapi jangan salah. Sudah awam diketahui, kecamatan ini kaya minyak dan gas bumi (migas), yakni dengan adanya Blok Mahakam. Keberadaan blok yang membuat Anggana pernah disebut-sebut sebagai salah satu kecamatan terkaya di Indonesia. Sayang, kondisi tersebut tak mencerminkan dengan kesejahteraan dan kenyamanan para pendidik.
Banyak konsekuensi yang harus dirasakan para guru yang bertugas di pelosok seperti Anggana. Misalnya, meski mendapat nilai yang tinggi dalam Uji Kompetensi Guru (UKG), mereka mesti mengajar 24 jam dalam sepekan. Ini adalah syarat mutlak mengajukan tunjangan sertifikasi. Ada kebijakan lain juga, yakni memenuhi jam mengajar di sekolah lain yang terdekat. Peluang meraih sertifikasi pun seakan tertutup.
Kebijakan inilah yang dianggap tak memihak pada guru yang bertugas di pelosok. Bagaimana mereka ingin menambah jam mengajar di sekolah lain, sedangkan sekolah terdekat jaraknya puluhan kilometer. Ditambah infrastruktur dan transportasi yang tak mendukung. Misalnya di Desa Sepatin, Anggana, yang masuk kawasan kepulauan. Menuju pusat kecamatan memerlukan ongkos hingga ratusan ribu rupiah. Alat transportasinya adalah speedboat. Waktu tempuhnya pun bisa berjam-jam.
Nasib serupa dirasakan guru-guru pelosok di kecamatan lain di kabupaten ini. Seperti Kembang Janggut, Tabang, Kenohan, Muara Wis, dan sebagainya. Luasnya geografis Kukar membuat jumlah sekolah juga belum tersebar merata.
Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Kukar Wiyono melalui Kabid Pendidikan Menengah (Dikmen), Dinas Pendidikan (Disdik) Kukar Tulus Sutopo pun tak membantah kondisi ini. Menurutnya, di kepulauan di Anggana, rata-rata hanya terdapat satu sekolah untuk masing-masing jenjang. Bersedianya guru untuk mengajar di daerah terpencil seperti ini membuat kesempatan mendapatkan tunjangan sertifikasi menjadi tertutup.
“Jadi, guru-guru yang mengajar di lokasi yang terpencil dan di pelosok ini jadi hilang kesempatan mendapat tunjangan sertifikasi. Mau menambah jam di sekolah lain juga tidak mungkin karena terkendala waktu dan biaya. Padahal banyak guru yang berprestasi dan berbakat dari pelosok seperti ini,” ujar Tulus.
Berdasarkan Permendiknas 41/2007 tentang Standar dan Proses Mengajar, guru tak hanya dituntut mengejar jumlah rombongan belajar (rombel), namun juga mempraktikkan proses dan cara pengajaran yang inovatif, kreatif sehingga mudah dipahami siswa. Namun, indikator ini sepertinya sulit masuk. Lantaran guru hanya dituntut mengejar target jumlah jam mengajar tanpa memerhatikan kualitas mengajar. Peran sekolah untuk memberi reward terhadap guru pun tidak lebih besar dari pengawasan melalui aplikasi data pokok pendidikan (Dapodik) terkait target mengajar.
“Meski guru di sekolah ini (kawasan pelosok) kreatif dan berprestasi besar, tapi tidak bisa mendapat 24 jam mengajar karena rombongan belajarnya yang kurang. Sekolah di desa terdekat pun jaraknya jauh dan dipastikan sudah ada guru lain yang mengajar. Bagi saya, aturan ini seperti diskriminasi dari pusat yang hanya melihat pendidikan di kota-kota besar,” kata Tulus.
Pada 2013 lalu, ujarnya, ada seorang guru asal Kecamatan Tenggarong yang mengejar jumlah jam mengajar hingga harus menyampaikan ilmu di Kecamatan Muara Kaman. Ia menyiasati dengan membagi jadwal mengajar, yaitu tiga hari di Tenggarong dan tiga hari di Muara Kaman. Perjuangan guru semacam ini, kata dia, patut diapresiasi untuk mengejar tunjangan sertifikasi. Selain itu menggambarkan betapa ketatnya proses validasi data untuk 24 jam mengajar tersebut.
“Awalnya tim dari Inspektorat sempat curiga. Karena aneh jika mengajar di dua kecamatan yang berbeda, dengan jarak yang jauh. Ternyata memang begitulah keadaannya,” tuturnya.
Ia pun mengingatkan, guru masuk kategori tenaga fungsional. Sehingga, tidak dibenarkan jika ada sekolah yang menggunakan absen jari demi untuk memastikan guru tersebut dari pagi hingga siang di sekolah. Padahal, keberadaan guru yang utama menurut ketentuan, yaitu berada di kelas dalam proses belajar mengajar. “Karena masuk dalam tenaga fungsional, maka fungsinya yang diambil. Tidak seperti PNS di kelurahan atau kecamatan. Kasihan kalau saat tidak ada jam mengajar juga malah disuruh berada di sekolah. Padahal, guru tersebut juga berkesempatan mengajar di tempat lain. Terutama yang ingin memenuhi jumlah jam mengajar,” kata Tulus.
Berdasarkan data yang dihimpun Kaltim Post dari Disdik Kukar, kabupaten dengan APBD terbesar di Indonesia ini memiliki 1.081 sekolah dari jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga SMA. Dengan rincian sekolah negeri 579 unit dan sekolah swasta 502 unit. Sedangkan jumlah guru seluruhnya 13.800 orang. (lihat grafis)
Merujuk data, jumlah guru SD tersertifikasi ada 3.628 guru, SMP 1.117 guru, SMA 461 guru, dan SMK 172 guru. Jumlah tersebut jauh tertinggal dengan jumlah guru di Kukar. Bahkan ribuan guru di antaranya berstatus mengajar dengan pelajaran yang tidak linear, sehingga sulit untuk mengejar persyaratan tunjangan sertifikasi. Selain itu, guru dengan kualifikasi berprestasi juga tak sedikit yang tak bisa mengajukan tunjangan sertifikasi karena aturan 24 jam mengajar.
Disdik Kukar sudah melayangkan surat terkait kondisi tersebut ke Kemendikbud untuk melakukan kajian ulang. Ini agar Kemendikbud mengeluarkan aturan yang membahas regulasi khusus untuk sistem sertifikasi guru di daerah pelosok.
Persoalan lain yang dikeluhkan, juga terkait aturan enam jam mengajar bagi kepala sekolah yang ingin mengajukan tunjangan serupa. Meski lebih sedikit dibanding beban mengajar guru, namun besarnya tanggung jawab kepala sekolah dianggap menyulitkan. Selain harus mengurus pengelolaan keuangan sekolah, kepala sekolah juga memiliki beban lain, yakni mengajar.
“Jadi, jangan sampai karena harus memenuhi beban mengajar, urusan pokok sebagai kepala sekolah menjadi terabaikan,” tambah Tulus lagi.
Getolnya perjuangan Disdik Kukar ditambah lagi meningkatnyakeluhan para guru di pelosok, rupanya sampai juga ke Kemendikbud. Agaknya, Kemendikbud mulai khawatir jika jumlah guru yang mengajar di pelosok nantinya ramai-ramai ingin pindah ke kota. Kementerian akhirnya menjadikan Kukar sebagai salah satu daerah yang dikaji secara khusus. Hal ini untuk mencari solusi, agar target 24 jam mengajar bukan menjadi satu-satunya indikator persyaratan mendapatkan tunjangan sertifikasi. Sehingga, pengabdian guru yang mengajar di pelosok juga dihargai.
Akhirnya, 27 Juni lalu Kepala Pusat Penelitian Kebijakan, Kemendikbud, Hendarman pun bertandang ke Kukar. Proses pengkajian yang diusulkan Disdik Kukar dimulai dengan menyebar kuesioner dan mendengarkan paparan pihak Disdik Kukar, terkait persoalan yang jadi momok ini. Selain Kukar, ada sejumlah daerah lain yang memiliki kondisi geografis yang unik. “Kukar ini akan jadi sampel untuk dikaji. Karena memang wilayahnya luas sekali,” ujar Hendarman kepada Kaltim Post dalam sebuah kesempatan.
Terkait akan dikeluarkannya aturan baru, yang menyebutkan regulasi seputar daerah khusus di Kukar, hal tersebut menurutnya tidak menutup kemungkinan terjadi.
(SEMPAT) DISELAMATKAN TPP
Di Kukar, guru yang berstatus pegawai negeri sipil lebih beruntung dibanding daerah lain. Melalui regulasi Peraturan Bupati (Perbub), pemkab memberikan pembeda jumlah tunjangan profesi pendidik (TPP) yang bertugas di pelosok. Semakin jauh lokasi bertugas, maka semakin besar tunjangan yang diperoleh. Bagi pegawai yang bertugas di Kecamatan Tabang, jumlah TPP yang diterima bisa mencapai Rp 4 juta. Jumlah tersebut tentu menyesuaikan harga kebutuhan pokok yang berbeda jauh dengan harga di kota.
Sayangnya, dalam situasi APBD Kukar yang merosot, kebijakan pemkab tersebut tak bisa berlangsung lama. Dilihat dari asumsi APBD murni 2017, diperkirakan dana APBD Kukar hanya sekitar Rp 3,2 triliun. Jika ditambah pinjaman dari PT SMI sebesar Rp 950 miliar, maka jumlahnya bertambah menjadi Rp 4,1 triliun. Sedangkan jumlah kebutuhan belanja pegawai diperkirakan mencapai Rp 2,5 triliun. Maka Bupati Kukar Rita Widyasari pun mengambil jalan tengah dengan memangkas TPP sebesar Rp 30 persen pada 2017.
“Iya, tahun 2017 akan dipotong 30 persen. Karena kondisi APBD Kukar seperti ini. Kita juga perlu meneruskan program pembangunan,” ungkap Rita.
Sebenarnya, kata Rita, besaran TPP memang menyesuaikan kemampuan daerah dalam struktur APBD-nya. Sedangkan saat ini keuangan Kukar juga masih dalam kondisi defisit. “Kami juga sedang mencari sumber-sumber dana lainnya. Seperti dana kurang salur serta Dana Alokasi Umum (DAU). Karena di daerah lain gaji pegawai itu menggunakan DAU. Sedangkan di Kukar menggunakan dana perimbangan. Itu yang sedang saya perjuangkan dengan bersurat terus,” ujarnya.
KELONGGARAN
Tak hanya Kukar kesulitan menerapkan mengajar 24 jam. Banyak guru di sejumlah daerah di negeri ini merasakan hal serupa. Namun, baru Kukar yang memperjuangkan aspirasi guru pelosok di pusat. Jika sebelumnya ratusan guru di pelosok terhambat pengajuan sertifikasinya, lantaran target mengajar 24 jam tak terpenuhi, Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan, Kemendikbud, akhirnya memberi kelonggaran. Persyaratan mengajar 24 jam pun dikesampingkan bagi guru yang bersedia ditempatkan di pelosok Kukar.
Hal tersebut menyusul keluarnya surat Dirjen Guru dan Tenaga Pendidik Kemendikbud Nomor 3672 / B.B1 -I / GT /2016 tentang Rasio Minimal Jumlah peserta Didik terhadap Guru.
“Sudah ada jawabannya dari pusat. Tahun 2017 semoga bisa terealisasi. Tapi perjuangannya juga masih panjang. Kita juga akan melakukan konfirmasi kembali ke bagian yang mengurusi data pokok pendidikan (Dapodik) di Mendikbud,” ujar Tulus Sutopo.
Dijelaskan Tulus, regulasi wajib mengajar 24 jam tersebut, tercantum pada Permendikbud 62/2013 tentang Sertifikasi Guru. Para guru yang bertugas di Kukar sulit memenuhi persyaratan tersebut lantaran kondisi geografis serta rasio guru yang masih kurang. Secara geografis, Kukar memiliki luas hingga 27.000 kilometer persegi. Jarak antarsekolah mencapai hingga 10 kilometer. Faktor lainnya, yakni jarak menuju ibu kota kabupaten bisa mencapai 120 kilometer. Terlebih lagi akses jalan dan minim serta jumlah rombongan belajar yang jumlah per sekolah hanya tiga hingga empat kelas. Begitu juga dengan jumlah siswa yang satu sekolah hanya 100 orang.
“Sebelumnya, Disdik melayangkan surat untuk memberi tahu kondisi ini kepada pusat. Karena kasihan jika guru di pelosok justru tidak diakomodasi tunjangan sertifikasinya, karena hanya 24 jam mengajar tersebut. Akhirnya, Kemendikbud setelah datang langsung ke Kukar dan mengecek, kini sudah memberi jawaban secara resmi,” terang Tulus.
Sementara itu, aturan rasio guru dalam PP Nomor 74/2008 pasal 17 ayat (1) tentang Pembayaran Tunjangan Profesi, juga sulit diimplementasikan di Kukar. Lantaran, guru yang hendak memenuhi jam mengajar 24 jam, tidak bisa mengajar secara paralel lantaran akses serta jarak sekolah yang terlampau jauh.
“Jadi dalam aturan tersebut, bagi seluruh guru memang tidak mampu mengajar 24 jam karena situasi tersebut, maka tetap akan dibayarkan tunjangan sertifikasinya. Perjuangan Disdik Kukar ini juga berimbas pada daerah lain. Daerah lain akhirnya juga diberikan kelonggaran serupa,” ungkapnya lagi.
Sementara itu, terdapat lebih dari 200 guru yang bertugas di pelosok Kukar, hingga kini tak bisa merasakan tunjangan sertifikasi guru. “Dengan dikeluarkannya edaran tersebut, maka para guru yang bertugas di pelosok tersebut akan diberi kelonggaran dengan dibayarkan tunjangan profesinya,” ujar Tulus.
Dijelaskan Tulus, pemerintah pusat juga sempat meminta pemerataan guru di daerah. Meski bertujuan baik, namun hal ini kata dia seolah menjadi kebijakan yang dikeluarkan tanpa mengetahui kondisi di daerah. Pasalnya, sejumlah guru di Kukar, tak sedikit yang harus kehilangan tunjangan sertifikasinya setelah dimutasi beberapa tahun lalu.
‘”Waktu itu saya juga belum di Disdik. Masih pejabat lama saat itu. Mestinya jangan diterima mentah-mentah regulasi tersebut. Makanya saat ini Disdik Kukar berjuang di pusat dan alhamdulillah ada hasilnya. Walaupun luar biasa proses panjang yang dilalui,” ujar Tulus