Belakangan ini muncul kasus guru yang dilaporkan ke Polisi karena mencubit siswanya, SMP. Guru tersebut namanya Pak Samhudi. Banyak teman meminta saya membahas hal ini, sekedar berbagi pandangan. Namun sebelum itu, mungkin ada baiknya saya cerita tentang masa-masa SMP dan SMA.
Saya kelahiran tahun 90. Anak-anak seusia saya bisa dibilang merupakan produk siswa masa transisi. Bagi kami, awal era milenium berarti awal menjelang remaja. Kami masih menerima gaya mendidik dengan pendekatan cara lama (guru bersikap keras) namun juga sudah mendapat cara-cara modern yang lebih komunikatif menjelang lulus.
Saya masuk pesantren pada 2001. Saat itu cara mendidik ustad dan kyai masih cukup keras. Lambat ke masjid atau kelas? Dijemur, dicubit, jewer, pukul tangan pakai kayu bahkan tempelengan masih berlaku.
Sementara untuk pelanggaran keras seperti merokok atau keluar tanpa ijin, hukumannya cenderung menyasar psikologi. Contohnya membaca surat pernyataan telah melanggar di hadapan santri, gundul atau diserahkan kembali pada orang tuanya.
Kehidupan di pesantren pada waktu itu sangat rapi dan ketat. Tidak ada satupun santri yang berani melawan ustadnya untuk alasan apapun. Tidak ada orang tua yang berani datang mengadu pada kyai. Malah saking percayanya, banyak orang tua yang mendukung kalau anaknya dipukul jika memang melanggar.
Menjadi santri dengan sistem belajar 24 jam, dari bangun tidur sampai tidur lagi diatur dan dijadwal, saya pikir semua santri pasti pernah dihukum. Saya sendiri sudah mengalami semua jenis hukuman dari mulai dicubit, jewer, tempeleng, push up, dijemur dan sebagainya.
Pelanggaran yang saya lakukan lumayan beragam, mulai dari lambat bangun subuh karena sakit perut dan ke WC tanpa ijin, lambat datang ke masjid karena antrian di dapur begitu panjang, lambat masuk kelas karena antrian mandi, sampai soal lupa bawa tasbih saat ke masjid. Pelanggaran yang sangat sepele dan beralasan sebenarnya, tapi aturan tetaplah aturan.
Namun memasuki tahun 2006, mulai ada perubahan. Hukuman fisik kemudian diubah ke hukuman yang lebih mendidik. Santri yang terlambat itu tidak lagi dihukum jemur, jewer dan sebagainya. Hukumannya jadi hafalan kosa kata bahasa arab atau inggris.
Masalahnya adalah, sebagian santri masih meminta hukuman fisik dibanding hafalan. Atau sebagian malah tidak menunaikan hukuman hafalannya. Silahkan dibayangkan, jika anda di posisi pengajar, memberi hukuman hafalan pada santri, tapi santrinya tidak kunjung datang setor hafalan sampai kemudian melanggar lagi, kira-kira bagaimana menanganinya? Inilah yang kemudian saya sebut dilema. Sehingga sampai sekarang di pesantren masih ada hukuman fisik, meskipun sudah tidak sekeras dulu.
Namun manusia-manusia modern mulai banyak yang protes dengan segala bentuk hukuman fisik. Kita mulai meninggalkan cara-cara kasar dalam mendidik anak. Perbandingannya, jika orang tua saja tidak memukul anaknya, kenapa gurunya mau memukul?
Sampai kyai meninggal, saya belum sempat bertanya bagaimana cara menghadapi persoalan seperti itu. Tapi saat menulis ini saya jadi teringat salah satu pertanyaan santri yang sangat kritis, dan sepertinya masih sangat berkaitan untuk menjawab boleh tidaknya hukuman fisik kepada anak.
“Dalam islam itu tidak ada paksaan. Shalat jamaah itu tidak wajib. Kenapa santri pesantren ini dipaksa-paksa? Kenapa kami tidak diajari ikhlas beribadah?”
Ya, ini momen tak terlupakan sepanjang saya menjadi santri. Sebab baru kali itu ada pertanyaan terbuka saat program diskusi mingguan dengan kyai. Waktu itu suasananya cukup tegang, saya sendiri takut kyai marah-marah. Namun di hadapan seribu lebih santrinya, dengan tenang kyai menjawab begini:
“Di usia kalian, memang masih masanya dipaksa. Setelah lulus nanti, baru kalian belajar ikhlas beribadah. Soal kenapa di pesantren ini shalat jamaah jadi wajib, itu aturan pesantren. Kalau kalian mau tidak shalat jamaah, boleh, tapi di luar pesantren ini.”
Saya mencatat dua point penting. Pertama memang masanya dipaksa. Dan kedua, aturan pesantren berbeda dengan aturan agama Islam. Dari dua point ini saya rasa bisa memberi jawaban opini yang sesuai pada kasus Pak Samhudi sebagai guru yang disidang karena mencubit siswanya.
Masa atau waktu. Cara mendidik anak ini harus menyesuaikan dengan usia. Kita tentu tidak mungkin menjewer atau memarahi bayi karena kencing sembarangan. Tapi kalau anak anda sudah berusia 10 tahun dan sengaja kencing di dalam kamar, maka harus dimarahi.
Dalam mendidik anak, menurut Ali bin Abi Thalib RA, ada tiga golongan dan cara mendidik anak.
1. Kelompok 7 tahun pertama (usia 0-7 tahun), perlakukan anak sebagai raja. Disuapi, dimandikan, dan seterusnya. Seorang raja tentu tak bisa disuruh-suruh atau diatur.
2. Kelompok 7 tahun kedua (usia 8-14 tahun), perlakukan anak sebagai tawanan. Maksudnya anak sudah mulai dikenalkan dengan aturan, kewajiban dan haknya sebagai ‘tawanan.’ Di usia ini, Rasulullah membolehkan orang tua memukul anaknya jika tidak shalat atau melanggar hal lain seperti tidak sopan, bergaul dengan lawan jenis dan seterusnya.
3. Kelompok 7 tahun ketiga (usia 15-21 tahun), perlakukan anak sebagai sahabat. Di usia ini seorang anak sudah bukan waktunya lagi jika dimarahi atau dipukul seperti tawanan. Mereka sudah bisa berpikir dan harus diajak komunikasi seolah mereka teman sebaya kita.
Pada kasus Pak Samhudi, jika masalahnya adalah cubitan, saya pikir masih cukup beralasan. Ini karena siswanya masih di kelompok kedua, dan cubitan bukanlah hukuman fisik yang berlebihan.
Masalahnya adalah, Indonesia hanya memiliki UU perlindungan anak dan tidak mengatur UU mendidik anak. Sehingga sedikit saja dicubit, jika tidak terima, maka bisa dituntut dengan UU perlindungan anak. Sementara hukuman dan aturan yang berlaku di sekolah harus kalah dengan UU negara.
Menurut saya menjadi penting kalau aturan sekolah tidak perlu dibawa ke ranah hukum. Selesaikan di sekolah dengan pimpinan, guru dan wali murid. Misal ada aturan siswa tidak boleh bawa hape, jangan sampai nanti ada yang memperkarakan dan beralasan melanggar HAM. Sehingga hukum dan aturan negara tidak bisa langsung menindak guru yang mendidik dengan caranya yang kasar itu. Sehingga kalaupun dinilai keterlaluan, sanksinya dari pihak sekolah, bukan hakim pengadilan.
Ini sama seperti cerita shalat jamaah tadi. Dalam ajaran dan hukum islam tidak wajib. Tapi kalau pesantren mewajibkan dan menjadikannya bagian dari pendidikan, MUI atau DPR tidak perlu keluarkan fatwa atau UU boleh tidak shalat jamaah. Sebab sekolah atau pesantren ini punya aturan, atau katakanlah otonomi pendidikan. Sehingga kalau ada hal yang tidak berkenan, yang dikoreksi adalah pihak sekolahnya, bukan langsung pada guru yang bersangkutan.
Terakhir, menurut saya mencubit atau hukuman fisik itu juga bagian dari pelajaran, jika yang dihadapinya adalah anak SD, SMP atau SMA. Tapi kalau sudah kuliah, tanpa diaturpun rasanya tidak akan ada dosen yang masih mencubit mahasiswanya. Kalau kemudian ada orang tua yang tidak terima dengan segala bentuk hukuman fisik, mungkin sebaiknya segera memindahkan anaknya ke sekolah lain.
Saya kelahiran tahun 90. Anak-anak seusia saya bisa dibilang merupakan produk siswa masa transisi. Bagi kami, awal era milenium berarti awal menjelang remaja. Kami masih menerima gaya mendidik dengan pendekatan cara lama (guru bersikap keras) namun juga sudah mendapat cara-cara modern yang lebih komunikatif menjelang lulus.
Saya masuk pesantren pada 2001. Saat itu cara mendidik ustad dan kyai masih cukup keras. Lambat ke masjid atau kelas? Dijemur, dicubit, jewer, pukul tangan pakai kayu bahkan tempelengan masih berlaku.
Sementara untuk pelanggaran keras seperti merokok atau keluar tanpa ijin, hukumannya cenderung menyasar psikologi. Contohnya membaca surat pernyataan telah melanggar di hadapan santri, gundul atau diserahkan kembali pada orang tuanya.
Kehidupan di pesantren pada waktu itu sangat rapi dan ketat. Tidak ada satupun santri yang berani melawan ustadnya untuk alasan apapun. Tidak ada orang tua yang berani datang mengadu pada kyai. Malah saking percayanya, banyak orang tua yang mendukung kalau anaknya dipukul jika memang melanggar.
Menjadi santri dengan sistem belajar 24 jam, dari bangun tidur sampai tidur lagi diatur dan dijadwal, saya pikir semua santri pasti pernah dihukum. Saya sendiri sudah mengalami semua jenis hukuman dari mulai dicubit, jewer, tempeleng, push up, dijemur dan sebagainya.
Pelanggaran yang saya lakukan lumayan beragam, mulai dari lambat bangun subuh karena sakit perut dan ke WC tanpa ijin, lambat datang ke masjid karena antrian di dapur begitu panjang, lambat masuk kelas karena antrian mandi, sampai soal lupa bawa tasbih saat ke masjid. Pelanggaran yang sangat sepele dan beralasan sebenarnya, tapi aturan tetaplah aturan.
Namun memasuki tahun 2006, mulai ada perubahan. Hukuman fisik kemudian diubah ke hukuman yang lebih mendidik. Santri yang terlambat itu tidak lagi dihukum jemur, jewer dan sebagainya. Hukumannya jadi hafalan kosa kata bahasa arab atau inggris.
Masalahnya adalah, sebagian santri masih meminta hukuman fisik dibanding hafalan. Atau sebagian malah tidak menunaikan hukuman hafalannya. Silahkan dibayangkan, jika anda di posisi pengajar, memberi hukuman hafalan pada santri, tapi santrinya tidak kunjung datang setor hafalan sampai kemudian melanggar lagi, kira-kira bagaimana menanganinya? Inilah yang kemudian saya sebut dilema. Sehingga sampai sekarang di pesantren masih ada hukuman fisik, meskipun sudah tidak sekeras dulu.
Namun manusia-manusia modern mulai banyak yang protes dengan segala bentuk hukuman fisik. Kita mulai meninggalkan cara-cara kasar dalam mendidik anak. Perbandingannya, jika orang tua saja tidak memukul anaknya, kenapa gurunya mau memukul?
Sampai kyai meninggal, saya belum sempat bertanya bagaimana cara menghadapi persoalan seperti itu. Tapi saat menulis ini saya jadi teringat salah satu pertanyaan santri yang sangat kritis, dan sepertinya masih sangat berkaitan untuk menjawab boleh tidaknya hukuman fisik kepada anak.
“Dalam islam itu tidak ada paksaan. Shalat jamaah itu tidak wajib. Kenapa santri pesantren ini dipaksa-paksa? Kenapa kami tidak diajari ikhlas beribadah?”
Ya, ini momen tak terlupakan sepanjang saya menjadi santri. Sebab baru kali itu ada pertanyaan terbuka saat program diskusi mingguan dengan kyai. Waktu itu suasananya cukup tegang, saya sendiri takut kyai marah-marah. Namun di hadapan seribu lebih santrinya, dengan tenang kyai menjawab begini:
“Di usia kalian, memang masih masanya dipaksa. Setelah lulus nanti, baru kalian belajar ikhlas beribadah. Soal kenapa di pesantren ini shalat jamaah jadi wajib, itu aturan pesantren. Kalau kalian mau tidak shalat jamaah, boleh, tapi di luar pesantren ini.”
Saya mencatat dua point penting. Pertama memang masanya dipaksa. Dan kedua, aturan pesantren berbeda dengan aturan agama Islam. Dari dua point ini saya rasa bisa memberi jawaban opini yang sesuai pada kasus Pak Samhudi sebagai guru yang disidang karena mencubit siswanya.
Masa atau waktu. Cara mendidik anak ini harus menyesuaikan dengan usia. Kita tentu tidak mungkin menjewer atau memarahi bayi karena kencing sembarangan. Tapi kalau anak anda sudah berusia 10 tahun dan sengaja kencing di dalam kamar, maka harus dimarahi.
Dalam mendidik anak, menurut Ali bin Abi Thalib RA, ada tiga golongan dan cara mendidik anak.
1. Kelompok 7 tahun pertama (usia 0-7 tahun), perlakukan anak sebagai raja. Disuapi, dimandikan, dan seterusnya. Seorang raja tentu tak bisa disuruh-suruh atau diatur.
2. Kelompok 7 tahun kedua (usia 8-14 tahun), perlakukan anak sebagai tawanan. Maksudnya anak sudah mulai dikenalkan dengan aturan, kewajiban dan haknya sebagai ‘tawanan.’ Di usia ini, Rasulullah membolehkan orang tua memukul anaknya jika tidak shalat atau melanggar hal lain seperti tidak sopan, bergaul dengan lawan jenis dan seterusnya.
3. Kelompok 7 tahun ketiga (usia 15-21 tahun), perlakukan anak sebagai sahabat. Di usia ini seorang anak sudah bukan waktunya lagi jika dimarahi atau dipukul seperti tawanan. Mereka sudah bisa berpikir dan harus diajak komunikasi seolah mereka teman sebaya kita.
Pada kasus Pak Samhudi, jika masalahnya adalah cubitan, saya pikir masih cukup beralasan. Ini karena siswanya masih di kelompok kedua, dan cubitan bukanlah hukuman fisik yang berlebihan.
Masalahnya adalah, Indonesia hanya memiliki UU perlindungan anak dan tidak mengatur UU mendidik anak. Sehingga sedikit saja dicubit, jika tidak terima, maka bisa dituntut dengan UU perlindungan anak. Sementara hukuman dan aturan yang berlaku di sekolah harus kalah dengan UU negara.
Menurut saya menjadi penting kalau aturan sekolah tidak perlu dibawa ke ranah hukum. Selesaikan di sekolah dengan pimpinan, guru dan wali murid. Misal ada aturan siswa tidak boleh bawa hape, jangan sampai nanti ada yang memperkarakan dan beralasan melanggar HAM. Sehingga hukum dan aturan negara tidak bisa langsung menindak guru yang mendidik dengan caranya yang kasar itu. Sehingga kalaupun dinilai keterlaluan, sanksinya dari pihak sekolah, bukan hakim pengadilan.
Ini sama seperti cerita shalat jamaah tadi. Dalam ajaran dan hukum islam tidak wajib. Tapi kalau pesantren mewajibkan dan menjadikannya bagian dari pendidikan, MUI atau DPR tidak perlu keluarkan fatwa atau UU boleh tidak shalat jamaah. Sebab sekolah atau pesantren ini punya aturan, atau katakanlah otonomi pendidikan. Sehingga kalau ada hal yang tidak berkenan, yang dikoreksi adalah pihak sekolahnya, bukan langsung pada guru yang bersangkutan.
Terakhir, menurut saya mencubit atau hukuman fisik itu juga bagian dari pelajaran, jika yang dihadapinya adalah anak SD, SMP atau SMA. Tapi kalau sudah kuliah, tanpa diaturpun rasanya tidak akan ada dosen yang masih mencubit mahasiswanya. Kalau kemudian ada orang tua yang tidak terima dengan segala bentuk hukuman fisik, mungkin sebaiknya segera memindahkan anaknya ke sekolah lain.