Khitanan adalah tradisi yang dilakukan saat anak laki-laki dan perempuan menginjak umur 6-12 tahun. Khitanan ini merupakan tanda bahwa anak laki-laki dan perempuan tersebut telah akil balik. Dengan ditandai anak laki-laki dan perempuan tersebut harus dikhitan atau masyarakat Majene sering menyebutnya dengan nama sunat atau sunatan
Tradasi khitanan ini umumnya dilakukan secara sederhana dan besar-besaran. Cara sederhana dilakukan dengan cara mengundang sanak saudara dan para tetangga untuk hajatan slametan (bancakan) saja untuk mensyukuri rahmat yang diberikan oleh Allah, sedangkan cara besar-besaran orang yang dikhitan, atau orang Somba Majene sering menyebutnya“Ikatte atau masssuna” diarak mengelilingi kampung atau desa dengan menaiki kuda yang sudah dihias apik dengan berbagai hiasan seperti minatur pesat terbang, bintang, lampu warna-warni dan masih banyak lagi, tak pula orang yang dikhitan tersebut juga di make up dan didandani menggunakan kostum bak seorang raja. Kuda yang mengikuti acara arak-arakan tersebut bukan hanya satu kuda saja tapi ada beberapa. Umumnya kuda yang mengawal orang yang dikhitan ini antara 2 sampai 6 kuda, kuda urutan pertama adalah orang yang dikhitan kemudian kuda-kuda yang dibelakangnya adalah para pengikut “pengawal” nya.
Tradisi arak-arakan dengan cara besar-besaran biasanya dimeriahkan dengan adanya drum band, rebana, kuda lumping, barongan dan masih banyak lagi. Untuk didaerah Somba Kab. Majene waktu penyelenggaraan arak-arakan ini umumnya dilakukan pada malam hari, ada pula yang siang dan sore hari tetapi untuk yang siang dan sore hari ini masih jarang sekali. Didaerah Somba Majene Sulbar juga terdapat tradisi khitanan seperti ini tetapi untuk didaerah Polewali arak-arakannya ini umumnya dilakukan pada siang dan sore hari. Dari saya masih kecil hingga sekarang tradisi arak-arakan (iring-iring) ini masih berlangsung, dan warga pun juga ikut antusias dalam melestarikan kebudayaan tradisional ini.
Arak-arakan ini dimulai dari rumah saudara, keluarga bahkan pak ustad dari orang yang dikhitan tersebut, kemudian diarak mengelilingi desa, setelah itu baru berjalan menuju rumahnya. Ketika diarak mengelilingi desa, sepangjang jalan terdapat warga yang berbondong-bondong untuk melihat acara arak-arakan tersebut dengan antusias ini juga merupakan tradisi yang langka, karena tidak semua masyarakat dapat menyelenggarakan khitanan secara besar-besaran dan tidak setiap hari ada acara khitanan. Sesampainya dirumah orang yang dikhitan tersebut melanjutkan acara yang terakhir yaitu khatam Qur’an (khataman) yang disaksikan oleh keluarga, teman-temannya, dan para tetangga. Khatam Al Qur’an ini umumnya dilakukan pada malam hari.
Semoga tradisi arak-arakan khitanan (iring-iring) ini dapat tetap dilestarikan oleh kita semua khususnya masyarakat Somba Majene karena ini merupakan tradisi turun temurun dan tradisi khas Indonesia.